Selasa, 05 Oktober 2010

ATURAN HUKUM TERKAIT DENGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

oleh Lies Ariany

Aturan hukum yang berlaku terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah sebelum Amandemen UUD 1945:
•Undang- Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Komite Nasional Daerah, dalam UU ini pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Komite Nasional Daerah.
•Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusaat dengan calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.
•Undang-Undang No 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No 18 Tahun 1865 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam ketiga UU ini ketentuan pemilihan kepala daerah mengikuti ketentuan sebagai berikut: (1) Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, (2) Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (3) Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.
•Setelah reformasi bergulir, berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, pemilihan kepala daerah dilakukan menggunakan sistem demokrasi tidak langsung dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan asas desentralisasi yang kuat. Dalam UU ini posisi dan peran politik DPRD sederajat dengan kepala daerah. Rekrutmen kepala daerah sepenuhnya berada pada kekuasaan DPRD. Sementara pemerintah pusat hanya menetapkan dan melantik kepala daerah berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD setempat.
Aturan hukum yang berlaku terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah setelah Amandemen UUD 1945:
•UUD pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, "Gubernur,Bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis".
•Dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No 32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 56- 119. Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 maka pemilukada diletakkan dalam domain pemerintahan daerah.
•Selanjutnya keluar Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 mengenai uji materi UU No.32/2004 tentang Pemerintahaan daerah terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dari sejumlah pasal yang diajukan pemohon, khususnya terhadap pasal 56 ayat(2), pasal 59 ayat(1), pasal 59 ayat(2) dan pasal 59 ayat (3) UU No.32/2004, yang telah membuka jalan adanya pengajuan calon kepala daerah secara perseorangan.
•Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian dan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, sejak UU ini diberlakukan maka pengaturan tentang pemilukada telah masuk pada rezim pemilihann umum bukan lagi dalam pemerintahan daerah, sehingga pemilukada dalam penyelenggaraannya menjadi lebih independen. sehingga KPU dengan independensinya bertanggung jawab menyelenggarakan pilkada.
•Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini dibahas tentang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta mekanisme Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. UU ini merupakan UU yang telah merevisi secara substansial penyelenggaraan pemilihan kepala daerah terutama menyangkut majunya calon perseorangan.
•Peraturan KPU No 64 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemantau dan Tata Cara Pemantauan Pemilukada.
•Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2010 tentang Pedoman Audit Laporan Dana Kampanye Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam Pemilukada.
•Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 63 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Tata Kerja KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara,dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 72 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di tempat Pemungutan Suara.
•Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 66 Tahun 2009 tentang Penetapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kebutuhan Pengadaan serta Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 18 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum dalam Penyelenggaran Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Minggu, 03 Oktober 2010

PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PEMILUKADA DALAM KONTEKS DEMOKRASI DI LEVEL LOKAL

Lies Ariany, SH.,MH

PENDAHULUAN
Tujuan desentralisasi teritorial adalah untuk menyalurkan semangat kebebasan secara bertanggung jawab, mendidik dan melatih diri melaksanakan dan menetapkan kegiatan politik lokal sejalan dengan politik nasional di dalam negeri. Sudah tersirat didalamnya bahwa tujuan desentralisasi teritorial dengan cara membentuk daerah-daerah otonom itu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik sebagai imbalan atas kepercayaan masyarakat yang telah dilimpahkan kepada wakil-wakilnya di daerah secara tertib, teratur, periodik melalui pemilihan umum.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran wewenang (spreiding van bevoegdheid), tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Hal ini disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom sehingga setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi.
Nafas dari desentralisasi merupakan sendi pemerintahan demokratis, secara langsung memberikan kesempatan atau keleluasaan kepada daerah, yang dimaknai dengan kebebasan berotonomi. Kewenangan daerah tidak terlepas dari ikatan kesatuan pemerintah di pusat yang harus diatur secara tegas dalam bingkai aturan hukum mengenai pendelegasian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemerintahan.
Sebagai salah satu sendi negara yang demokratis (democratischerechtsstaat), desentralisai merupakan pilihan yang tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi negara dan bangsa sekarang dan di masa datang. Desentralisasi diasumsikan memerlukan demokrasi. Meski secara logis desentralisasi tidak membawa implikasi terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (seperti akuntabilitas penyediaan layanan publik, kesejahteraan, dan partisipasi) tetap memerlukan adanya demokrasi. Hal ini dapat dipahami karena dengan demokrasi akan muncul para pengambil kebijakan sebagai wakil terpilih yang bertanggung jawab pada pemilih dalam kehidupan politik.
Desentralisasi untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara, rakyat secara langsung mempunyai kesempatan untuk turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya. Ini karena kebijakan desentralisasi mengandung nilai positif, dua diantaranya yakni (1) mendekatkan pengambilan keputusan dengan masyarakat, (2) memungkinkan partisipasi warga (citizen participation).
Pemerintahan daerah diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, melalui mekanisme desentralisasi yang disebut otonomi daerah. Sejalan dengan perjalanan ketatanegaraan sesuai dengan amandemen UUD 1945 telah diletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan meletakkan kedaulatan berada di tangan rakyat yang diwujudkan melalui pengembangan sistem pemerintahan termasuk sistem penyelenggaran pemerintah kepala daerah kearah yang lebih demokratis.
Seperti termuat pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Hasil amandemen ke-tiga telah disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan terutama menyangkut pasal 18 ayat 4 hasil amandemen yang kedua menyatakan bahwa “gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”, maka sejalan dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dikeluarkanlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Selanjutnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah diubah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hal ini untuk mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokratis yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan, penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yakni pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka kewenangan yang begitu besar dimiliki oleh DPRD di dalam pemilihan kepala daerah yang menimbulkan dampak negatif karena kewenangan yang begitu besar menimbulkan suatu praktik-praktik perpolitikan di daerah. Kepentingan individu, partai politik, dan kelompok telah meminggirkan aspirasi rakyat yang menginginkan munculnya kepemimpinan yang peduli dan respek terhadap kepentingan rakyat daerah.
Dengan adanya legitimasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur kedudukan DPRD di dalam pemilihan kepala daerah, maka partai politik yang memiliki wakil di DPRD berkesempatan menancapkan hegemoni dari situasi dan kondisi yang tercipta. Rakyat selaku konstituen pada pemilu yang memilih partai-partai politik tersebut hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan tanpa memedulikan aspirasi dan keinginan rakyat itu.
Oleh karena itu, melalui pemilukada dapat menghindarkan kepala daerah dari dominasi DPRD seperti yang terjadi dalam Undang-Undang No.22 tahun 1999, dan diharapkan oleh pembentuk Undang-Undang bahwa dengan dipilih langsung akan mencerminkan nilai-nilai demokratis sebagaimana tertuang dalam pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sehingga pemilihan umum kepala daerah secara langsung, tak hanya menjadi fenomena perintah undang-undang namun telah menjadi suatu kebutuhan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi. Pemilihan kepala daerah diharapkan mampu menjadi pengulang sukses peralihan kekuasaan secara konstitusional di Indonesia.

Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilukada
Demokrasi dalam pengertian yang lebih partisipatif sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraaan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
Demokrasi secara genus berarti pemerintahan oleh rakyat, yang dengan demikian mendasarkan hal ihwal kenegaraannya pada kekuasaan rakyat sehingga rakyatlah yang berdaulat. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan oleh istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya diberbagai negara tidak selalu sama.
Sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan terbaik dari yang terburuk (the best among the worst) maka demokrasi tentunya juga mempunyai kekurangan, karena masih terdapat kelemahan di dalamnya apalagi di negara yang sedang mengalami masa transisi demokrasi seperti Indonesia. Permasalahan yang terkait dengan partisipasi masyarakat adalah masih terdapat golput dalam pemilukada seperti halnya dalam pemilukada Kalimantan Selatan tanggal 2 Juni 2010 yang jumlahnya justru jadi pemenang pemilukada yakni sekitar 873.224 suara mengungguli pasangan peraih suara terbanyak Rudi Arifin dan Rudy Resnawan dengan jumlah suara 777.554 (46,18%). Padahal melalui pemilukada ingin mendapatkan kepala daerah yang benar-benar legitimate yang mendapatkan dukungan langsung dari rakyat namun ketika jumlah golput justru lebih banyak daripada calon yang menang dalam pemilukada maka harapan yang ingin dicapai melalui pemilukada menjadi tidak sepenuhnya tercapai.
Pemilukada juga dapat memicu konflik horizontal dan juga ketegangan sosial karena banyak pihak yang turut terlibat didalamnya seperti partai politik, DPRD, KPUD, Panwasluda, Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, tim sukses, penyandang dana dan tentu saja rakyat pemilih.
Masalah lain yang muncul terkait dengan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan penyelenggaraan pemilukada adalah masih terdapat warga masyarakat yang sebenarnya telah mempunyai hak pilih namun tidak terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu. Hal ini sebagai imbas dari pengelolaan administrasi kependudukan yang tidak tersusun secara rapi dan baik sehingga merugikan pemilih yang harus kehilangan suaranya karena tidak terdaftar dalam DPT sedangkan dalam pemilukada tidak ada aturan yang secara tegas mengatur penggunaan KTP bagi pemilih yang tidak terdaftar pada DPT karena putusan MK No 102/PUU-VII/2009 hanya mengatur mengenai penggunaan KTP pada Pemilihan Presiden dan Wapres.
Selain itu pula dalam pelaksanaan pemilukada secara langsung seperti sekarang turut meningkatkan biaya negara karena pelaksanaan pemilukada memerlukan banyak sekali pengeluaran negara bahkan sampai miliaran rupiah jumlahnya. Menurut Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi A Johansyah diperkirakan belanja untuk pemilu kada 2010 mencapai Rp 4,2 triliun dari total 244 pemilu kada yang akan berlangsung tahun 2010 .
Melalui Pemilukada sebenarnya diharapkan mampu meningkatkan kapasitas pemerintah lokal dalam melayani kepentingan publik. pemilu kepala daerah bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya-upaya untuk mewujudkan pemerintah lokal yang demokratis. Paradigma lama yang menganggap segala keputusan berada di tangan pemerintah dan aparat birokrasi harus diganti dengan pandangan baru yang mengedepankan pelayanan dengan prinsip partisipatif, tranparan dan akuntabilitas kepada publik.
Oleh karena itu, kualitas, hasil dan proses pemilukada amat ditentukan oleh kuatnya masyarakat sipil dalam membangun relasi dengan pelaku politik di tingkat lokal. Untuk itu perlu diupayakan tersedianya ruang publik yang memungkinkan untuk melibatkan potensi-potensi masyarakat sipil, baik dalam rangka mendorong gagasan-gagasan kreatif maupun melakukan refleksi atas kinerja pemerintah daerah rakyat di daerah dapat turut berperan dalam menentukan pimpinan di daerahnya sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Dengan pemilihan umum kepala daerah maka warga masyarakat di daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara Republik Indonesia keseluruhan, juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka , yang telah dijamin oleh konstitusi, yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki, harus diberi kesempatan ikut menentukan masa depan daerahnya masing-masing.
Unsur keterlibatan atau partisipasi warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan adalah sesuatu yang mutlak, terlepas apakah keterlibatan itu secara langsung maupun tidak langsung melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan.
Pemilu dan demokrasi berkaitan erat dalam subtansi maupun fungsi. Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan. Pernyataan kedaulatan rakyat diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa yang harus menjalankan pemerintahan dan siapa-siapa yang harus mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan kata lain, Pemilu memilih eksekutif berfungsi menjalankan pemerintahan dan memilih anggota-anggota lembaga legislatif yang mengawasi jalannya pemerintahan. Karena itu, fungsi utama pemilu bagi rakyat adalah “untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil mereka”.
Inti dari teori demokrasi atau kerakyatan adalah keterlibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Menurut dasar kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri tidak hanya pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa dan di daerah. Desentralisasi memang terasa lebih dekat dengan demokrasi jika dibandingkan dengan sentralisasi. Oleh karena itu, Hans Kelsen mengatakan “Desentralization allows closer approach to the idea of democracy than centralization”.
Secara logis Hendra Nurtjahjo mengemukakan pemahaman tentang demokrasi lebih jauh, demokratis atau tidaknya sistem pemerintahan negara di ukur dari selaras tidaknya kebijakan pemerintahan dengan kehendak atau kepentingan rakyat yang terukur lewat suara mayoritas atau kesepakatan perwakilan. Demokrasi adalah masalah ukuran, sejauhmana prinsip-prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politis dapat diwujudkan, seberapa besar partisipasi rakyat dalam pengambilan atau pembuatan keputusan kolektif.
Demokrasi bukan menjadi tujuan masyarakat tetapi tiket untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Walaupun para pemimpin telah dipilih secara demokratis, tidak serta merta demokrasi dikatakan telah berhasil. Sebuah demokrasi dikatakan berhasil, apabila pemerintahan yang berkuasa mampu memperlakukan rakyatnya secara adil dan membawa rakyatnya keluar dari kemiskinan dan kemelaratan.
Untuk memahami dan menemukan prinsip-prinsip eksistensial dari suatu demokrasi, maka tempat tertinggi dari demokrasi itu terletak pada kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh rakyat atau lebih dikenal dengan kedaulatan rakyat. Teori ini lahir secara kontroversial dalam panggung politik sejarah kekuasaan negara. Dalam sistem kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Konsep dasarnya bahwa rakyatlah yang menjadi pemegang tertinggi dalam negara.
Dapat juga dikemukakan bahwa negara demokratis atau yang berkedaulatan rakyat adalah negara atau pemerintahan yang memberdayakan rakyat, sehingga rakyat berkemampuan untuk menentukan hidup atau masa depannya sendiri. Oleh karena itu sistem politik atau pemerintahan yang di bangun seharusnya memberi kemampuan kepada rakyat untuk dapat mengarahkan dan mengontrol jalannya pemerintahan.
Konsep demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara telah memberikan ruang kepada rakyat atau kelompok rakyat untuk mengatur dan mengurus kepentingannya dengan cara membuat dan menjalankan peraturan sendiri. Rakyat atau kelompok rakyat diberikan kebebasan dalam rangka menentukan nasibnya.
Hal ini untuk menjamin agar semua perangkat politik dan kehidupan kemasyarakatan berdaya, sehingga pemilukada yang mulai digulirkan melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dijadikan sebagai sarana pemulihan demokrasi. Melalui demokrasi dapat ditumbuhkan sikap bertanggung jawab. Tanpa demokrasi, perangkat-perangkat politik dan sosial akan lumpuh, tidak berdaya karena tidak ada kebebasan dan keterbukaan.

