Rabu, 02 Mei 2012

SEKELUMIT PERSOALAN TENTANG PKL


Paradigma pembangunan yang selama ini berorientasi pada pertumbuhan ekonomi secara nyata belum menampakkan hasil yang maksimal. Salah satu indikasinya adalah masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Inilah tantangan pembangunan di Indonesia saat ini yakni mengatasi masalah pengangguran dan kesempatan kerja. Sulitnya mengatasi masalah tersebut karena jumlah pencari kerja relatif banyak, sementara mutu pendidikan dan keterampilannya rendah atau tidak sesuai dengan permintaan lapangan kerja karena persaingan dalam arena pasar kerja yang melibatkan pencari kerja dengan kemampuan memadai yang dibutuhkan oleh sektor formal sangat tinggi. Bertolak dari keadaan inilah, sektor informal menjadi kantong penyangga bagi para pencari kerja yang kurang kompetitif tersebut. Dengan keterbatasan peluang kerja sehingga masyarakat pun berupaya menciptakan peluang kerja di sektor informal dan salah satunya adalah memilih bekerja sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL).
           
Kota Banjarmasin sebagai pusat perdagangan bagi daerah kabupaten-kabupaten lain yang ada di Kalimantan Selatan saat ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Namun ironisnya perkembangan dDi kota Banjarmasin dibarengi pula dengan masalah kependudukan dan masalah tenaga kerja. Hal ini karena tingginya tingginya tingkat pertumbuhan penduduk akan berpengaruh juga pada tingginya penyediaan tenaga kerja. Sehingga disaat yang sama Kota Banjarmasin harus berhadapan dengan masalah keterbatasan biaya pembangunan dan kemampuan kota untuk menyediakan lapangan pekerjaan.

Dengan penawaran tenaga kerja yang tinggi tanpa di ikuti penyediaan kesempatan kerja yang cukup akan menimbulkan pengangguran dan setengah pengangguran.  Untuk itulah perluasan kesempatan kerja merupakan kebutuhan yang makin mendesak dan dalam rangka meratakan pembangunan di Kota Banjarmasin. Kenyataan yang terjadi di kota ini jumlah pencari kerja yang semakin tinggi namun tidak diimbangi dengan tingkat pertumbuhan lapangan pekerjaan. Dari sinilah awal adanya kecenderungan bahwa  mereka yang tidak tertampung di sektor formal membuka lapangan kerja sendiri di sektor informal yang salah satunya adalah PKL.

Masalah PKL semakin meningkat sejak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998, agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya maka banyak sekali kegiatan ekonomi yang akhirnya cenderung beralih pada sektor informal ini. Terlebih selama krisis moneter menyebabkan banyak industri gulung tikar, yang menyebabkan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja. Hal ini pada gilirannya menambah penggangguran baru, yang nantinya muncul fenomena-fenomena baru pedagang kaki lima sebagai jalan keluar dari pengangguran.

Banyaknya sektor informal dalam bentuk penyedia barang yang dilakukan oleh PKL memunculkan kesemrawutan pada ruang-ruang kota. Jika mereka ini menjajakan secara sembarangan dipinggir jalan, maka yang terjadi adalah kemacetan. Lagi-lagi keadaan ini menyebabkan pemborosan yang besar, baik dilihat dari segi energi dan waktu. Ketidak aturan seperti itu tidak hanya menyebabkan kemacetan tetapi juga pemandangan yang tidak baik dan seringkali sektor informal seperti ini menyebakan kerusakan lingkungan dengan buangannya yang sembarangan.

Inilah persoalan yang tengah di hadapi kota Banjarmasin sekalipun telah diakui terjadi berbagai kemajuan dalam hal pembangunan fisik, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa disaat yang sama juga masih menyisakan berbagai masalah sosial yang tak kalah pelik. Di berbagai sudut kota, setiap hari dengan mudah disaksikan PKL yang menjajakan dagangannya tanpa mengindahkan aturan yang ada.

PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

Teori hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat dapat dianggap sebagai gagasan awal perkembangan pembangunan berkelanjutan. Ketika konsep pembangunan di evaluasi sebagai sarana pembaharuan di negara berkembang, masalah lingkungan menjadi isu pembangunan. Artinya, selain pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial, isu lingkungan dengan segera menjadi perdebatan dan sekaligus menjadi dimensi baru dari konsep pembangunan. Pembangunan inilah yang disebut sebagai pembangunan yang berwawasan lingkungan (ecodevelopment) dan prinsip-prinsipnya menjadi deklarasi Stockholm 1972.

Sejak Deklarasi Stockholm 1972 telah digariskan hubungan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu pembangunan tanpa merusak lingkungan, yang selanjutnya ditegaskan dalam Prinsip ke-13 Dekrasai Stocholm : In order to achieve a more rational management of resources and thus to improve the environment, States should adopt an integrated and coordinated approach to their development planning so as to ensure that development is compatible with the need to protect and improve environment for the benefit of their population.
(Guna mencapai pengelolaan sumber daya alam yang lebih rasional dan untuk memperbaiki lingkungan, Negara harus melakukan pendekatan integral dan kordinatif dengan perencanaan pembangunan Negara yang bersangkutan sehingga menjamin pembangunan Negara yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan untuk keuntungan penduduk mereka sendiri).

Sedangkan menurut hukum nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warganegara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

Salah satu faktor keterancaman bagi lingkungan hidup menurut ahli hukum lingkungan N.H.T Siahaan adalah kehadiran pembangunan sebagai kebutuhan bagi masyarakat dan bangsa. Kehadiran pembangunan mungkin tidak akan menyumbang kerusakan tata ekologi separah yang terjadi sekarang, bila paradigm atas pembangunan itu dilihat sebagai hubungan yang tidak bertolak belakang dengan persoalan lingkungan. Akan tetapi yang terjadi, justru pembangunan ditafsirkan sebagai tujuan dari segalanya karena kecenderungan pembangunan itu dapat menyelesaikan kemiskinan, keterbelakangan dan masalah-masalah social ekonomi lainnya.

Sesungguhnya permasalahan lingkungan bukanlah permasalahan baru, yang baru adalah kesadaran manusia itu sendiri. Kesadaran bahwa sesungguhnya ulah manusia itu sendiri yang menimbulkan gangguan terhadap lingkungan beserta akibat-akibatnya, hal itulah yang baru. Harus disadari bahwa dewasa ini daya dukung lingkungan terhadap kehidupan telah menurun, kualitas lingkungan menurun, sehingga lingkungan kurang atau tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya terhadap kehidupan yang disangganya.

Oleh karena itu, dampak negatif yang timbul terhadap lingkungan hidup sebagai akibat dari pembangunan harus segera diupayakan untuk dikurangi atau diminimalkan, sehingga keadaan lingkungan hidup tetap menjadi serasi dan seimbang kembali. Konsep ini mencerminkan antara kegiatan pembangunan dengan lingkungan hidup merupakan dua hal yang seiring dan bukan dipertentangkan.

Untuk itulah dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup maka hal ini tidak dapat lepas dari penataan ruang. Hal ini menunjukkan keterkaitan erat antara pengelolaan lingkungan hidup dengan penataan ruang wilayah. Lingkungan hidup dengan ruang memiliki hubungan resiprokal yang bersifat komplementer, di mana masing-masing saling melengkapi dan saling mengisi. Pengelolaan lingkungan hidup akan mempengaruhi ruang tempat unsure-unsur lingkungan hidup berada, sebaliknya pemanfaatan ruang akan berdampak terhadap kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya.

Pada hakekatnya hukum lingkungan dan penataan ruang lebih mengutamakan ‘penataan hukum’ dibandingkan ‘penegakan hukum’. Walau tidak banyak yang memahaminya, namun mereka yang belajar hukum lingkungan dan penataan ruang tentu mengerti dan sangat berkepentingan memperjuangkannya. Mengingat hukum lingkungan dan penataan ruang lebih mengutamakan ‘penataan’, maka upaya-upaya pencegahan, peringatan dini, dan penanggulangan sesegera mungkin, di atur sedemikian rupa agar tidak terjadi kerusakan/pencemaran lingkungan, termasuk meminimalkan kerugian/korban yang mungkin timbul.

Sedangkan tujuan dari tata ruang sendiri telah meletakkan aspek lingkungan sebagai tujuan yang ingin di capai sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Karena itu, terkait dengan pengelolaan lingkungan maka rencana tata ruang secara nasional perlu terus dikembangkan sehingga dalam rangka pemanfaatan tanah yang merugikan dapat terus dikoordinasikan antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan.

Lingkungan sebagai sumber daya merupakan aset yang dapat diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat dan sebagai landasan konstitusional bagi pengelolaan lingkungan dan penataan ruang maka didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan demikian, sumber daya lingkungan mempunyai daya regenerasi dan asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi atau permintaan pelayanan ada di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi, sumber daya terbarui itu dapat digunakan secara lestari. Akan tetapi, apabila batas itu dilampaui, sumber daya itu akan mengalami kerusakan dan fungsi sumber daya itu sebagai faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan akan mengalami gangguan.

Berdasarkan ketentuan tersebut negara berkewajiban untuk mengelola lingkungan agar sumber daya alam dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat demi tercapainya tujuan negara yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Hal inilah yang merupakan prinsip dasar (principium in principii) dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dapat diartikan bahwa, dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam maka kemakmuran rakyatlah yang harus diutamakan dan pemanfaatan sumber daya alam harus pula mementingkan kelestarian fungsi lingkungan hidup demi keberadaan generasi selanjutnya.

 Disinilah Negara berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang yang dalam pelaksanaannya lebih lanjut dilakukan oleh pemerintah. Sejalan dengan sistem pemerintahan yang di anut menurut UUD 1945 dan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah maka pemerintah dapat mendelegasikan kewenangannya kepada daerah berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Dengan demikian untuk melaksanakan tugas dan kewenangan dalam pengelolaan lingkungan dan untuk mewujudkan asas otonomi daerah mengikutsertakan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan. Dimana dengan “asas otonomi daerah” bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan asas keterpaduan. Sehingga dalam rangka pelaksanan asas otonomi daerah dalam pengelolaan lingkungan hal ini erat kaitannya dengan pelaksanaan dari ketentuan UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

Rabu, 28 Desember 2011

Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam melakukan Judicial Review Melalui Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009