Simpulan
Sebagai salah satu sendi negara yang demokratis maka desentralisai merupakan pilihan yang tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi negara dan bangsa sekarang dan di masa datang. Sehingga melalui pemilukada diharapkan mampu meningkatkan kapasitas pemerintah lokal dalam melayani kepentingan publik. pemilu kepala daerah bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya-upaya untuk mewujudkan pemerintah lokal yang demokratis. Untuk itu dalam pelaksanaan pemilukada maka peran masyarakat sangat diharapkan agar mampu mendapatkan pemimpin yang legitimate.

Daftar Pustaka
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007.

Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi Dalam Pembangunan Daerah, Citra Media, Yogyakarta, 2006.

------------, Rangkuman Seri Kuliah Hukum Tata Pemerintahan (Pengantar), Makalah Universitas Padjadjaran, Bandung.

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum UII, Yogyakarta, 2005.

Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokras, Bumi Aksara, Jakarta, 2006.

Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka, Jakarta, 1990.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: Alumni, 2004.

Kelsen Hans, General Theory of Law and State, Russel-Russel, New York, 1973.

M. Arief Nasution, Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, Mandar Maju, Bandung, 2000.

M. R. Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayumedia, Surabaya, 2005.

Markoff, Demokrasi Dunia, Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, Ari Setianingrum (Penerjemah), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 2003.

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.

Muhammad Fauzan, Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Dalam Tata Penyelenggaraan Pemerintahan Di Indonesia, (Disertasi) Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2005.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Pipin Syarif, Hukum Pemerintahan Daerah. Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2005.

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
T.A. Legowo, “Sistem dan Proses Pemilu” dalam J. Soedjati Djiwandono dan T.A. Legowo, (ed), Revitalisasi Sistem Politik, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), jakarta, 1996.

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1968.

Yohanes Golot Tuba Helan, Implementasi Prinsip Demokrasi Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Di Era Otonomi Daerah, (Disertasi) Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2006.

Kamis, 16 September 2010

Menyerap Aspirasi Rakyat

Oleh
Lies Ariany

Dalam negara demokratis atau yang berkedaulatan rakyat terdapat pemberdayaan rakyat, sehingga rakyat berkemampuan untuk menentukan hidup atau masa depannya sendiri. Oleh karena itu sistem politik atau pemerintahan yang di bangun seharusnya memberi kemampuan kepada rakyat untuk dapat mengarahkan dan mengontrol jalannya pemerintahan.
Sudah selayaknya memang selaku wakil rakyat di DPR harus mampu melibatkan rakyat dan memberi kesempatan bagi rakyat agar aspirasinya dapat terakomodir dalam setiap kebijakan. Sehingga suatu hal yang tepat memang apabila disediakan saluran atau media bagi partisipasi aktif rakyat dalam pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Arti penting partisipasi itu sendiri pada intinya terletak pada fungsinya. Fungsi pertama adalah sebagai sarana swaedukasi kepada masyarakat mengenai berbagai persoalan publik. Dalam fungsi ini, partisipasi masyarakat tidak akan mengancam stabilitas politik dan seyogyanya berjalan di semua jenjang pemerintahan. Fungsi lain dari partisipasi adalah sebagai sarana untuk menampilkan keseimbangan kekuasaan antara masyarakat dan pemerintah sehingga kepentingan dan pengetahuan masyarakat dapat terserap dalam agenda pemerintahan.
Arti penting partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan dapat juga dilihat dari manfaatnya dalam meningkatkan kualitas keputusan yang dibuat karena didasarkan pada kepentingan dan pengetahuan riil yang ada dalam masyarakat. Dengan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berartisipasi dan menyalurkan aspirasinya juga bermanfaat dalam membangun komitmen masyarakat untuk membantu penerapan suatu keputusan yang telah dibuat. Komitmen ini merupakan modal utama bagi keberhasilan sebuah implementasi kebijakan. Mengingat fungsi dan manfaat yang dapat dipetik darinya, kini partisipasi tidak lagi dapat dipandang sebagai kesempatan yang diberikan oleh pemerintah tetapi justru sebagai hak masyarakat. Partisipasi dapat dianggap sebagai layanan dasar dan bagian integral dari local governance.
Suatu hal yang selayaknya bagi DPR untuk meningkatkan partisipasi rakyat agar sebanyak mungkin aspirasi yang ada di masyarakat di dengar dan di tampung dan direalisasikan dalam setiap kebijakan yang di buat. Hal ini sendiri telah dinyatakan dalam Pasal 71 huruf (s) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD bahwa “tugas dan wewenang DPR adalah menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat” serta Pasal 79 UU No. 27 Tahun 2009 yang menegaskan lebih lanjut bahwa kewajiban anggota DPR antara lain adalah: “(1) menyerap dan menghimpun partisipasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; (j) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan (k) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Namun yang jadi persoalan sekarang adalah amanat yang terkandung dalam UU No. 27 Tahun 2009 terutama menyangkut bagaimana menyerap aspirasi yang ada dimasyarakat belum mampu diterjemahkan secara konkrit oleh para wakil rakyat kita sehingga hal yang patut disayangkan bahwa cara yang dilakukan oleh DPR dalam menyerap aspirasi rakyat tersebut justru mencederai “perasaan rakyat”. Karena DPR ujung-ujungnya justru meminta tambahan anggaran yang nominalnya tidak tanggung-tanggung yakni 122 miliar atau Rp 200 juta perorang. Para wakil rakyat seakan buta akan penderitaan rakyat sekarang ditengah himpitan kemiskinan di tambah kebutuhan pokok yang terus membumbung sedang disisi lain lapangan pekerjaan yang semakin sempit.
Sesungguhnya persoalan sekarang bukanlah rumah aspirasi itu tetapi dana yang sangat besar jumlahnya yang harus dikucurkan. Kalau DPR mau mendirikan rumah aspirasi sesuai dengan Pasal 203 – 205 Tata Tertib DPR 2009 silakan saja rakyat tak akan menentang. Karena yang jadi permasalahan sesungguhnya adalah jumlah uang 122 miliar yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat secara langsung.
Dalih-dalih mau menyerap aspirasi rakyat tapi cara yang terjadi justru dengan adanya usulan “rumah aspirasi” tersebut malah semakin “menebalkan” kantong para anggota DPR itu sendiri. Inilah kegamangan yang terjadi di tubuh dewan yang terhormat tersebut tentang model penyerapan aspirasi yang ideal tanpa perlu membebani rakyat lagi.
Penulis yakin sepenuhnya walaupun dana 122 miliar tersebut berhasil digolkan tidak ada jaminan pasti yang dapat diberikan oleh para anggota DPR itu sendiri bahwa aspirasi rakyat mampu mereka realisasikan. Apalagi kalau kita amati tingkah polah para anggota DPR yang berjumlah 560 orang tersebut sebenarnya belum mampu sepenuhnya menunjukkan kalau mereka adalah wakil rakyat, tetapi lebih menunjukkan diri sebagai wakil dari parpol.
Seharusnya dalam upaya membangun pola hubungan antara DPR dengan rakyat adalah pola hubungan yang memberikan keuntungan bagi keduanya (resiprokal). Pola hubungan yang dimaksud adalah hubungan yang membuka akses seluas-luasnya bagi konstituen untuk menyampaikan seluruh aspirasi, persoalan serta kebutuhannya kepada anggota DPR. Sehingga tercipta suatu mekanisme pertanggungjawaban anggota DPR kepada rakyat yang telah memilihnya. Dengan demikian akan tercipta sistem tata pemerintahan yang berpusat pada rakyat (society center). Tata pemerintahan yang berpusat pada rakyat merupakan pilihan yang harus ditempuh untuk menjamin keberlanjutan demokrasi, pembangunan dan keadilan sosial.
Melalu pola hubungan resiprokal berarti mendorong proses belajar bersama, komunikasi yang seimbang dalam membahas persoalan publik, menjadikan kesepakatan rakyat sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan ditingkat politik formal dan memberikan ruang yang cukup bagi rakyat untuk mengontrol keputusan publik agar dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Mampukah para wakil rakyat kita melakukannya? Semoga saja.

Minggu, 22 Agustus 2010

Resensi Buku - Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara

Oleh Lies Ariany
Kalo bukan karena sekarang tengah hangat-hangatnya kasus Gayus mungkin aku gak bakalan kembali membaca salah satu koleksi bukuku yang berjudul “Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara” buku yang ditulis Edi Slamet Irianto-Syafruddin Jurdi.

Kini kucoba lagi merangkai setiap kata yang terurai, mencoba memahaminya dan menuturkan kembali dengan caraku hingga akhirnya kutuliskan resensi dari buku“Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara”.

Tulisan ini khusus kupersembahkan buat Prof. Dr Sri Soemantri, SH karena beliau dalam mata kuliah ‘Politik Hukum’ pernah ngasih tugas membuat 10 Book Report dari buku yang telah beliau tentukan judulnya termasuk buku ini tapi karena bikin repot maka hanya 2 tugas yang kukerjakan yakni Book Report “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional- Soetandyo Wignjosoebroto dan Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan Interdisplin”. Kini setelah 2 tahun kemudian baru nyadar betapa bermanfaatnya buku ini untuk dipelajari. Setelah beli buku ini memang pernah kubaca tapi tak memberi kesan mendalam seperti saat ini apalagi buku ini ditulis oleh orang dengan basic ilmu politik. namun ternyata ilmu itu luas, seluas cakrawala dan dalam sedalam lautan hingga siapapun bisa melintasinya dan mengarunginnya tanpa memandang batasan ilmu apalagi banyak pemikiran-pemikiran dari buku ini yang sungguh menarik.