Untuk menjamin bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan akan selaras dengan konstitusi harus ditentukan mekanisme untuk mengawasinya melalui hak menguji (toetsingrecht). Kehadiran hak menguji ini dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi suatu negara, yang posisinya diletakkan dalam kedudukan yang tertinggi (supreme). Artinya, eksistensi dari hak menguji tersebut adalah sebagai penjamin (guarantees of constitutions) agar materi dari konstitusi dapat diimplementasikan secara konsisten tanpa ada penyimpangan sama sekali terhadap nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi tersebut. Sebagai Pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga satu-satunya yang memiliki kewenangan melakukan penafsiran terhadap UUD.
Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 merupakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebabkan kewenangan Mahkamah Konstitusi menjadi diperluas dan bisa dikatakan telah melahirkan kewenangan baru, tidak saja sebatas menguji Undang-Undang terhadap UUD sebagaimana telah disebutkan dalam UUD 1945 namun juga dapat menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap UUD. Dengan demikian, selain berwenang menguji Undang-Undang sebagai produk hukum yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk menguji Perpu sebagai produk hukum yang di buat oleh Presiden, produk hukum yang ditinjau dari bentuknya adalah Peraturan Pemerintah, namun dari muatannya adalah muatan Undang-Undang.
Menarik memang mencermati Putusan MK ini, terlepas dari kasus yang sesungguhnya di mohonkan oleh 13 (tiga belas) orang pengacara yang mengajukan uji formil dan materiil terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 Tahun 2009 yang oleh Mahkamah Konstitusi di nyatakan tidak dapat diterima. Karena melalui putusan ini Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa, mengadili, memutus pengujian Perpu terhadap UUD. Sehingga membawa perubahan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 mengemukakan mengenai kedudukan Perpu dalam tata urutan perundang-undangan. Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Kosntitusi bahwa dalam perkara a quo menyampaikan pendapatnya tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Keberadaan Pasal 22 UUD 1945 haruslah diletakkan dalam sistem UUD 1945 setelah Perubahan I, II, III, dan IV. Secara komprehensif Mahkamah Konstutusi memperhatikan: Pasal 22 yang mengatur Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terdapat di dalam Bab VII tentang DPR. Materi Bab VII terdiri atas Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22A, dan Pasal 22B, yang mengatur tentang kelembagaan DPR (Pasal 19, Pasal 20A, Pasal 21, dan Pasal 22B) serta materi mengenai pembuatan Undang-Undang sebagai hasil Perubahan I dan II (Vide Pasal 20). Dalam hubungannya dengan materi yang diatur dalam Bab VII ketentuan Pasal 22 sangat erat hubungannya dengan kewenangan DPR dalam pembuatan Undang-Undang;
Kemudian menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, selanjutnya disebut UU 10/2004, telah mendudukkan Perpu sejajar dengan Undang-Undang. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa dasar hukum dibuatnya Perpu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada Pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi.
Di samping itu, dengan disebutnya ”Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden. Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa. Dengan demikian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila:
1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara;
Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang.
Terhadap Putusan Mahkamah ini Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion): Menurut Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD Jika dirunut dari original intent, tafsir historik, tafsir gramatik, dan logika hukum seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak bisa melakukan pengujian yudisial (judicial review) atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sebab menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kalimat dalam Pasal 24C ayat (1) tersebut sangat jelas hanya menyebut Undang-Undang dan tidak menyebut Perpu. Seandainya Mahkamah diperbolehkan menguji Perpu tentu UUD menyebut secara eksplisit pembolehan tersebut sebab secara formal UUD 1945 membedakan dan menempatkan secara berbeda penyebutan atau pengaturan antara UU dan Perpu;
Undang-Undang diatur dalam Pasal 20 UUD 19456 sedangkan Perpu diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Memang benar, dari sudut isi sebuah Perpu itu mengatur materi muatan Undang-Undang. Artinya isi Perpu itu sebenarnya adalah Undang-Undang yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa yang alasan-alasannya merupakan hak subjektif Presiden. Tetapi justru karena dibuat dalam keadaan genting itulah UUD 1945 melalui Pasal 22 menyatakan bahwa “Perpu itu harus mendapat persetujuan dari DPR pada masa sidang berikutnya,” yang “apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perpu itu harus dicabut atau dibatalkan,” tetapi “apabila DPR menyetujuinya maka Perpu itu ditetapkan menjadi Undang-Undang.” Jadi kewenangan Mahkamah untuk menguji Perpu yang memang bermaterikan Undang-Undang itu hanya dapat dilakukan apabila sudah diuji, dinilai, dibahas, atau apapun namanya dalam forum politik di DPR dan DPR menyetujuinya menjadi Undang-Undang. Jika DPR tidak menyetujui maka Perpu itu dicabut tetapi jika DPR menyetujui maka Perpu itu ditetapkan menjadi Udang-Undang dan setelah menjadi Udang-Undang inilah Mahkamah baru dapat melakukan pengujian yudisial atasnya. Di sinilah letak imbangan bagi “keadaan genting” itu; artinya karena Perpu berisi Udang-Undang tapi dibuat dalam keadaan genting maka DPR harus memberi penilaian atau melakukan pengujian politik (political review) lebih dulu, apakah akan disetujui menjadi Undang-Undang atau tidak. Kalau sudah menjadi Undang-Undang barulah dapat diuji oleh Mahkamah.
Berbeda dengan Hakim Konstitusi yang lain, Muhammad Alim memiliki pendapat yang berbeda, menurut beliau ada beberapa alasan-alasan ketidak berwenangan Mahkamah Konstitusi menguji Perpu: bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya menyebut, “Menguji undang-undang terhadap UUD.” Selanjutnya Pasal 20 UUD 1945 yaitu kewenangan membentuk undang-undang, begitu pula Pasal 22A tentang kewenangan membuat Perpu, sudah lebih dahulu ada, karena waktu mengubah Pasal 20 UUD 1945 dilakukan pada Perubahan Pertama (1999) dan khusus ayat (5) pada Perubahan Kedua (2000); Pasal 22 UUD 1945 tidak ada perubahan, sedangkan Pasal 24C ayat (1) dilakukan pada Perubahan Ketiga (2001), tetapi hanya menyebut, “Menguji undang-undangterhadap Undang-Undang Dasar ;“
Lebih jauh dipaparkan bahwa pada waktu dirumuskannya Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, tata urutan perundang-undangan Indonesia menurut Tap MPR Nomor III/MPR/Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan adalah: UUD 1945; Tap MPR; Undang-Undang; Perpu, dst. Meskipun demikian, rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 hanya member kewenangan untuk, “Menguji undang-undang terhadap UUD”; Kewenangan menguji Undang-Undang (tanpa menyebut Perpu), terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. III/MPR/Tahun 2000 merupakan kewenangan MPR lalu dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, hanya sebatas menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, tidak termasuk menguji Perpu, tidak termasuk pula menguji Tap MPR. Dengan pemberian kewenangan semula kepada MPR kemudian kepada Mahkamah Konstitusi hanya sebatas menguji Udang-Undang terhadap UUD walaupun waktu itu posisi Perpu di bawah Undang-Undang, sedangkan posisi Tap MPR di atas Undang-Undang menunjukkan dengan seterang-terangnya bahwa pembuat UUD, yakni MPR memang hanya menghendaki kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tidak menyebutkan Perpu, berarti hal itu diserahkan kepada DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu Perpu pada sidang berikutnya sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Tata urutan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku sesuai ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang memosisikan Undang-Undang dan Perpu pada level yang sama (seperti dalam TAP MPRS XX/ MPRS/1966) itu dibentuk setelah selesainya Perubahan Keempat UUD 1945 (Tahun 2002).
Kemudian dari Perubahan aturan yang lebih rendah tingkatannya dari UUD, misalnya TAP MPR Nomor III Tahun 2000, yang menetapkan tata urutan perundang-undangan yang meletakkan Perpu pada posisi di bawah Undang-Undang, kemudian UU 10/2004 yang memosisikan Undang-Undang pada level yang sama dengan Perpu dengan menggunakan garis miring (/), tidak dapat mengubah UUD 1945, yakni Pasal 24C ayat (1) yang hanya menyebut kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk antara lain menguji Undang-Undang terhadap UUD, tanpa menyebut kewenangan menguji Perpu. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.Kewenangan yang diberikan oleh yang berdaulat, harus dilaksanakan sesuai dengan UUD, tidak boleh menyimpang dari UUD 1945. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tertera dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang hanya sebatas menguji Undang-Undang terhadap UUD, apabila ditambah dengan menguji Perpu, menurut saya dilaksanakan tidak menurut UUD, melainkan dilaksanakan menyimpang dari UUD;