Dalam buku ini mencoba membangun gagasan bahwa pajak harus dikelola menurut standar dan aturan yang lebih terbuka dan demokratis karena karena selama ini pajak bersifat tertutup dan mengandung unsur manipulasi dan segala macamnya sehingga pajak belum sepenuhnya dapat menghasilkan keseimbangan sosial yang adil dalam masyarakat.

Produk UU yang menjadi pijakan dasarnya masih mengandung banyak kelemahan dan kontroversi yang akibat lanjutnya akan mematikan proses demokratisasi perpajakan itu sendiri. oleh sebab itulah bagian ini dihadirkan untuk memberi sejumlah gambaran dan harapan akan adanya demokratisasi perpajakan dalam konteksnya yang lebih khusus yaitu demokratisasi pengelolaan yang membuka ruang bagi warga negara untuk memperoleh informasi perpajakan.

Terkait dengan judulnya maka dalam buku ini menekankan pada aspek politik perpajakan yang mestinya diperhatikan agar kegunaan pajak dapat dikontrol, dievaluasi dan proses pengambilan kebijakan publik yang secara politik pula dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Politik perpajakan yang penting harus dilakukan secara terbuka agar rakyat mengetahui pemanfaatannya. Banyak dugaan yang berkembang dalam masyarakat, bahwa uang pajak telah diselewengkan oleh para pengelola pajak dan pengelola negara, sehingga pendistribusian pajak tidak maksimal, akibatnya banyak rakyat yang semestinya memperoleh “berkah” dari uang pajak justru malah menjadi “korban” dari pengelola pajak.

Dalam kondisi serba tak jelas, dimana lembaga pengawas resmi negara yang bertugas mengawasi berbagai penyimpangan, di mana kalangan kritis setelah masuk kekuasaan sulit untuk menahan diri dari melakukan “tindakan gelap” dan berbagai kelompok yang peduli lainnya terjebak dalam permainan politik yang kurang normal, kurang sehat, dan kurang memenuhi standar nilai yang dimiliki oleh budaya bangsa.

Kalau pajak dikelola menurut prinsip politik yang demokratis, maka sudah dapat diprediksi bahwa negara akan mampu memberikan keringanan kepada anak-anak yatim piatu, fakir miskin, dan mereka yang membutuhkan bantuan dari negara. Selama ini pajak tidak dikelola menurut aspek demokratis, karena itu pula banyak elite birokrasi terutama lingkungan birokrasi perpajakan pusat daerah yang menjadi Orang Kaya Baru (OKB) tanpa dipahami secara jelas asal perolehan kekayaan yang sangat mendadak itu. Padahal semua masyarakat tahu bahwa penghasilan Pegawai Negeri di Republik ini termasuk aparatur perpajakan masih berada dibawah untuk bisa hidup layak.

Memaknai politik perpajakan dalam konteks perubahan sistem politik belakangan ini tentulah penting untuk dilakukan agar pengelolaan pajak sesuai dengan prinsip politik yang demokratis. kalau sistem politik dan tata pemerintaha telah mengalami perubahan, maka sistem perpajakan yang demokratis harus segera direkonstruksi agar dapat menjawab tuntutan perubahan sebab perubahan terus mengalami kemajuan.

Politik pajak yang coba di bangun dalam buku ini adalah mendesain pajak yang berwajah sosial, berjiwa manusia, berpakaian demokrasi, berkacamata transparan dan selalu membawa kejujuran dan keadilan.

Minggu, 08 Agustus 2010

Merefleksikan Kembali Semangat Reformasi

Oleh Lies Ariany

Masih terekam jelas dalam memori bangsa ini tentang gerakan yang telah dibangun oleh mahasiswa, bahwa di tanggal 21 Mei 1998 telah terjadi peristiwa penting dalam sejarah perjalanan bangsa karena runtuhnya rezim Orde Baru. Runtuhnya kekuasaan Soeharto yang pada pertengahan tahun 60-an dianggap tokoh kharismatik dan konon pernah dinobatkan oleh sebuah majalah asing sebagai orang terkuat dan paling berpengaruh di Asia.
Soeharto harus menanggalkan kekuasaan yang telah digenggamnya selama 32 tahun karena gerakan dan kepeloporan mahasiswa dan kaum intelektul-terdidik saat itu untuk satukan suara, satukan tekad dan satukan tujuan. Gerakan mahasiswa saat itu diawali dari gerakan moral di kampus-kampus. Namun akhirnya suara mereka semakin nyaring gaungnya dan berhasil mentransformasikan gerakannya dalam kerangka student movement ke social movement yang berhasil membangun opini strategis dan menjadi milik masyarakat secara luas.
Saat itu reformasi membawa harapan bagi masyarakat melalui 4 tuntutan yang disuarakan, yakni (a) Amandemen UUD 1945, (b) Berantas praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), (c) Cabut paket 5 UU Politik yang dipandang menghambat perkembangan demokrasi, dan (d) Cabut Dwifungsi ABRI. Tuntutan yang diajukan tersebut ingin menggiring bangsa ini menuju perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sekarang saatnya kita mengevaluasi. Untuk itu diperlukan tolok ukur untuk menilai seberapa jauh keberhasilan atau kegagalan reformasi selama ini. Berhasil atau tidaknya gerakan reformasi dapat kiranya kita lihat dari seberapa jauh tuntutan-tuntutan reformasi mendapatkan respon positif dan telah dipenuhi bagi upaya perbaikan bangsa ini dalam memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai dengan tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan penyalahgunaan kekuasaan.
Jika kita memandang wajah bangsa ini, dari persoalan-persoalan yang terus membelit hingga hari ini kita sudah menemukan jawaban bahwa sesungguhnya Indonesia negara yang gagal menjalankan amanat reformasi, karena reformasi belum mampu menjawab persoalan bangsa sehingga tuntutan reformasi belum diikuti dengan langkah nyata dan kesungguhan pemerintah sehingga negara tidak bisa melayani kebutuhan pokok rakyatnya, negara tak bisa melindungi kekayaan yang di miliki dari pencuri yang hilir-mudik di depan matanya, tidak bisa melindungi diri dari pencuri kayu di hutan, ikan di laut, dan korupsi yang bertebaran di depan mata, masih lemahnya kerja aparat penegak hukum dalam penerapan dan penegakan hukum.
Seharusnya untuk menyelesaikan masalah bangsa ini, yang utama di reformasi adalah moral aparat penegak hukum, dengan moralitas yang tinggi maka kiranya mampu menerapkan akal sehatnya dalam penegakan hukum selanjutnya dapat meningkatkan komitmen aparat penegak hukum pada keadilan sehingga perbaikan hukum yang mencakup penegakan supremasi hukum yang berkeadilan, sistem hukum yang responsif, enforcement yang nondiskriminatif dan sistem peradilan yang independen dapat terwujud.
Haruskah ada Reformasi jilid II agar mampu membersihkan wajah negeri ini? ataukah perlu tindakan ekstrim dengan melakukan revolusi agar lahir orang-orang baru dengan semangat perubahan, semangat perbaikan? karena sesungguhnya reformasi belum mampu meredam nafsu busuk dari orang-orang yang bermoral rendahan yang haus akan uang dan kekuasaan.
Sebagai negara yang menempatkan hukum diatas segalanya sudah seharusnya pemegang kekuasaan dalam negara pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan pada hukum yang berlaku, seharusnya melalui amandemen UUD 1945 mencoba mewujudkan dan menjaga konstitusionalitas pelaksanaan kekuatan politik yang ada, dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, melalui sistem kontrol yang relevan dengan semangat reformasi yakni sistem kontrol yudisial.
Namun apa yang kita temui sungguh memilukan karena di negeri ini hukum bisa diperjualbelikan sesuai dengan keinginan orang, inilah jual beli yang teramat mahal karena sesungguhnya yang menjadi objeknya adalah keadilan itu sendiri. Pelaku yang terlibat pun tak tanggung-tanggung mulai dari pengacara, polisi, jaksa, panitera, hakim, orang-orang yang ditengarai dekat dengan aparat juga menjadi bagian konspirasi busuk. Mereka sesungguhnya orang-orang pintar memanipulasi hukum untuk kepentingannya.
Parah memang wajah hukum di negeri ini karena sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya penjaga keadilan justru tercoreng oleh oknum-oknum yang tanpa moral telah menodai rasa keadilan dengan merekayasa kebenaran dan kesalahan sesuai dengan pesanan asalkan ada uang. hukum yang seharusya jelas antara hitam dan putih justru tercampur memunculkan warna abu-abu sehingga sulit membedakan mana yang benar mana yang salah.
Maraknya markus akhir-akhir ini sesungguhnya bukan hal yang baru karena sebenarnya markus sudah lama ada tapi selama ini tangan-tangan hukum seakan tak mampu untuk menjamahnya hingga akhirnya markus-markus menjadi tumbuh subur dan terus berkembang. Markus hadir karena mereka dibutuhkan oleh orang-orang yang memang menginginkan hal itu.
Masalah bangsa yang terus menyelimuti bangsa ini kalau tidak cepat diatasi, bukan mustahil negeri ini akan menuju kepada failed state. Untuk itu mahasiswa bersama kaum intelektual selaku insan akademis perlu kembali memantapkan fungsi kampus sebagai pusat penggerak politik moral, pengawal pelaksanaan reformasi. Sehingga mereka diharapkan tetap berada pada garis dasar perjuangannya, yakni tetap menyuarakan seruan moral dalam kondisi apapun tidak hanya di tahun 1998 itu saja agar arah gerakan reformasi tidak melenceng dari tujuan semula.
Untuk mendukung perbaikan bangsa ini, dunia kampus tidak hanya dituntut mampu memerankan proses transfer of knowledge tapi juga transfer of value karena mahasiswa dengan stamina yang kuat, energi yang meletup-letup, didasari dengan idealisme yang masih murni kiranya dapat membangun gerakan untuk merubah wajah buruk bangsa ini. Mampukah kita bersama melakukan gerakan itu? why not, selama masih ada nilai-nilai moral yang kita junjung tinggi.

Cacat Moral Calon Kepala Daerah

Oleh Lies Ariany


Pemilukada merupakan isu sentral yang terus bergulir seiring dengan era reformasi dewasa ini, proses ini ideal ditujukan sebagai salah satu upaya untuk melakukan demokratisasi politik di level lokal, yang merupakan muara kebijakan desentralisasi dan otonomi. Bergulirnya gagasan untuk melaksanakan pemilihan langsung terhadap kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) oleh rakyat adalah pertanda telah bergesernya paradigma ketatanegaraan dari demokrasi representasi kearah demokrasi langsung.
Pelaksanaan pemilukada merupakan hal yang urgentie bagi pemantapan pelaksanaan desentralisasi teritorial di Indonesia yang dihubungkan dengan kenyataan bahwa makin pesatnya pembangunan, makin mantapnya pemahaman dasar falsafah negara Pancasila, telah menimbulkan kebutuhan yang meningkat pula, ialah sistem pemerintahan di daerah yang lebih efektif dan efisien, yang lebih berorientasi kepada aspirasi demokrasi dan gairah kemandirian serta prakarsa yang inovatif dalam rangka mencukupi kebutuhannya daerah-daerah yang keadaannya tidak segala-galanya sama antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya meskipun ada hal-hal yang fundamental yang sama di setiap daerah itu.
Pemilukada itu sendiri di Indonesia ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi Pemilukada memberikan kesempatan kepada rakyat di daerah sebagai salah satu infrastruktur politik untuk memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Hal ini akan mendorong terjadinya keseimbangan antara infrastruktur politik dengan suprastruktur politik, karena melalui pemilihan kepala daerah langsung maka rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia. Namun disisi lain pemilukada juga memunculkan banyak persoalan didalamnya salah satunya terkait dengan calon kepala daerah.
Akhir-akhir di berbagai media massa memperlihatkan penyelenggaraan pemilukada di beberapa daerah mulai panas yang tidak hanya disebabkan karena persaingan antar partai politik setempat, namun juga sebabkan calon-calon yang maju dalam pemilukada kali ini akan diikuti oleh bintang-bintang “panas”. Di antaranya yang sekarang tengah jadi pemberitaan adalah Julia Peres (Jupe) yang akan maju sebagai calon wakil bupati Pacitan dan Maria Eva yang akan maju sebagai calon wakil bupati Sidoarjo.
Kalau kita menilik kehidupan pribadi mereka yang nota bene adalah artis yang selama ini di kenal sering berpenampilan seronok dan menjadi pemberitaan seputar kehidupan pribadi yang sudah biasa menjadi konsumsi media massa terutama infotainment kemudian juga kehidupan yang bombastis dengan skandal video mesum bersama anggota DPR, telah membangun opini publik dan telah memberi pandangan buruk bagi masyarakat tentang pribadi mereka, hingga memunculkan pertanyaan kenapa harus mereka apakah tidak ada calon yang lain lagi?.
Akhirnya majunya mereka sebagai calon kepala daerah mendapat respon dari masyarakat setempat dengan melakukan aksi turun kejalan menentang pencalonan tersebut. Pemerintah pun bereaksi dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang saat ini sedang membuat rancangan peraturan baru khususnya tentang kriteria calon kepala daerah, yang salah satunya memiliki pengalaman berorganisasi dan tidak boleh memiliki cacat moral seperti terlibat perzinahan.
Walaupun sebenarnya dalam alam keterbukaan seperti sekarang di mana sebagai negara yang demokratis sebenarnya baik Julia Peres maupun Maria Eva yang juga bagian dari bangsa ini sesungguhnya juga berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara. serta mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan terlepas dari siapa dia dan latar belakang kehidupannya .
Melalui pemilukada mencoba membangun demokrasi yang tujuan akhir menghendaki persamaan atau kesamaan hak-hak dalam menjalankan peran politik dalam konteks negara. Kesamaan hak-hak politik ini esensial dalam kuantitas kemanusiaannya (subjek otonom) sebagai seorang individu yang bebas. Inilah akhirnya dilema yang muncul karena kalau sampai ada calon kepala daerah dengan latar belakang kehidupan yang dianggap cacat moral apakah berarti orang tersebut selamanya tidak dapat maju dan akan kehilangan hak dipilih, Sebagai negara yang menempatkan hukum diatas segala-galanya maka sudah pasti hal ini jelas-jelas akan melanggar hak asasi manusia yang telah di atur dalam UUD 1945.
Namun hal yang lumrah pula apabila sebagai masyarakat awam tidak menginginkan kalau daerahnya di pimpin oleh orang-orang yang mempunyai citra buruk, karenya opini publik ikut menentukan pencitraan diri dan pandangan terhadap seorang dan juga daerah yang kelak akan dipimpinnya apabila terpilih dalam pemilukada. Sesungguhnya dengan citra buruk yang melekat pada seseoarang dan pernah melakukan kesalahan bukan berarti selamanya akan terus-terusan melakukan hal yang buruk karena seseorang pun dapat memperbaiki dirinya jika Tuhan saja bisa mengampuni kesalahan umatnya, mengapa kita manusia yang tak pernah luput dari salah dan khilaf tidak memberi kesempatan.
Untuk itu kita selaku masyarakat pemilih jangan hanya terjebak pada dikotomi cacat moral yang pernah dilakukan seseorang, karena untuk memilih seorang kepala daerah kita juga harus melihat seluruh aspek yang ada pada diri calon kepala daerah itu. Untuk itu hal yang terpenting adalah kehati-hatian dari masyarakat itu sendiri dalam memberikan suaranya. Karena sesungguhnya yang harusnya kita pilih dalam Pemilukada adalah pemimpin yang qualified, orang terbaik dengan memiliki kualitas kepemimpinan yang tidak diragukan, mampu membangun kemandirian daerah, mampu mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi karena melalui pemilukada ingin membangun pemerintahan daerah yang kuat. Bukan sekedar pemimpin yang hanya bisa mengandalkan kepopuleran dan penampilan semata.
Tokh, calon kepala daerah yang maju dalam pemilukada tidak serta merta dia kelak yang akan terpilih karena yang menentukan adalah masyarakat pemilih itu sendiri. Inilah alam demokrasi dimana siapapun berhak di pilih dan siapapun berhak memilih. kita juga harus bisa menerima perbedaan. Perbedaan latar belakang politik, bendera partai, berbeda memilih calon pemimpinya, perbedaan SARA dan sederet perbedaan lainnya.

MENCERMATI HAK ANGKET DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

Oleh Lies Ariany


1. Istilah Angket dan Hak Angket
Istilah “angket” itu sendiri berasal dari bahasa Perancis ‘enquete’ (asal kata inquirere- latin) yang artinya penyelidikan. Dalam bahasa Indonesia istilah angket mempunyai 3 macam arti: 1. Daftar pertanyaan tertulis mengenai masalah tertentu dengan ruang untuk jawaban bagi setiap pertanyaan; 2. Pemeriksaan saksi-saksi dipersidangan perkara perdata baik yang diajukan oleh penggugat maupun oleh tergugat; 3. Penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan pemerintah.
Dalam konteks sekarang menyangkut istilah hak angket maka yang tepat adalah istilah yang terakhir yakni “penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan pemerintah”, menurut Ensiklopedi Indonesia angket diartikan sebagai hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan pemeriksaan dan penyelidikan atas suatu hal yang menurut persangkaan DPR telah disepakati bersama antara DPR dan Pemerintah”.
Oleh karena itu hak angket lazim disandingkan dengan hak penyelidikan. Namun menurut Prof Bagir Manan mantan Hakim Agung pemakaian istilah hak penyelidikan sebaiknya dihindarkan. Pemakaian istilah penyelidikan dapat menimbulkan salah pengertian. Istilah penyelidikan itu sendiri merupakan proses awal dalam mengungkapkan dugaan telah terjadi perbuatan pidana. Untuk itu penggunaan hak angket dimaksudkan sebagai suatu fact finding atau untuk merumuskan suatu kebijakan.
2.Hak Angket Dalam Tinjauan Yuridis
Jika kita melihat dalam sejarah hak angket di Indonesia yang dimulai sejak masa penjajahan kolonial Belanda maka sewaktu terbentuknya Volksraad (Dewan Rakyat), pernah diupayakan melalui mosi Stokvis agar hak angket dimasukkan sebagai salah satu hak dari Volksraad berdampingan dengan hak-haknya yang lain seperti hak petisi, hak interpelasi, hak inisiatif dan hak amandemen. Namun pada masa itu, Volksraad dalam sidangnya menolak mosi Stokvis itu. Dengan sendirinya, upaya untuk memasukkan hak angket sebagai salah satu hak dari Volksraad menemui kegagalan.
Baru setelah Indonesia merdeka maka sejak awal kemerdekaan hingga sekarang bergulirnya kasus Bank Century dapat diketahui bahwa hak angket itu merupakan hal yang diakui dalam sistem ketatanegaraan kita baik itu dalam UUD 1945 sebelum dan setelah amandemen, Konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950. Berbicara hak angket dalam tataran yuridis setelah amandemen kedua UUD 1945 pengaturannya ada pada Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “ Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Dengan dasar ini hak angket memperoleh jastifikasi dan legitimasi yang kuat dari UD 1945 dan dari rumusan tersebut secara konseptual, hak angket ada sebagai sesuatu yang melekat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Selain dalam UUD 1945 dalam tataran yuridis sumber legitimasi hak angket di jumpai dalam UU No. 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket yang lahir sebagai realisasi dari ketentuan Pasal 70 UUDS 1950 hal ini sebenarnya suatu hal yang dilematis dalam sistem ketatanegaraan kita karena tidak lagi sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang digariskan UUD 1945 setelah amandemen dan tentunya jelas berbeda dengan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUDS 1950, namun dalam kenyataannya UU No 6 Tahun 1954 hingga saat ini masih dinyatakan berlaku dan diakui keabsahannya berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.
Demikian pula dalam Pasal 77 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi “ Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Aturan-aturan inilah yang dijadikan sebagai dasar untuk memproses hak angket termasuk kasus Bank Century yang tengah bergulir sekarang.
3. Hak Angket Sebagai Implementasi Fungsi Pengawasan
Keberadaan hak angket dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan salah satu bentuk manifestasi dari prinsip kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh DPR. Disinilah kehadiran DPR sebagai sebagai lembaga yang mewakili dan mewujudkan kedaulatan rakyat merupakan hal yang mutlak, terutama dalam pembuatan kebijakan umum serta pengawasan pelaksanaan pemerintahan agar sesuai dengan kehendak rakyat.
Di satu sisi fungsi DPR dalam bidang legisasi semakin berkurang namun disisi lain fungsi pengawasan yang dimiliki DPR haruslah di optimalkan, agar dalam prakteknya kebijakan yang diambil Presiden sesuai dengan UUD dan UU. Ditempatkannya hak angket pada fungsi pengawasan DPR merupakan gejala umum pada masa sekarang, dimana titik berat pembentukan perundang-undangan telah banyak bergeser ke tangan Presiden beserta jajarannya yang memainkan peran aktif dalam mengatur segala aspek kehidupan masyarakat dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat sedangkan DPR selaku lembaga yang memiliki kewenangan membentuk perundang-undangan dewasa ini lebih banyak membahas dan mengamandemen rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah.
Perlu kiranya dipahami ruang lingkup pengawasan dan mekanisme pengawasan. Ruang lingkup pengawasan harus dikaitkan dengan kekuasaan dan hak DPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945, yang meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran. Pembatasan ini perlu agar DPR tidak melakukan fungsi pengawasan yang menjadi wewenang lembaga lain. Untuk itulah mencermati realitas sekarang terkait dengan pelaksanaan hak yang dimiliki oleh DPR maka penggunaan salah satu haknya yakni hak angket difokuskan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dari suatu lembaga perwakilan rakyat sehingga penyelidikan yang dilakukan oleh DPR sebenarnya terkait dengan ketentuan hukum, kebijakan-kebijakan yang menimbulkan korupsi yang menjadi dasar penyempurnaan suatu aturan hukum atau suatu kebijakan, bukan terkait mengenai dugaan tindak pidana korupsi, karena jelas perbuatan korupsi merupakan pelanggaran hukum yang menjadi wewenang penyelidik, penyidik, penuntut umum dan hakim.
Sebenarnya, melalui hak angket inilah terbangun suatu mekanisme check and balances antara DPR dan Presiden. Mencermati peran strategis dari hak angket dalam sistem ketatanegaraan kita, maka melalui hak angket ini DPR tidak dapat serta merta menjatuhkan Presiden karena untuk terjadinya impeachmet terhadap Presiden masih panjang tahapan yang harus ditempuh walaupun begitu hak angket ini merupakan pembuka jalan bagi DPR untuk meng-impechment Presiden. Dan apakah hak angket bank Century sekarang berujung pada jatuhnya Presiden SBY? Kita lihat saja nanti proses yang sekarang tengah dimainkan di DPR.