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Muhammad Alim berpendapat Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan a quo. Bahwa akan tetapi jikalau muatan materi Perpu bukan muatan yang seharusnya diatur dalam undang-undang, atau materi muatan Perpu yang di luar kewenangan Presiden, atau jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.
Sejalan dengan Putusan MK tersebut, Jimly Assiddiqie menyatakan bahwa selain Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Perpu, sebab Perpu merupakan Undang-Undang dalam arti materiil (wet in materiele zin). Kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji konstutusionalitas Perpu terhadap UUD 1945 untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang tidak diinginkan yaitu Perpu yang sewenang-wenang sedangkan masa berlakunya Perpu tersebut hingga persidangan DPR berikutnya untuk mendapatkan persetujuan DPR.
Menarik memang mencermati Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 ini, karena alasan yang dikemukakan oleh hakim tidak semata-mata melihat pada penafsiran gramatikal namun secara lebih mendalam dan komprehensif melalui penafisran yang sistematis terhadap Pasal 22 UUD 1945, penulis memandang bahw putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 merupakan langkah positif di bidang ketatanegaraan karena jika ditelaah secara lebih mendalam kekuatan mengikat Perpu memang setara dengan Undang-Undang, ini tergambar jelas dalam pertimbangan yang dikemukakan hakim MK dalam putusannya dan juga dari concurring opinion walaupun ada beda pendapat yang dikemukakan oleh hakim Muhammad Alim. Inilah perjalanan penting dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, karena sejak di bacakannya putusan No. 138/PUU-VII/2009 maka sejak saat itu uji konstitusionalitas Perpu terhadap UUD 1945 menjadi terbuka.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, pada akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD dan sejak tanggal dibacakan putusan tersebut maka sejak saat itulah maka uji konstitusionalitas Perpu terhadap UUD menjadi terbuka dan di sisi lain melalui Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 ini telah menjadikan kewenangan MK menjadi lebih luas dalam melakukan judicial Review. Apalagi dari segi hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 yang menyatakan bahwa putusan MK adalah final sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tentunya saja tidak terdapat upaya hukum apapun terhadap putusan MK ini.

Rabu, 05 Januari 2011

Masih Adakah Negara Hukum Indonesia?

Oleh Lies Ariany


Pertanyaan tersebut diajukan justru oleh salah seorang mahasiswa saya di kelas. Pertanyaan sederhana namun kritis yang dalam sekali maknanya apalagi pertanyaan tersebut diajukan oleh mahasiswa semester akhir yang sudah pasti hari-harinya bergelut dan dicekoki dengan mata kuliah dan hal-hal yang berbau hukum. Pertanyaan yang justru menunjukkan pesimistis dari orang hukum itu sendiri tentang apa yang tengah digelutinya saat ini.

Hukum di Indonesia patut dipertanyakan melihat kondisi hukum di negeri ini memang menyedihkan, apalagi jika memandang wajah bangsa ini, dari persoalan-persoalan yang terus membelit hingga hari ini sehingga pertanyaan tersebut terasa wajar untuk diajukan.

Menjawab pertanyaan tersebut dapat saya tegaskan bahwa negara kita ini memang negara “hukum” karena secara konstitusional prinsip negara hukum telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan yang menyatakan bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam tataran normatif hal ini telah jelas bahwa negara Indonesia mempunyai komitmen untuk menyelenggarakan pemerintahan yang berdasarkan hukum.

Namun ketika menelaah lebih jauh apa itu negara hukum maka sesungguhnya bicara hukum bukan hanya sebatas aturan-aturan tertulis di atas kertas karenanya bicara hukum dalam tataran normatif memang mudah, namun tidak demikian halnya jika bicara hukum dalam tataran empiris dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan efektivitas hukum di tengah kehidupan masyarakat itu sendiri. Karena ketika berbicara pada tataran implementasi maka hukum yang diibaratkan warna putih sepertinya telah terkontaminasi oleh orang-orang yang mencoreng wajah hukum dengan memberi warna hitam yang akhirnya memunculkan warna abu-abu sehingga sudah sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Inilah persoalan yang terjadi pada bangsa kita karena ternyata prinsip negara hukum itu belum mampu kita wujudkan.

Bagir Manan yang merupakan mantan Hakim Agung pernah mengemukakan pendapatnya bahwa untuk melaksanakan prinsip negara berdasarkan hukum harus memenuhi persyaratan. Pertama, tegaknya tataran kerakyatan atau demokrasi. Kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas atau merdeka lepas dari pengaruh kekuatan atau kekuasaan lain. Ketiga, terwujudnya kesejahteraan umum menurut dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian ketika kita berbicara negara hukum maka semua prasyaratnya baik paham kerakyatan atau demokrasi, paham kekuasaan kehakiman yang merdeka dan paham kesejahteraan umum haruslah terpenuhi semua.

Namun bercermin dari apa yang terjadi tengah masyarakat di tingkat implementasinya maka sesungguhnya negara hukum Indonesia belum dapat terwujud sepenuhnya karena saat kita bicara masalah kerakyatan atau demokrasi maka sekarang tidak sepenuhnya lagi menganut prinsip dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat karena banyak kepentingan didalamnya yang ikut bermain baik itu kepentingan pribadi, golongan bahkan kepentingan partai yang juga turut mempengaruhi. Bahkan secara ekstrim Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan saat ini ideologi kerakyatan itu berubah menjadi adagium baru, yakni politik uang, suara rakyat adalah suara uang.

Selanjutnya ketika bicara masalah kekuasaan kehakiman yang bebas atau merdeka maka inipun masih jadi masalah besar yang terus bergulir sampai sekarang seperti bola salju yang semakin membesar, hal ini karena mafia peradilan masih menjadi momok di negeri ini yang turut mempengaruhi dunia peradilan. Kasus Gayus yang sekarang tengah mendapat sorotan pun tidak terlepas dari mafia peradilan. Bahkan MA mendapat kritikan telah ‘melindungi’ hakim yang terlibat kasus Gayus. Apalagi MA secara mendadak telah memanggil 3 orang hakim yang menyidang kasus Gayus setelah KY menemukan bukti ketua majelis hakim, Muhtadi Asnun, menerima uang sebesar Rp 50 juta dari Gayus.