PEMILIHAN KEPALA DAERAH : DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN POLITIK DI LEVEL LOKAL

Oleh Lies Ariany


Pemilihan Kepala Daerah dan Demokrasi
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan isu sentral yang terus bergulir seiring dengan era reformasi dewasa ini, proses ini ideal ditujukan sebagai salah satu upaya untuk melakukan demokratisasi politik di level lokal, yang merupakan muara kebijakan desentralisasi dan otonomi. Masalah pemilihan kepala daerah turut menentukan tingkat demokratisasi di daerah tersebut. Semakin tinggi partisipasi aktif rakyat setempat dalam proses pemilihan kepala daerah, semakin tinggi pula tingkat demokratisasi di daerah tersebut.
Sebelum Reformasi, partisipasi aktif rakyat daerah dalam proses pemilihan kepala daerah masih terbatas, bahkan bisa dikatakan tidak ada partisipasi langsung sama sekali. Proses politik di daerah, termasuk proses pemilihan kepala daerah sepenuhnya dilakukan oleh wakil rakyat di DPRD. Dipakainya sistem perwakilan dalam proses pemilihan kepala daerah, sebenarnya sudah memenuhi kriteria demokrasi karena para wakil rakyat tersebut adalah dipilih oleh rakyat secara langsung pada pemilu. Bahkan di negara-bangsa yang sangat besar dalam jumlah penduduk dan luas wilayah, sistem perwakilan merupakan pilihan efektif dan efisien. Namun apabila dimungkinkan dilakukannya perluasan partisipasi rakyat daerah sampai ke pemilihan kepala daerah, dari perspektif demokrasi tentu lebih baik jika kesempatan tersebut diimplementasikan.
Sehingga pemilihan umum kepala daerah secara langsung, tak hanya menjadi fenomena perintah undang-undang namun telah menjadi suatu kebutuhan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi. Pemilihan kepala daerah diharapkan mampu menjadi pengulang sukses peralihan kekuasaan secara konstitusional di Indonesia.
Pemilihan Kepala Daerah Sebagai Pendidikan Politik Bagi Masyarakat
Negara demokratis atau yang berkedaulatan rakyat adalah negara atau pemerintahan yang memberdayakan rakyat, sehingga rakyat berkemampuan untuk menentukan hidup atau masa depannya sendiri. Oleh karena itu sistem politik atau pemerintahan yang di bangun seharusnya memberi kemampuan kepada rakyat untuk dapat mengarahkan dan mengontrol jalannya pemerintahan. Rakyat juga bertanggungjawab tentang caranya menentukan nasibnya. Sehingga menurut Mohammad Hatta rakyat harus mempunyai keinsyafan politik karena kalau rakyat tidak mempunyai keinsyafan politik maka rasa tanggungjawab akan kurang dan pada gilirannya bagaimana mungkin rakyat dapat melaksanakan kedaulatannya jika tidak mengerti akan tanggungjawab.
Inilah pendidikan politik paling penting selama perhelatan pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini. Rakyat diberi pelajaran bagaimana memilih pemimpinnya sendiri untuk kepentingan dirinya dan daerahya. Dengan dilaksanakannya pemilihan umum adalah cara untuk menentukan siapakah yang akan menjalankan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif, sehingga Pemilihan Umum adalah cara untuk menentukan bagaimana pelaksanaan kedaulatan rakyat dilaksanakan. Sangat diharapkan dengan perpindahan kekuasaan maka situasi dan kondisi negara akan bertambah baik, sehingga sistem demokratis dapat berjalan.Begitu pula halnya dengan pemilihan kepala daerah secara langsung ini ditentukan kedaulatan rakyat yang akan dilaksanakan, karena Pemilu adalah suatu cara perpindahan kekuasaan yang demokratis dan tidak menimbulkan pertumpahan darah, atau disebut sebagai cara yang legal formal untuk mengganti kekuasaan negara.
Pendidikan politik lainnya, dari pemilihan kepala daerah secara langsung, yaitu rakyat harus bisa menerima perbedaan. Perbedaan latar belakang politik, bendera partai, berbeda memilih calon pemimpinya, perbedaan SARA dan sederet perbedaan lainnya. Menerima perbedaan ini penting. Ketika rakyat telah berhasil menerima perbedaan, maka rakyat dengan sendirinya tidak akan melakukan cara-cara kekerasan, menolak dengan frontal apabila calonnya kalah bersaing dalam pemilihan kepala daerah.
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung telah sejalan dengan tujuan desentralisasi territorial yakni untuk menyalurkan semangat kebebasan secara bertanggung jawab, mendidik dan melatih diri melaksanakan dan menetapkan kegiatan politik lokal sejalan dengan politik nasional di dalam negeri.
Karena itu, tepat kiranya sekarang ini pemilu kepala daerah sehingga meningkatkan kapasitas pemerintah lokal dalam melayani kepentingan publik. pemilu kepala daerah bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya-upaya untuk mewujudkan pemerintah lokal yang demokratis. Paradigma lama yang menganggap segala keputusan berada di tangan pemerintah dan aparat birokrasi harus di kikis habis dan diganti dengan pandangan baru yang mengedepankan pelayanan dengan prinsip partisipatif, tranparan dan akuntabilitas kepada publik.

MENJAGA STABILITAS SISTEM KEUANGAN MELALUI INSTRUMEN HUKUM

Oleh Lies Ariany


Secara umum istilah financial stability atau stabilitas keuangan telah dikenal oleh banyak pelaku ekonomi terutama pelaku pasar keuangan. Pada prinsipnya stabilitas keuangan berkaitan dengan 2 elemen, yaitu stabilitas harga dan stabilitas sektor keuangan yang mencakup lembaga keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya sistem keuangan. Jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik, maka elemen lainnya akan terpengaruh. Misalnya, tingkat inflasi yang tinggi dapat membawa konsekuensi pada kebijakan uang ketat, peningkatan suku bunga dan peningkatan kredit bermasalah yang pada akhirnya memicu kegagalan bank dan lembaga keuangan lainnya dalam sektor keuangan. Sebaliknya gangguan pada sistem keuangan akan mempengaruhi efektivitas transmisi kebijakan moneter dan tingkat harga secara umum.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan sektor keuangan dapat mengakibatkan aktivitas mobilisasi dana yang sangat diperlukan oleh sektor riil. Dengan terhambatnya aliran dana tersebut, sektor riil akan membatasi bahkan menghentikan aktivitas usahanya sehingga pada akhirnya akan membawa dampak kotraksi pada aktivitas perekonomian. Disamping itu, kestabilan sektor keuangan sangat diperlukan dalam menunjang proses transmisi kebijakan moneter. Beranjak dari pentingnya stabilitas keuangan bagi eksistensi lembaga keuangan secara individu maupun sektor keuangan, moneter dan fiskal secara keseluruhan maka diperlukan suatu kebijakan publik yang konsisten, terintegrasi dan tidak saling menimbulkan distorsi.
Telah dipahami bahwa sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana. Apabila sistem keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai.
Untuk mendorong stabilitas sistem keuangan maka faktor utama yang berperan adalah terciptanya hukum yang mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi untuk berfungsi. Dengan terciptanya stabilitas (stability) maka potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sehingga kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negara yang pertamakali memasuki suatu kondisi yang tidak diharapkan sebelumnya. Sehingga aspek keadilan ( fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah dalam menjaga mekanisme pasar.
Dengan demikian dalam rangka mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik, maka langkah-langkah yang diambil dalam menjaga stabilitas keuangan memerlukan kepastian hukum sehingga terjalin sinergi antara bidang hukum dan bidang ekonomi. Sinergi itu sendiri diharapkan akan memperkuat stabilitas sistem keuangan secara sistemik maupun sistem hukum nasional kita yang pada akhirnya memantapkan pembangunan yang berkelanjutan.
Mencermati perangkat hukum ekonomi yang sekarang berlaku hanya di-design untuk mengatur kegiatan usaha bank dalam keadaan normal. Oleh karena itu, pada masa krisis tidak tersedia perangkat hukum yang dapat dijadikan dasar bagi diambilnya tindakan emergency guna segera mengatasi situasi krisis di sektor keuangan yang dapat mengakibatkan colappse-nya perekonomian nasional.
Keadaan darurat atau state of emergency didasarkan pada prinsip adanya keperluan atau ”necessity”. Sebenarnya alasan-alasan pembenar untuk diambilnya tindakan-tindakan dalam keadaan normal niscaya dipandang bertentangan dengan hukum, tetapi dalam keadaan yang berifat darurat maka tindakan-tindakan itu dipandang perlu untuk dilakukan guna menyelematkan eksistensi negara sendiri dari ancaman kehancuran akibat adanya ancaman bahaya.
Pada saat keadaan yang tidak normal itu, semua tindakan yang bersifat luar biasa yang memang sangat diperlukan dapat dibenarkan untuk dilakukan guna mencegah timbulnya ancaman bahaya atau untuk mengatasi dan menanggulangidampak keadaan bahaya itu serta memulihkan kembali keadaan negara kepada kondisi yang normal seperti sedia kala.
Terkait dengan penyelesaian krisis keuangan dirumuskan kebijakan-kebijakan yang akan diambil Bank Indonesi dan Pemerintah untuk penyelamatan sistem perbankan nasional di masa krisis yang secara langsung berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu penyusunan perangkat-perangkat hukum yang ditujukan untuk menanggulangi krisis atau systemic risk yang norma hukumnya dirumuskan secara berbeda dari peragkat aturan yang mengatur kegiatann usaha bank dalam keadaan normal.
Sebenarnya sampai saat ini Indonesia belum memiliki perangkat aturan yang ditujukan menanggulangi krisis atu systemic risk karena perangkat hukum di bidang keuangan dan perbankan yang ada hanya dapat digunakan sebagai aturan dalam keadaan normal saja.
Agar tindakan yang diambil oleh otoritas yang berwenang dalam mengatasi krisis dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka selain perangkat hukum yang mengatur kondisi normal perlu disusun pula perangkat hukum yang melandasi kerangka kerja (framework), manajemen yang bersifat strategis (crisis strategy management). Selain itu pula perlu kiranya dirumuskan komitmen politik hukum terkait dengan tindakan yang telah di ambil oleh Bank Indonesia dan pemerintah dalam rangka penyelematan sistem keuangan nasional di masa krisis. Hal ini penting agar kebijakan yang diambil yang bersifat emergency pada masa krisis dalam rangka penyelamatan sistem keuangan dapat dihilangkan sifat melawan hukumnya.

Sabtu, 17 Juli 2010

Antara Pajak, Gayus dan Gerakan Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak

Oleh Lies Ariany


Kasus yang melibatkan Gayus Halomoan Tambunan seorang Pegawai Negeri Gologan IIIA bagian Penelaah Keberatan Pajak atau Banding Perorangan atau Badan di Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut makelar kasus dana pajak senilai Rp 24,6 miliar telah merusak citra Ditjen Pajak dan memunculkan kekecewaan dikalangan masyarakat sehingga turut mencuatkan aksi di jejaring sosial facebook yang menyuarakan 1 Juta Gerakan Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak.
Apabila akhirnya masyarakat mempunyai tanggapan seperti itu akan menimbulkan efek buruk bagi pelaksanaan pembangunan karena pajak berfungsi sebagai sumber-sumber keuangan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Mencermati wacana yang berkembang di masyarakat sekarang maka pajak perlu mendapatkan perhatian serius, supaya pajak menjadi milik bersama yang dimotori oleh negara dan rakyat. Kalau sampai Gerakan Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak meluas dikalangan masyarakat maka akan turut membahayakan negara karena hal yang sulit terbantahkan bahwa kontribusi besar dari pajak sebagai salah satu sumber pembiayaan yang sangat potensial karena APBN kita tidak cukup hanya mengandalkan sumber dana dari hasil kekayaan alam, maupun penghasilan non pajak lainnya.
Pajak sendiri dipahami sebagai sumbangan paksaan dari penguasa yang digunakan untuk memperoleh uang atau pemasukkan sehingga perlu diatur menurut hukum. Dasar Konstitusional pemungutan pajak yakni Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Konsekuensi dari bunyi pasal tersebut memberikan pemahaman bahwa negara memiliki kewajiban membuat aturan hukum yang berbentuk peraturan perpajakan. Aturan hukum dibidang perpajakan yang dibuat oleh negara berdasar prosedur yang telah ditetapkan UUD 1945 akhirnya melahirkan hukum pajak nasional.
Kerelaan rakyat untuk membayar pajak sesungguhnya bagian dari komitmen rakyat untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Memang dapat dipahami bahwa pajak merupakan beban rakyat sehingga dapat dimaklumi jika dalam batas-batas tertentu rakyat kurang mempercayai pemerintah lagi karena dalam praktek memunculkan penyelewengan, korupsi dan manipulasi. Ketertutupan, elitis dan manipulatif dalam pengelolaan pajak selama ini menurunkan kepercayaan dari rakyat. Sebagai paksaan dari negara maka rakyat harus menunaikan kewajiban membayar pajak sementara disisi lain negara tidak jujur dan terbuka dalam menggunakan dan mengelola pajak.
Penyelewengan terjadi di bidang perpajakkan bersumber pada kuatnya syahwat dari pemegang kekuasaan untuk mendapatan sumber-sumber kekayaan dengan jalan pintas dan menghalalkan segala cara sehingga mengabaikan semangat moral dan etik dalam mengelola uang negara. Ulah-ulah seperti inilah yang membuat negara bangkrut. Negara pun hampir kehilangan denyut nadinya dalam melaksanakan pembangunan akibat penurunan moral bangsa yang dilakukan pemegang kekuasaan yang menjadikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik.
Sebenarnya melalui pajak terjalin ikatan antara rakyat dan negara, karena pajak menjadi sarana komunikasi antara rakyat yang mempunyai kelebihan harta dengan mereka yang nantinya akan memperoleh keadilan dibidang ekonomi melalui sarana negara sehingga terjadi pemerataan pembangunan, rakyat pun menjadi bagian dari pengelolaan negara. Ikatan yang terjalin karena negara dapat terus melaksanakan pembangunan berkat rakyat dan rakyat pun membutuhkan negara untuk mengatur dan mengelola kehidupan rakyat agar lebih sejahtera dan ini sejalan dengan prinsip welfare state (negara kesejahteraan). Sebagai negara yang mengutamakan kepentingan umum maka negara sebagai organisasi tertinggi berwenang menentukan arah kebijakan berbagai bidang kehidupan bangsa.
Di tengah maraknya Gerakan Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan bisa menggaet pertumbuhan wajb pajak menjadi 20 atau 25 juta wajib pajak dalam 2 hingga 3 tahun kedepan. Jumlah tersebut naik dibandingkan total wajib pajak saat ini yang mencapai sekitar 16 juta wajib pajak. Untuk mengurangi ketegangan rakyat yang antipati terhadap kinerja pemerintah dan untuk meningkatkan perolehan pajak sesuai dengan yang telah ditargetkan maka perlu kiranya diterapkan pola kerja dalam bidang pajak diantaranya prinsip keadilan dalam pemungutan pajak sehingga wajib pajak dikenakan pajak sesuai dengan standar secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, kemudian Ditjen Pajak harus memungut pajak sesuai dengan ketentuan yuridis dan terakhir transparansi dalam penggunaan uang pajak karena sebagai sumber pembiayaan publik yang berasal dari rakyat, maka pajak harusnya dikelola menurut ukuran publik dimana rakyat diberi kebebasan untuk mengetahui dan mengontrol jalannya pembangunan yang dibiayai dari uang pajak.
Pajak sebagai uang yang dikumpulkan dari rakyat, maka sudah sewajarnya negara mengembalikan uang tersebut untuk kepentingan rakyat. Hal ini kiranya sejalan dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga kekuasaan negara dalam memungut pajak harus dikembalikan kepada rakyat apalagi wajib pajak tidak pernah mendapatkan kontra prestasi secara langsung dari pajak yang telah dibayarkan. Selama ini rakyat sebagai pembayar pajak hanya diberi beban untuk menunaikan tugasnya menyetorkan uang pajak kepada negara sementara pemanfaatan uang pajak tersebut untuk apa tidak pernah diketahui oleh mereka yang membayar pajak.
Sebetulnya tanggal 31 Maret adalah batas waktu terakhir bagi wajib pajak pribadi untuk menyerahkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan (PPh) dan bertepatan dengan hari itu pula Gayus Halomoan Tambunan di bawa kembali ke tanah air setelah berhasil di tangkap di Singapura. Dua moment itu merupakan hal yang tepat untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak. Namun apakah moment tersebut mampu mengeliminir Gerakan Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak? Apakah moment tersebut juga mampu mengungkapkan makelar kasus yang tengah membelenggu penegakkan hukum kita? Wallahu Alam Bissawab.

Mencermati Sistem Multi Partai di Indonesia

Mencermati Sistem Multi Partai di Indonesia
Oleh Lies Ariany


Demokrasi adalah bentuk penyelenggaraan pemerintahan terbaik dari yang terburuk (the best among the worst). Ungkapan itu muncul pada saat membandingkannya dengan bentuk-bentuk penyelenggaraan lainnya karena di dalam demokrasi terdapat prinsip-prinsip liberte (kebebasan), egalite (egalitarianisme) dan fraternite (kebersamaan).
Terwujudnya pemerintahan demokratis merupakan cita-cita semua bangsa termasuk Indonesia. Namun upaya tersebut akan menjumpai suatu persoalan belum jelasnya mengenai tolok ukur yang bersifat universal untuk menilai apakah suatu pemerintahan itu dikategorikan sebagai pemerintahan yang demokratis atau tidak. Terlepas dari semua itu, pemahaman dan perdebatan mengenai demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat tidak pernah berhenti. Dalam artian, belum pernah seorang pun dapat atau mampu mengungkapkan isi atau muatan demokrasi secara lengkap.
Tidak dapat dipungkiri, kalau parpol adalah sebuah institusi yang esensial yang ada dalam demokrasi yang menjadi penopang kukuhnya bangunan demokrasi itu sendiri. Karena memang kita belum bisa menemukan sistem yang lebih baik dalam kehidupan demokrasi modern kecuali dengan parpol. Namun jika bercermin pada pelaksanaan demokrasi di negara kita melalui parpol yang ada terlihat jelas bahwa selama orde baru demokrasi di Indonesia telah terpasung. Akibatnya anggota masyarakat kurang terbiasa dengan tingkah laku dan mekanisme demokrasi.
Untuk menjamin agar semua perangkat politik dan kehidupan kemasyarakatan berdaya, perlu pemulihan demokrasi. Melalui demokrasi dapat ditumbuhkan sikap bertanggung jawab. Tanpa demokrasi, perangkat-perangkat politik dan sosial akan lumpuh, tidak berdaya karena tidak ada kebebasan dan keterbukaan.
Seiring dengan tumbangnya era Orde Baru maka terlihat bahwa parpol bermunculan bagaikan cendawan dimusim hujan. Ini merupakan awal yang bagus bagi pemulihan demokrasi di Indonesia yang membawa harapan dan pencerahan bagi kemajuan kehidupan bernegara. Dimuai pada pemilu 1999 ada 48 parpol yang ikut pemilu, pada pemilu 2004 ada 24 parpol yang ikut dalam pemilu sedangkan pada pemilu yang terakhir tahun 2009 ada 38 parpol yang ikut bertarung ditambah dengan 6 parpol lokal Aceh.
Dengan banyaknya jumlah parpol sesungguhnya kita melihat begitu mudahnya untuk mendirikan sebuah parpol di Indonesia, inilah alam demokrasi sehingga jika dilihat dari segi kebebasan hal ini memang yang ideal bagi suatu bangunan demokrasi karena siapapun bisa untuk mendirikan parpol. Demokrasi sendiri memberikan kebebasan kepada warganegara untuk berorganisasi, mendirikan parpol dan mengemukakan pendapat. Dalam demokrasi, parpol bisa berkembang secara alami, berkolaborasi dan bebas beroposisi terhadap kebijakan pemerintah.
Namun patut diingat bahwa banyaknya parpol sesungguhnya merupakan permasalahan tersendiri bagi bangsa kita karena berkaca dari realitas politik yang ada saat ini, banyaknya parpol di negeri ini tidak otomatis cerminan tingginya semangat berdemokrasi di kalangan elite politik. Kemudahan mendirikan parpol menstimulasi elite untuk berlomba memperebutkan kekuasaan tanpa pertimbangan matang.
Selain itu pula banyaknya parpol menjadi faktor penyebab tidak stabilnya pemerintahan karena tentu tidak mudah untuk menyatukan persepsi dari banyaknya parpol. Hal ini turut mempengaruhi kecepatan konsensus yang diambil di legislatif yang akan menyita banyak waktu untuk menghimpun berbagai kepentingan dan idealisme politik yang seringkali berdampak pada tertundanya berbagai kebijakan strategis. Dengan banyaknya parpol sulit untuk memperoleh dukungan absolut atas sebuah kebijakan, ini tidak sehat bagi kinerja pemerintahan dalam membuat kebijakan. Walaupun kebijakan tersebut sesungguhnya ditujukan dan untuk kepentingan rakyat. Apalagi dalam sistem pemerintahan presidensil yang dianut dinegara kita memerlukan kesolidan antara eksekutif dan legislatif karena efektivitas dari sistem pemerintahan presidensil sangat tergantung dari dukungan politik yang ada dilegislatif.
Kita patut belajar dari sejarah perkembangan bangsa dan negara, karena sudah seharusnya kita mengubah paradigma berpikir dalam memandang fungsi parpol. Melihat politik dari sisi kepentingan seharusnya hal yang simple, bukan lagi sesuatu hal yang rumit selama setiap kepentingan politik dari masing-masing Parpol bisa ‘diklasifikasikan” atau “disederhanakan” dengan jumlah sesedikit mungkin tetapi dengan kualitas dan kapasitas yang diperbesar.
Oleh karena itu adanya usulan untuk menyederhanakan jumlah parpol dengan memperbesar level parliamentary threshold (PT) dari 2,5 persen menjadi 5 persen patut kiranya dijadikan bahan pertimbangan. Kita bisa belajar dari berbagai negara di dunia, di mana mayoritas negara maju memiliki jumlah parpol sedikit. Mengingat jumlah parpol yang terlalu banyak menimbulkan kebingungan masyarakat sebagai pemilih dalam menentukan preferensi politiknya karena umumnya setiap parpol memiliki platform dan ideologi yang hampir sama. Dari banyaknya parpol dengan segala perbedaan pandangan dan aliran yang mereka usung jika ditelisik lebih jauh maka parpol yang ada saat ini dapat dikerucutkan menjadi kategori tertentu yakni partai beraliran nasionalis, sosialis, agamis dan marhaenis.
Menyederhanakan jumlah parpol melalui parliamentary threshold kiranya merupakan pilihan bijak karena idealnya jumlah parpol itu dalam kisaran 5-10 parpol saja. Kondisi ini mungkin saja menguntungkan parpol besar yang telah mapan, tetapi tidak sepenuhnya benar karena bagi parpol yang lebih kecil pun dapat melebur kedalam parpol besar sepanjang memiliki kesamaan platform dan tentunya tetap memiliki bargaining power dari akuisisi konstituen yang telah dimiliki selama ini. Selain itu, melalui penggabungan parpol turut membuka peluang bagi terakomodasinya kepentingan dari partai kecil jika bergabung dengan parpol besar, karena parpol yang besar lebih mampu, memiliki kekuatan dan mapan dalam melakukan penekanan dan kontrol terhadap pemerintah.
Guna mewujudkan kestabilan politik sesungguhnya penerapan sistem multi partai bukan menjadi jaminan bahwa masyarakat pasti akan memberikan suaranya, namun lebih pada kapasitas dan kemampuan dari parpol itu sendiri untuk merealisasikan janji-janjinya kepada publik. Asas demokrasi tercipta untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Jadi pendidikan politik bagi masyarakat merupakan hal yang tidak kalah pentingnya agar tumbuh kesadaran untuk menjadikan parpol sebagai tempat pembinaan dan penggodokan bagi para calon yang akan ‘ditawarkan kepada masyarakat pemilih.bukan sebaliknya untuk memberikan ruang bagi eksploitasi rakyat dan menjadikannya komoditas untuk meraih kekuasaan.

Senin, 08 Februari 2010

Lingkungan

IMPLIKASI PENERAPAN TAP MPR NO. IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN SUMBER DAYA ALAM TERHADAP PENERAPAN HUKUM KONSERVASI DALAM UU. NO.41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DAN UU. NO. 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
Oleh Lies Ariany


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pada sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 1-9 Nopember 2001 telah menghasilkan beberap produk penting yang diperlukan dalam rangka penataan kehidupan berbangsa dan bernegara, satu diantaranya yang perlu mendapat perhatian kita bersama adalah Ketetapan No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Ketetapan MPR ini menyatakan bahwa “sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai Ramat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi Semarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur”.
Dengan ditetapkannya Tap MPR No.IX/MPR/2001 dapat dipahami bahwa ketetapan MPR ini merupakan sebuah komitmen politik (political commitment) untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dari ketentuan pasal 1 Ketetapan MPR No. IX/2001 menggariskan bahwa ketetapan MPR tentang pembaruan dan pengelolaan sumber daya alam merupakan landasan bagi peraturan perundang-undangan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Mencermati ketentuan pasal 1 TAP MPR ini maka dapat dipahami bahwa ketetapan MPR ini berfungsi sebagai ketentuan payung bagi pengaturan lebih lanjut dalam upaya pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Ketetapan MPR ini sendiri pada dasarnya memisahkan dua bidang itu dalam arahan seperti tersebut dalam pasal 2 (pembaruan agraria) dan pasal 3 (pengelolaan sumber daya alam) dan arah kebijakan dalam pasal 5 ayat (1) menyangkut pembaruan agraria dan pasal 5 ayat (2) mengenai pengelolaan sumber daya alam, Dan berkenaan dengan pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak dilakukan.
Selaras dengan Ketetapan MPR No. IX/2001 maka pengelolaan sumber daya alam
lengkap dengan penjelasannya (Tjondronegoro, 1999: 10-24). Sayangnya, saran
kebijakan -- yang bersifat konfidensial – ini tidak dilaksanakan, oleh karena Presiden Soeharto tidak berniat untuk itu. meski demikian, wacana “di bawah tanah” perihal ini tetap saja berlangsung, meski jumlah perminatnya tergolong sedikit hingga akhir tahun 90-an oleh karena takut dituduh penguasa pada saat itu sebagai simpatisan organisasi terlarang (PKI). Meski demikian, berbagai upaya dilakukan oleh para peminatnya agar pembaruan agrarian dapat diwujudkan di Indonesia, yang salah satunya adalah dengan berupaya untuk melahirkan TAP MPR tentang Pembaruan Agraria.
Setelah Pemilu 7 juni 1999, sejumlah akademisi dan aktivis NGO menghadap beberapa kali Panitia Ad Hoc MPR, antara lain diterima oleh Panitia Ad Hoc MPR, antara lain diterima oleh Panitia Ad Hoc yang dipimpin Sabam Sirait; kemudian diterima oleh Panitia Ad Hoc yang dipimpin Siswono Yudhohusodo; dan kemudian diterima oleh Panitia Ad Hoc yang dipimpin Aisyah Amini. Dalam setiap kali pertemuan tersebut disampaikan usulan untuk melahirkan TAP MPR tentang Pembarauan Agraria. Pada tahun 2001, setidaknya ada dua usulan Rancangan Ketetapan MPR-RI tentang Pembaruan Agraria di Indonesia yang disampaikan oleh kelompok masyarakat sebagai masukan kepada Panitia Ad Hoc II yang bertugas untuk itu – menjelang Sidang Tahunan 2001. Kedua usulan tersebut berasal dari teman-teman yang aktif dalam mendiskusikan perihal Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) tertanggal 11/9/2001 dan dari Federasi
Serikat Petani Indonesia (FSPI) tertanggal 24/9/2001 (Damanik, 2002:43-44). Usulan yang pertama lebih menekankan perihal “pengelolaan sumber daya alam”, dan usulan yang kedua lebih menekankan perihal “pembaruan agrarian”. Masing-masing usulan, secara subjektif dan sadar atau tidak sadar, merujuk pada “paham” tertentu. Usulan yang pertama, yaitu usulan “pengelolaan sumber daya alam” memandang, a.1., bahwa: (a) yang dibutuhkan adalah TAP tentang pengelolaan sumber daya alam; (b) UUPA 1960 tidak perlu dipertahankan, UU PSDA). Bagi para aktivis tertentu, usulan yang pertama ini dipahami sebagai usulan yang kental dengan paham neo-liberalisme (perihal ini akan dijelaskan lebih lanjut!). Usulan yang kedua, yaitu usulan “pembaruan agraria” memandang, a.1., bahwa (a) yang dibutuhkan adalah TAP tentang pembaruan agrarian; (b) UUPA 1960 perlu dipertahankan oleh karena sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Bagi para aktivis tertentu lainnya, usulan yang kedua ini dipahami sebagai usulan yang kental dengan paham neo-populisme. Sesungguhnya menarik untuk mendiskusikan secara rinci argumen yang dibangun dalam masing-masing usulan oleh masing-masing pendukungnya. Tetapi oleh karena makalah ini tidak bertujuan untuk itu, maka uraian rinci tentang hal ini tidak dikemukan di sini.
Fakta
Telah banyak publikasi yang melaporkan tentang pengelolaan sumber daya alam yang selama ini telah menimbulkan kerugian kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya, serta menimbulkan berbagai konflik vertikal maupun horizontal. Gambaran makro mengenai ketimpangan penguasaan ini, antara lain dapat dilihat dalam Wiradi (2000).
Tidak hanya itu, peraturan perundang-undangan yang terkait pun saling tumpangtindih dan bertentangan satu dengan yang lainnya. Sejak tahun 1966 berbagai Undangundang yang berkaitan dengan agraria mulai diundangkan, misalnya UU Kehutanan No.5 (1967); UU Pokok Pertambangan No.11 (1967); UU Pertambangan minyak dan gas Bumi No.8 (1971); UU Transmigrasi (1997). Sementara di pihak lain, karena proses pembekuan dan pemandulan, UUPA 1960 dengan hanya mengatur soal hak-hak atas tanah yang jumlahnya tidak lebih dari 30% luas seluruh daratan Indonesia. Selebihnya (sekitar 70%), diatur lewat UU Pokok Kehutanan 1967 (yang telah diperbarui pada tahun 1999).
Fenomena tumpang tindih dan saling bertentangan itu tidak hanya terjadi pada
tingkat undang-undang, sebagaimana telah dikemukakan; fenomena yang sama juga terjadi pada tingkatan yang lebih rendah. Hal ini misalnya terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel), sebagaimana yang ditemukan Subkomisi Mediasi Komnas HAM dalam kunjungannya ke propinsi ini (10 Februari 2003). Pada satu pihak, Pemerintah Daerah bersikukuh bahwa Hutan Lindung Maratus harus dialih-fungsikan dan diikuti dengan program Tukar Guling dengan PT. Kodeco Timber untuk dijadikan sebagai Hutan Produksi (Perda No. 9 Tahun 2000 tanggal 21 Desember 2002). Di lain pihak, Menteri Kehutanan merekomendasikan agar wilayah Hutan Lindung Meratus tetap sebagai hutan lindung dan sebagian arealnya ditingkatkan menjadi Taman nasional (S.K. Menhut No. 1516/Kepts/VII/2001). Selanjutnya, Menteri Kehutanan meminta Gubernur Kalsel untuk menghentikan program alig-fungsi tersebut (Surat Menhut No.164/Menhut-VII/2002 tanggal 5 Februari 2002). Pertentangan antara Menhut dengan Pemda ini belum berakhir di sini, oleh karena Gubernur Kalsel menulis surat kepada Presiden (No.522/00363/Eko) tertanggal 11 Maret 2002 agar surat Menhut tertanggal 5 Februari 2002 itu dicabut, dan Pemda bersikukuh untuk tetap melaksanakan alih-fungsi Hutan Lindung Maratus dan Tukar Guling dengan PT. Kodeco Timber. Tumpang-tindih dan saling bertentangan kebijakan sebagaimana diungkapkan di atas telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran
HAM, khususnya hak asasi masyarakat lokal.
Materi, Dasar dan Tujuan TAP MPR No.IX/2001
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam itu disusun oleh MPR dengan menggabungkan saja dua usulan tersebut di atas, dengan sedikit modifikasi di sana-sini, tanpa mampu mengintegrasikan substansi dua usulan tersebut, meski keduanya secara ideologis memiliki perbedaan. Mengikuti dua pola usulan tersebut di atas, maka dengan mudah pula dilihat bahwa materi yang diatur dalam TAP ini pun terdiri dari dua soal: (a) Pembaruan agrarian, dan (b) Pengelolaan Sumber Daya Alam. Meski demikian, dalam bagian “Menimbang” TAP ini (butir b) dikemukakan bahwa dasar untuk melahirkan TAP ini adalah bahwa MPR mempunyai tugas constitutional untuk menetapkan arah dan dasar pembangunan nasional. TAP MPR ini bertujuan untuk menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam.
Pengertian
Perlu kiranya dicatat bahwa TAP ini mengintrodusir konsep “sumber daya agraria” yang disamakan begitu saja dengan konsep “sumber daya alam”, meski hal ini tidak secara konsisten diikuti dalam bagian-bagian selanjutnya TAP ini. Kedua konsep ini dimaknai sebagai “yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya …”.
Konsep Pembaruan Agraria dalam TAP ini diartikan sebagai yang mencakup suatu proses berkesinambungan dengan penataan kembali penggunaan, pemilikan,
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria untuk tercapainya kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2). Sekedar catatan, bagi beberapa ahli di bidang agrarian, pengertian ini kurang tepat – oleh karena pembaruan agraria itu bukanlah suatu proses berkesinambungan, melainkan bagaikan suatu proses operasi (bedah) yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas. Tidak seperti halnya konsep Pembaruan Agraria, cakupan pengelolaan sumber daya alam dalam TAP ini tidak disebutkan secara eksplisit; dalam pasal 3 hanya disebutkan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, alut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Prinsip-Prinsip
Meski TAP ini membedakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, tetapi keduannya mengacu pada prinsip-prinsip yang sama (pasal 4), antara lain:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia;
d. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparasi dan optimalisasi
pertisipasi rakyat;
e. Mewujudkan keadilan, termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan,
penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharan sumber daya agrarian/sumber daya
alam;
f. Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
g. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,
daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan
individu.
Arah Kebijakan
Bila keduanya (yaitu pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam) dalam aspek prinsipnya merujuk pada prinsip-prinsip yang sama (sebagaimana telah dikemukakan), maka dalam aspek arah kebijakannya keduanya merujuk pada arah kebijakan yang berbeda. Arah kebijakan untuk pembaruan agraria adalah (pasal 5 ayat 1) , antara lain:
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor
demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsipprinsip
sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini.
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat.
c. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang
timbul selama ini, sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan
atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.
Selanjutnya, arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam adalah (pasal 5 ayat
2), antara lain:
a. Melakukan pengkajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud
pasal 4 Ketetapan ini.
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai
potensi pembangunan nasional.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi
sumber daya alam di daerahnya dan emndorong terwujudnya tanggungjawab
sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan, termasuk teknologi
tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan
melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya
alam tersebut.
e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul
selama ini, sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang
guna menjamin terlaksanannya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsipprinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetepan ini.
f. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada
optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan
masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.
Dampak kelahiran TAP No.IX/2001
Salah satu hal penting yang diamanatkan TAP ini adalah melakukan pengkajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor (lihat Pasal 5 ayat 1.a. dan ayat 2.a). meski TAP ini telah menegaskan arah kebijakan yang cukup jelas, tetapi arah kebijakan itu tidak berdampak signifikan, oleh karena yang terjadi adalah sebaliknya (menambah ke-ruwet-an produk perundang-undangan di bidang agraria)!. Ke-ruwet-an ini, antara lain, tampak dari terus berlangsungnya penyusunan berbagai draft perundang-undangan di bidang agraria ini yang substansibya bertentangan antara yang satu dengan lainnya. Saat ini misalnya sedang berlangsung proses pembahasan RUU PSDA di DPR, yang sejauh pengamatan kami kurang sinkron dengan produk perundang-undangan yang bersifat “pokok” di bidang agraria (UUPA 1960).
Tinjauan dari Perspektif HAM
Mencermati uraian di atas dapat dicatat bahwa TAP ini pada satu sisi dimaksudkan untuk memajukan, melindungi dan menegakkan hak asasi manusia, tetapi pada sisi lain dapat dimanfaatkan justru untuk melanggar hak asasi manusia. Untuk memajukan, melindungi dan menegakkan hak asasi manusia, subtansi TAP ini telah sesuai dengan Pasal 28H ayat I dan Pasal 28I ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945 (Amandemen II). Mudah dipahami bahwa substansi TAP ini menegaskan agar hak setiap orang untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dapat dipenuhi. Hal ini bersesuaian dengan Pasal 28H ayai 1 UUD 1945 dan Pasal 9 ayat 3 UU No. 39 tahun 1999. Demikian pula halnya dengan penegasan perihal dimensi keadilan,
termasuk kesetaraan jender, yang bersesuaian dengan Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 (bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif) serta Pasal 17 dan Pasal 45 UU No.39/1999.
Substansi TAP ini juga menyentuh penghormatan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Hal ini bersesuaian dengan Pasal 28I ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 UU 39/1999. Lebih dari itu, prinsip “a” TAP ini konsisten dengan salah substansi Deklarasi Wina, 1999 (yaitu dalam hal memelihara dan mempertahankan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia). Tetapi pelanggaran hak asasi manusia juga memungkinkan terjadi dengan TAP ini, antara lain pelanggaran atas hak milik pribadi tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat 4 UUD 1945 dan dalam Pasal 36 ayat 2 UU No.39/1999. Pelanggaran atas hak ini potencial terjadi (yang dilakukan oleh pemilik modal misalnya, yang dalam wacana HAM dikenal sebagai capital violence), karena paham neo-liberalisme melekat pada arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam – yang sangat akrab dengan komersialisasi dan kapitalisasi kekayaan alam – sebagaimana terkandung, antara lain dalam butir “d” dan butir “g” arah kebijakannya. Butir “d” misalnya berbunyi “memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya
meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut”. Sejauh yang kami pahami, konsep “nilai tambah” sangat dikenal dalam teori-teori ekonomi (liberal/neoliberal). Demikian pula dapat dicermati substansi butir “g”, yang berbunyi “menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional. Konsep “optimalisasi” juga sangat dikenal dalam teori-teori ekonomi (liberal/neo-liberal). Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa arah kebijakan PSDA, menurut pendapat kami condong pro neoliberalisme dan tidak sinkron dengan UUD kita, antara lain dengan Pasal 33 (yang oleh penganut paham neo-liberal hendak diubah)!
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa sebagian substansi TAP tersebut
mengandung kebijakan ke arah perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Tetapi pada sisi lain justru dapat memfasilitasi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dilakukan oleh pemilik modal (capital violence) yang kental dengan paham neo-liberalisme. Oleh karena itu, kami menyarankan dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama adalah disarankan untuk menolak TAP ini. Kemungkinan kedua adalah disarankan agar substansi TAP ini yang mengarah pada perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia dipertahankan untuk diatur lebih lanjut dengan UU. Dengan demikian, maka UU yang diusulkan untuk memuat substansi TAP ini hanyalah memuat kebijakan tentang pembaruan agraria.