Selanjutnya ketika berbicara masalah kesejahteraan umum maka tidak seluruh rakyat Indonesia mendapatkan jaminan kesejahteraan, hanya segelintir saja yang dapat menikmatinya karena berdasarkan data di Bulan Maret 2010 jumlah penduduk miskin di Indonesia ada 31,02 juta jiwa. Tentunya dari data tersebut, masih banyak PR bagi kita selaku bangsa indonesia agar supaya kemiskinan yang ada di indonesia semakin berkurang, dan tentunya peran pemerintahpun akan hal ini selalu kita tunggu sehingga penduduk miskin di indonesia semakin berkurang. Apalagi kalau kita berbicara negara hukum modern maka kita akan berbicara tentang welfare state atau negara kesejahteraan maka tak mungkin dapat di katakan bahwa negara kita adalah negara hukum modern jika belum mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya dengan mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Di tengah carut marut wajah hukum di negeri ini, bukan berarti tidak bisa di perbaiki, walaupun tidak mungkin dengan jalan memusnahkan satu generasi di atas kita, namun bukan mustahil pula diantara orang-orang yang ada sekarang ini masih ada orang-orang baik yang masih menjunjung tinggi idealisme walaupun harus terkungkung oleh sistem yang seakan membelenggu suara mereka.

Untuk itu marilah kita bersama-sama saling bergandengan tangan mengupayakan perbaikan hukum demi kelangsungan NKRI yang kita cintai ini. Mari kita dobrak belenggu yang memasung suara-suara rakyat, membelenggu suara kebenaran dan keadilan. Bangsa ini akan kita wariskan kepada generasi yang akan datang, untuk itu haruslah kita perbaiki dari sekarang. Jangan sampai warisan yang akan kita berikan kepada anak cucu kita nanti hanyalah tumpukkan kebobrokan yang tidak mampu di perbaiki. Bagaimana nasib generasi yang akan datang sangat tergantung dengan apa yang di perbuat oleh generasi sekarang.

Karenanya suatu peraturan yang baik sekalipun kalau dijalankan oleh orang-orang yang bermental buruk maka hasil akhirnya akan tetap buruk namun sebaliknya ketika suatu peraturan yang buruk sekalipun ketika dijalankan oleh orang-orang baik maka hasilnya akan baik. Jadi jangan harapkan negara hukum Indonesia dapat terwujud jika tidak ada ketaatan dari tiap-tiap individu itu sendiri.

Selasa, 05 Oktober 2010

ATURAN HUKUM TERKAIT DENGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

oleh Lies Ariany

Aturan hukum yang berlaku terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah sebelum Amandemen UUD 1945:
•Undang- Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Komite Nasional Daerah, dalam UU ini pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Komite Nasional Daerah.
•Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusaat dengan calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.
•Undang-Undang No 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No 18 Tahun 1865 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam ketiga UU ini ketentuan pemilihan kepala daerah mengikuti ketentuan sebagai berikut: (1) Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, (2) Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (3) Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.
•Setelah reformasi bergulir, berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, pemilihan kepala daerah dilakukan menggunakan sistem demokrasi tidak langsung dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan asas desentralisasi yang kuat. Dalam UU ini posisi dan peran politik DPRD sederajat dengan kepala daerah. Rekrutmen kepala daerah sepenuhnya berada pada kekuasaan DPRD. Sementara pemerintah pusat hanya menetapkan dan melantik kepala daerah berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD setempat.
Aturan hukum yang berlaku terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah setelah Amandemen UUD 1945:
•UUD pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, "Gubernur,Bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis".
•Dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No 32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 56- 119. Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 maka pemilukada diletakkan dalam domain pemerintahan daerah.
•Selanjutnya keluar Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 mengenai uji materi UU No.32/2004 tentang Pemerintahaan daerah terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dari sejumlah pasal yang diajukan pemohon, khususnya terhadap pasal 56 ayat(2), pasal 59 ayat(1), pasal 59 ayat(2) dan pasal 59 ayat (3) UU No.32/2004, yang telah membuka jalan adanya pengajuan calon kepala daerah secara perseorangan.
•Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian dan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, sejak UU ini diberlakukan maka pengaturan tentang pemilukada telah masuk pada rezim pemilihann umum bukan lagi dalam pemerintahan daerah, sehingga pemilukada dalam penyelenggaraannya menjadi lebih independen. sehingga KPU dengan independensinya bertanggung jawab menyelenggarakan pilkada.
•Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini dibahas tentang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta mekanisme Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. UU ini merupakan UU yang telah merevisi secara substansial penyelenggaraan pemilihan kepala daerah terutama menyangkut majunya calon perseorangan.
•Peraturan KPU No 64 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemantau dan Tata Cara Pemantauan Pemilukada.
•Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2010 tentang Pedoman Audit Laporan Dana Kampanye Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam Pemilukada.
•Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 63 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Tata Kerja KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara,dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 72 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di tempat Pemungutan Suara.
•Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 66 Tahun 2009 tentang Penetapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kebutuhan Pengadaan serta Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 18 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum dalam Penyelenggaran Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Minggu, 03 Oktober 2010

PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PEMILUKADA DALAM KONTEKS DEMOKRASI DI LEVEL LOKAL

Lies Ariany, SH.,MH

PENDAHULUAN
Tujuan desentralisasi teritorial adalah untuk menyalurkan semangat kebebasan secara bertanggung jawab, mendidik dan melatih diri melaksanakan dan menetapkan kegiatan politik lokal sejalan dengan politik nasional di dalam negeri. Sudah tersirat didalamnya bahwa tujuan desentralisasi teritorial dengan cara membentuk daerah-daerah otonom itu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik sebagai imbalan atas kepercayaan masyarakat yang telah dilimpahkan kepada wakil-wakilnya di daerah secara tertib, teratur, periodik melalui pemilihan umum.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran wewenang (spreiding van bevoegdheid), tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Hal ini disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom sehingga setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi.
Nafas dari desentralisasi merupakan sendi pemerintahan demokratis, secara langsung memberikan kesempatan atau keleluasaan kepada daerah, yang dimaknai dengan kebebasan berotonomi. Kewenangan daerah tidak terlepas dari ikatan kesatuan pemerintah di pusat yang harus diatur secara tegas dalam bingkai aturan hukum mengenai pendelegasian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemerintahan.
Sebagai salah satu sendi negara yang demokratis (democratischerechtsstaat), desentralisai merupakan pilihan yang tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi negara dan bangsa sekarang dan di masa datang. Desentralisasi diasumsikan memerlukan demokrasi. Meski secara logis desentralisasi tidak membawa implikasi terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (seperti akuntabilitas penyediaan layanan publik, kesejahteraan, dan partisipasi) tetap memerlukan adanya demokrasi. Hal ini dapat dipahami karena dengan demokrasi akan muncul para pengambil kebijakan sebagai wakil terpilih yang bertanggung jawab pada pemilih dalam kehidupan politik.
Desentralisasi untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara, rakyat secara langsung mempunyai kesempatan untuk turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya. Ini karena kebijakan desentralisasi mengandung nilai positif, dua diantaranya yakni (1) mendekatkan pengambilan keputusan dengan masyarakat, (2) memungkinkan partisipasi warga (citizen participation).
Pemerintahan daerah diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, melalui mekanisme desentralisasi yang disebut otonomi daerah. Sejalan dengan perjalanan ketatanegaraan sesuai dengan amandemen UUD 1945 telah diletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan meletakkan kedaulatan berada di tangan rakyat yang diwujudkan melalui pengembangan sistem pemerintahan termasuk sistem penyelenggaran pemerintah kepala daerah kearah yang lebih demokratis.
Seperti termuat pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Hasil amandemen ke-tiga telah disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan terutama menyangkut pasal 18 ayat 4 hasil amandemen yang kedua menyatakan bahwa “gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”, maka sejalan dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dikeluarkanlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Selanjutnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah diubah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hal ini untuk mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokratis yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan, penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yakni pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka kewenangan yang begitu besar dimiliki oleh DPRD di dalam pemilihan kepala daerah yang menimbulkan dampak negatif karena kewenangan yang begitu besar menimbulkan suatu praktik-praktik perpolitikan di daerah. Kepentingan individu, partai politik, dan kelompok telah meminggirkan aspirasi rakyat yang menginginkan munculnya kepemimpinan yang peduli dan respek terhadap kepentingan rakyat daerah.
Dengan adanya legitimasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur kedudukan DPRD di dalam pemilihan kepala daerah, maka partai politik yang memiliki wakil di DPRD berkesempatan menancapkan hegemoni dari situasi dan kondisi yang tercipta. Rakyat selaku konstituen pada pemilu yang memilih partai-partai politik tersebut hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan tanpa memedulikan aspirasi dan keinginan rakyat itu.
Oleh karena itu, melalui pemilukada dapat menghindarkan kepala daerah dari dominasi DPRD seperti yang terjadi dalam Undang-Undang No.22 tahun 1999, dan diharapkan oleh pembentuk Undang-Undang bahwa dengan dipilih langsung akan mencerminkan nilai-nilai demokratis sebagaimana tertuang dalam pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sehingga pemilihan umum kepala daerah secara langsung, tak hanya menjadi fenomena perintah undang-undang namun telah menjadi suatu kebutuhan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi. Pemilihan kepala daerah diharapkan mampu menjadi pengulang sukses peralihan kekuasaan secara konstitusional di Indonesia.

Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilukada
Demokrasi dalam pengertian yang lebih partisipatif sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraaan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
Demokrasi secara genus berarti pemerintahan oleh rakyat, yang dengan demikian mendasarkan hal ihwal kenegaraannya pada kekuasaan rakyat sehingga rakyatlah yang berdaulat. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan oleh istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya diberbagai negara tidak selalu sama.
Sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan terbaik dari yang terburuk (the best among the worst) maka demokrasi tentunya juga mempunyai kekurangan, karena masih terdapat kelemahan di dalamnya apalagi di negara yang sedang mengalami masa transisi demokrasi seperti Indonesia. Permasalahan yang terkait dengan partisipasi masyarakat adalah masih terdapat golput dalam pemilukada seperti halnya dalam pemilukada Kalimantan Selatan tanggal 2 Juni 2010 yang jumlahnya justru jadi pemenang pemilukada yakni sekitar 873.224 suara mengungguli pasangan peraih suara terbanyak Rudi Arifin dan Rudy Resnawan dengan jumlah suara 777.554 (46,18%). Padahal melalui pemilukada ingin mendapatkan kepala daerah yang benar-benar legitimate yang mendapatkan dukungan langsung dari rakyat namun ketika jumlah golput justru lebih banyak daripada calon yang menang dalam pemilukada maka harapan yang ingin dicapai melalui pemilukada menjadi tidak sepenuhnya tercapai.
Pemilukada juga dapat memicu konflik horizontal dan juga ketegangan sosial karena banyak pihak yang turut terlibat didalamnya seperti partai politik, DPRD, KPUD, Panwasluda, Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, tim sukses, penyandang dana dan tentu saja rakyat pemilih.
Masalah lain yang muncul terkait dengan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan penyelenggaraan pemilukada adalah masih terdapat warga masyarakat yang sebenarnya telah mempunyai hak pilih namun tidak terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu. Hal ini sebagai imbas dari pengelolaan administrasi kependudukan yang tidak tersusun secara rapi dan baik sehingga merugikan pemilih yang harus kehilangan suaranya karena tidak terdaftar dalam DPT sedangkan dalam pemilukada tidak ada aturan yang secara tegas mengatur penggunaan KTP bagi pemilih yang tidak terdaftar pada DPT karena putusan MK No 102/PUU-VII/2009 hanya mengatur mengenai penggunaan KTP pada Pemilihan Presiden dan Wapres.
Selain itu pula dalam pelaksanaan pemilukada secara langsung seperti sekarang turut meningkatkan biaya negara karena pelaksanaan pemilukada memerlukan banyak sekali pengeluaran negara bahkan sampai miliaran rupiah jumlahnya. Menurut Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi A Johansyah diperkirakan belanja untuk pemilu kada 2010 mencapai Rp 4,2 triliun dari total 244 pemilu kada yang akan berlangsung tahun 2010 .
Melalui Pemilukada sebenarnya diharapkan mampu meningkatkan kapasitas pemerintah lokal dalam melayani kepentingan publik. pemilu kepala daerah bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya-upaya untuk mewujudkan pemerintah lokal yang demokratis. Paradigma lama yang menganggap segala keputusan berada di tangan pemerintah dan aparat birokrasi harus diganti dengan pandangan baru yang mengedepankan pelayanan dengan prinsip partisipatif, tranparan dan akuntabilitas kepada publik.
Oleh karena itu, kualitas, hasil dan proses pemilukada amat ditentukan oleh kuatnya masyarakat sipil dalam membangun relasi dengan pelaku politik di tingkat lokal. Untuk itu perlu diupayakan tersedianya ruang publik yang memungkinkan untuk melibatkan potensi-potensi masyarakat sipil, baik dalam rangka mendorong gagasan-gagasan kreatif maupun melakukan refleksi atas kinerja pemerintah daerah rakyat di daerah dapat turut berperan dalam menentukan pimpinan di daerahnya sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Dengan pemilihan umum kepala daerah maka warga masyarakat di daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara Republik Indonesia keseluruhan, juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka , yang telah dijamin oleh konstitusi, yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki, harus diberi kesempatan ikut menentukan masa depan daerahnya masing-masing.
Unsur keterlibatan atau partisipasi warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan adalah sesuatu yang mutlak, terlepas apakah keterlibatan itu secara langsung maupun tidak langsung melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan.
Pemilu dan demokrasi berkaitan erat dalam subtansi maupun fungsi. Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan. Pernyataan kedaulatan rakyat diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa yang harus menjalankan pemerintahan dan siapa-siapa yang harus mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan kata lain, Pemilu memilih eksekutif berfungsi menjalankan pemerintahan dan memilih anggota-anggota lembaga legislatif yang mengawasi jalannya pemerintahan. Karena itu, fungsi utama pemilu bagi rakyat adalah “untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil mereka”.
Inti dari teori demokrasi atau kerakyatan adalah keterlibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Menurut dasar kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri tidak hanya pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa dan di daerah. Desentralisasi memang terasa lebih dekat dengan demokrasi jika dibandingkan dengan sentralisasi. Oleh karena itu, Hans Kelsen mengatakan “Desentralization allows closer approach to the idea of democracy than centralization”.
Secara logis Hendra Nurtjahjo mengemukakan pemahaman tentang demokrasi lebih jauh, demokratis atau tidaknya sistem pemerintahan negara di ukur dari selaras tidaknya kebijakan pemerintahan dengan kehendak atau kepentingan rakyat yang terukur lewat suara mayoritas atau kesepakatan perwakilan. Demokrasi adalah masalah ukuran, sejauhmana prinsip-prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politis dapat diwujudkan, seberapa besar partisipasi rakyat dalam pengambilan atau pembuatan keputusan kolektif.
Demokrasi bukan menjadi tujuan masyarakat tetapi tiket untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Walaupun para pemimpin telah dipilih secara demokratis, tidak serta merta demokrasi dikatakan telah berhasil. Sebuah demokrasi dikatakan berhasil, apabila pemerintahan yang berkuasa mampu memperlakukan rakyatnya secara adil dan membawa rakyatnya keluar dari kemiskinan dan kemelaratan.
Untuk memahami dan menemukan prinsip-prinsip eksistensial dari suatu demokrasi, maka tempat tertinggi dari demokrasi itu terletak pada kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh rakyat atau lebih dikenal dengan kedaulatan rakyat. Teori ini lahir secara kontroversial dalam panggung politik sejarah kekuasaan negara. Dalam sistem kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Konsep dasarnya bahwa rakyatlah yang menjadi pemegang tertinggi dalam negara.
Dapat juga dikemukakan bahwa negara demokratis atau yang berkedaulatan rakyat adalah negara atau pemerintahan yang memberdayakan rakyat, sehingga rakyat berkemampuan untuk menentukan hidup atau masa depannya sendiri. Oleh karena itu sistem politik atau pemerintahan yang di bangun seharusnya memberi kemampuan kepada rakyat untuk dapat mengarahkan dan mengontrol jalannya pemerintahan.
Konsep demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara telah memberikan ruang kepada rakyat atau kelompok rakyat untuk mengatur dan mengurus kepentingannya dengan cara membuat dan menjalankan peraturan sendiri. Rakyat atau kelompok rakyat diberikan kebebasan dalam rangka menentukan nasibnya.
Hal ini untuk menjamin agar semua perangkat politik dan kehidupan kemasyarakatan berdaya, sehingga pemilukada yang mulai digulirkan melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dijadikan sebagai sarana pemulihan demokrasi. Melalui demokrasi dapat ditumbuhkan sikap bertanggung jawab. Tanpa demokrasi, perangkat-perangkat politik dan sosial akan lumpuh, tidak berdaya karena tidak ada kebebasan dan keterbukaan.

Simpulan
Sebagai salah satu sendi negara yang demokratis maka desentralisai merupakan pilihan yang tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi negara dan bangsa sekarang dan di masa datang. Sehingga melalui pemilukada diharapkan mampu meningkatkan kapasitas pemerintah lokal dalam melayani kepentingan publik. pemilu kepala daerah bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya-upaya untuk mewujudkan pemerintah lokal yang demokratis. Untuk itu dalam pelaksanaan pemilukada maka peran masyarakat sangat diharapkan agar mampu mendapatkan pemimpin yang legitimate.

Daftar Pustaka
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007.

Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi Dalam Pembangunan Daerah, Citra Media, Yogyakarta, 2006.

------------, Rangkuman Seri Kuliah Hukum Tata Pemerintahan (Pengantar), Makalah Universitas Padjadjaran, Bandung.

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum UII, Yogyakarta, 2005.

Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokras, Bumi Aksara, Jakarta, 2006.

Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka, Jakarta, 1990.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: Alumni, 2004.

Kelsen Hans, General Theory of Law and State, Russel-Russel, New York, 1973.

M. Arief Nasution, Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, Mandar Maju, Bandung, 2000.

M. R. Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayumedia, Surabaya, 2005.

Markoff, Demokrasi Dunia, Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, Ari Setianingrum (Penerjemah), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 2003.

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.

Muhammad Fauzan, Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Dalam Tata Penyelenggaraan Pemerintahan Di Indonesia, (Disertasi) Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2005.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Pipin Syarif, Hukum Pemerintahan Daerah. Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2005.

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
T.A. Legowo, “Sistem dan Proses Pemilu” dalam J. Soedjati Djiwandono dan T.A. Legowo, (ed), Revitalisasi Sistem Politik, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), jakarta, 1996.

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1968.

Yohanes Golot Tuba Helan, Implementasi Prinsip Demokrasi Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Di Era Otonomi Daerah, (Disertasi) Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2006.

Kamis, 16 September 2010

Menyerap Aspirasi Rakyat

Oleh
Lies Ariany

Dalam negara demokratis atau yang berkedaulatan rakyat terdapat pemberdayaan rakyat, sehingga rakyat berkemampuan untuk menentukan hidup atau masa depannya sendiri. Oleh karena itu sistem politik atau pemerintahan yang di bangun seharusnya memberi kemampuan kepada rakyat untuk dapat mengarahkan dan mengontrol jalannya pemerintahan.
Sudah selayaknya memang selaku wakil rakyat di DPR harus mampu melibatkan rakyat dan memberi kesempatan bagi rakyat agar aspirasinya dapat terakomodir dalam setiap kebijakan. Sehingga suatu hal yang tepat memang apabila disediakan saluran atau media bagi partisipasi aktif rakyat dalam pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Arti penting partisipasi itu sendiri pada intinya terletak pada fungsinya. Fungsi pertama adalah sebagai sarana swaedukasi kepada masyarakat mengenai berbagai persoalan publik. Dalam fungsi ini, partisipasi masyarakat tidak akan mengancam stabilitas politik dan seyogyanya berjalan di semua jenjang pemerintahan. Fungsi lain dari partisipasi adalah sebagai sarana untuk menampilkan keseimbangan kekuasaan antara masyarakat dan pemerintah sehingga kepentingan dan pengetahuan masyarakat dapat terserap dalam agenda pemerintahan.
Arti penting partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan dapat juga dilihat dari manfaatnya dalam meningkatkan kualitas keputusan yang dibuat karena didasarkan pada kepentingan dan pengetahuan riil yang ada dalam masyarakat. Dengan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berartisipasi dan menyalurkan aspirasinya juga bermanfaat dalam membangun komitmen masyarakat untuk membantu penerapan suatu keputusan yang telah dibuat. Komitmen ini merupakan modal utama bagi keberhasilan sebuah implementasi kebijakan. Mengingat fungsi dan manfaat yang dapat dipetik darinya, kini partisipasi tidak lagi dapat dipandang sebagai kesempatan yang diberikan oleh pemerintah tetapi justru sebagai hak masyarakat. Partisipasi dapat dianggap sebagai layanan dasar dan bagian integral dari local governance.
Suatu hal yang selayaknya bagi DPR untuk meningkatkan partisipasi rakyat agar sebanyak mungkin aspirasi yang ada di masyarakat di dengar dan di tampung dan direalisasikan dalam setiap kebijakan yang di buat. Hal ini sendiri telah dinyatakan dalam Pasal 71 huruf (s) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD bahwa “tugas dan wewenang DPR adalah menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat” serta Pasal 79 UU No. 27 Tahun 2009 yang menegaskan lebih lanjut bahwa kewajiban anggota DPR antara lain adalah: “(1) menyerap dan menghimpun partisipasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; (j) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan (k) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Namun yang jadi persoalan sekarang adalah amanat yang terkandung dalam UU No. 27 Tahun 2009 terutama menyangkut bagaimana menyerap aspirasi yang ada dimasyarakat belum mampu diterjemahkan secara konkrit oleh para wakil rakyat kita sehingga hal yang patut disayangkan bahwa cara yang dilakukan oleh DPR dalam menyerap aspirasi rakyat tersebut justru mencederai “perasaan rakyat”. Karena DPR ujung-ujungnya justru meminta tambahan anggaran yang nominalnya tidak tanggung-tanggung yakni 122 miliar atau Rp 200 juta perorang. Para wakil rakyat seakan buta akan penderitaan rakyat sekarang ditengah himpitan kemiskinan di tambah kebutuhan pokok yang terus membumbung sedang disisi lain lapangan pekerjaan yang semakin sempit.
Sesungguhnya persoalan sekarang bukanlah rumah aspirasi itu tetapi dana yang sangat besar jumlahnya yang harus dikucurkan. Kalau DPR mau mendirikan rumah aspirasi sesuai dengan Pasal 203 – 205 Tata Tertib DPR 2009 silakan saja rakyat tak akan menentang. Karena yang jadi permasalahan sesungguhnya adalah jumlah uang 122 miliar yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat secara langsung.
Dalih-dalih mau menyerap aspirasi rakyat tapi cara yang terjadi justru dengan adanya usulan “rumah aspirasi” tersebut malah semakin “menebalkan” kantong para anggota DPR itu sendiri. Inilah kegamangan yang terjadi di tubuh dewan yang terhormat tersebut tentang model penyerapan aspirasi yang ideal tanpa perlu membebani rakyat lagi.
Penulis yakin sepenuhnya walaupun dana 122 miliar tersebut berhasil digolkan tidak ada jaminan pasti yang dapat diberikan oleh para anggota DPR itu sendiri bahwa aspirasi rakyat mampu mereka realisasikan. Apalagi kalau kita amati tingkah polah para anggota DPR yang berjumlah 560 orang tersebut sebenarnya belum mampu sepenuhnya menunjukkan kalau mereka adalah wakil rakyat, tetapi lebih menunjukkan diri sebagai wakil dari parpol.
Seharusnya dalam upaya membangun pola hubungan antara DPR dengan rakyat adalah pola hubungan yang memberikan keuntungan bagi keduanya (resiprokal). Pola hubungan yang dimaksud adalah hubungan yang membuka akses seluas-luasnya bagi konstituen untuk menyampaikan seluruh aspirasi, persoalan serta kebutuhannya kepada anggota DPR. Sehingga tercipta suatu mekanisme pertanggungjawaban anggota DPR kepada rakyat yang telah memilihnya. Dengan demikian akan tercipta sistem tata pemerintahan yang berpusat pada rakyat (society center). Tata pemerintahan yang berpusat pada rakyat merupakan pilihan yang harus ditempuh untuk menjamin keberlanjutan demokrasi, pembangunan dan keadilan sosial.
Melalu pola hubungan resiprokal berarti mendorong proses belajar bersama, komunikasi yang seimbang dalam membahas persoalan publik, menjadikan kesepakatan rakyat sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan ditingkat politik formal dan memberikan ruang yang cukup bagi rakyat untuk mengontrol keputusan publik agar dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Mampukah para wakil rakyat kita melakukannya? Semoga saja.