Book Report "Irfan Fachruddin yang berjudul Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah”

PENDAHULUAN


Konsekuensi sebagai Negara hukum modern dan kemajuan teknologi, disertai dengan krisis yang berkepanjangan diberbagai bidang, semaikn menarik peranan Negara dan Pemerintah memasuki bidang-bidang kehidupan dan pergaulan masyarakat, terutama pada penyelenggaraan kesejahahteraan warga masyarakat.
Tuntutan pelaksanaan kesejahteraan rakyat mengakibatkan kekuasaan pemerintah tidak mungkin lagi dapat dikungkung semata-mata melaksanakan wewenang yang didasarkan kepada undang-undang disamping berlakunya asas legalitas. Untuk mencapai hasil yang lebih baik pemerintah membutuhkan kebebasan untuk bertindak sendiri yang dikenal dengan Freiess Ermessen.
Mewujudkan pemerintahan yang baik tentu tidak mudah. Lord Acton telah memperingatkan, bahwa kekuasaan sangat potensial untuk disalahgunakan. Sebagaimana diungkapkannya “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (Semakin besar kekuasaan akan semakin besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan). Agar kecenderungan yang berakibat merugikan Negara dan bangsa itu tidak leluasa berkembang, kekuasaan hendaklah dibatasi dan diawasi atau dikendalikan. Untuk itu, diperlukan badan yang dapat memberikan keputusan dalam hal terjadi benturan kepentingan, perbedaan penafsiran dalam penggunaan kekuasaan dan penerapan hukumnya antara pemerintah dan anggota masyarakat.
Pada hakikatnya, badan peradilan administrasi adalah salah satu badan yang dibentuk dengan cara tertentu mengawasi tindakan pemerintah dan mempunyai wewenang melakukan koreksi terhadap penyimpangan yang dilakukan organ pemerintah disamping organ pengawasan lain.
Kompetensi utama badan peradilan administrasi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Administrasi adalah menyelesaikan sengketa administrasi antara pemerintah dan warga masyarakat, sengketa yang timbul akibat tindakan pemerintah yang tidak menurut hukum dan melanggar hak-hak serta kepentingan warga.
Dalam perspketif yang lebih luas badan peradilan administrasi adalah penjaga agar kegiatan dan tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan tugasnya selalu berdasarkan ketentuan hukum (rechtmatigheid van het bestuur) dan terlaksananya jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak warga menurut konsepsi Indonesia, yaitu keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara kepentingan warga dan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa hasil-hasil pengawasan adalah pengembalian hak-hak dan kepentingan warga yang terkena tindakan pemerintah dan koreksi terhadap tindakan pemerintah yang melawan hukum serta akibat-akibatnya. Pada akhirnya, sengketa administrasi dapat diselesaikan dalam arti sengketa itu berakhir.
Pengawasan hukum terhadap pemerintah dapat dilihat dari dua perspektif:
1. Konsekuensi pengawasan yudisial terhadap perlindungan hak-hak individu warga, khususnya konsekuensi putusan badan peradilan administrasi bagi perlindungan hak-hak perorangan.
2. Konsekuensi pengawasan yudisial itu terhadap tindakan atau keputusan pemerintah, khususnya konsekuensi korektif dan perspketif putusan badan peradilan administrasi bagi tindakan pemerintah.

PENGAWASAN TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH DAN PERADILAN ADMINISTRASI

A. Konsep Pemerintah

Pembahasan istilah ”pemerintah” dan ”pemerintahan” sering dikaitkan dan dipadankan dengan istilah asing, antara lain administratie, administration, bestuur, regering dan government, dan dalam bahasa Indonesia juga digunakan istilah ”administrasi”, dan tata usaha negara”, karena itu istilah ”pemerintah” dan ”pemerintahan” menjadi bahan perdebatan yang tidak habis-habisnya dikalangan ahli hukum administrasi dan ilmu administrasi.
Government menurut bahasa diartikan dengan Pemerintah berasal dari kata latin, yaitu ”gobernaculum”, artinya ”kemudi”.
Menurut Wilson sebagaimana yang dikonstatir Ateng Syafrudin:
Government...is organized force..two or few men, or many men, or of a community prepared by organization to realize its own purposes with references to the common affairs or the community.
(Pemerintah…adalah suatu kekuatan yang diorganisir…adalah hasil perbuatan beberapa orang atau sekelomp[ok orang yang dipersiapkan oleh suatu organisasi untuk merealisir maksud-maksudnya bersama referensi-referensi yang dapat menangani persoalan-persoalan umum atau masyarakat).

Pendapat Wilson ini mengakomodir pengertian pemerintah sebagai kekuatan yang diorganisir untuk merealisasikan kekuasaan mengurus kepentingan-kepentingan umum.
Dari ruang lingkup kekuasaan oleh Van Vollen Hoven mengemukakan pemerintah dalam arti luas mencakup keempat kekuasaan dalam ajaran “catur praja” yaitu (1) membuat peraturan (regel geven), (2) pemerintah pelaksana (bestuur/executive), (3) peradilan (rechtpraak), dan (4) polisi (politie).
Tidak jauh beranjak dari pendapat Van Vollenhoven maka Kuntjoro Purbopranoto berpendapat bahwa pemerintah dalam “arti luas” adalah kegiatan Negara dalam melaksanakan kekuasaan politiknya, mencakup ketiga kekuasaan Negara dalam ajaran “trias politica” yang digagas oleh Montesquieu yaitu (1) Kekuasaan pembentukan Undang-Undang (la puissance legislative), (2) Kekuasaan Pelaksana (la puissance executive) (3) Kekuasaan pengadilan (la puissance de judge).
Sedangkan N.E. Algra et.al. mengemukakan pengertian ”pemerintah” dalam arti sempit yaitu ”bestuur’. Yang meliputi bagian tugas pemerintah yang tidak termasuk tugas pembuatan undang-undang (legislatif) atau tugas peradilan (yudikatif).
Pendapat senada dikemukakan oleh Kuntjoro Purbopranoto, dikatakan bahwa Pemerintah dalam arti sempit hanya badan pelaksana (executive, bestuur) saja, tidak termasuk badan perundang-undangan (regelgeven).
Berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit, menurut Belinfante dan Willem Konijnebelt, fungsi ”administratie”, sama dengan bestuur yaitu fungsi pemerintahan yang tidak mencakup fungsi pembentukan undang-undang dan peradilan. Belifante mengemukakan:
”Administratie betekent hetzelfde als bestuur, administratief recht wordt daarom ook wel bestuurecht genoemd. Men kan bestuur ook opvatten als bestuurfunctie, dat wil zeggen als een overheidstaak die noch wetgeving, noch rechtspraak is”.
(Administrasi artinya sama dengan pemerintahan. Dengan demikian hukum administrasi disebut juga hukum pemerintahan. Pemerintahan dapat pula diartikan sebagai fungsi pemerintahan, yaitu fungsi pemerintahan yang tidak termasuk pembentukan perundang-undangan dan peradilan).

Demikian pula administrasi menurut Utrecht adalah gabungan jabatan-jabatan, aparat administrasi di bawah pimpinan pemerintah, melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah yang tidak ditugaskan kepada badan-badan pengadilan dan legislatif.
Willem Koninjnebelt juga mengemukakan: ”Het openbare bestuur, vaak ook aangeduid als de administratie”, artinya pemerintah (bestuur) mengandung arti yang sama dengan administrasi. ”administrasi” dapat dibedakan dalam ”arti luas” dan ”arti sempit”. Administrasi dalam ”arti sempit” disimpulkan Rahmat Soemitro dengan ”tata usaha” dari pengertian:
”Elke stelselmatige, schrifelijke vastlegging en ordening van gegevens, samengesteld met hed doel een overzicht van deze gegevens te verkrijgen in hun onderling verband. Niet alle losse gecompileerde verzamellinggen van aantekeneningen kan men als administratie qualificeren.
(Setiap penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud untuk mendapatkan suatu ikhtisar dari keterangan-keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu sama lain. Tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan administrasi).

Istilah utama yang digunakan Undang-Undang Peradilan Administrasi adalah ”tata usaha”. S.F. Marbun megemukakan bahwa istilah ”tata usaha”lebih sesuai digunakan untuk pengertian ”administrasi dalam arti sempit”, yaitu kegiatan tulis menulis, surat menyurat, catat mencatat, ketik mengetik serta penyimpanan naskah-naskah yang hanya bersifat teknis ketatausahaan belaka.
Sedangkan Irfan Fachruddin berpendapat bahwa melihat dari beberapa sifat pengertian dari Pemerintah : Pertama, pemerintah adalah sebagai organ penyelenggara keseluruhan kekuasaan untuk mencapai tujuan negara atau mengurus kepentingan-kepentingan umum; Kedua, pemerintah sebagai badan penyelenggara seluruh kegiatan negara kecuali membuat perundang-undangan (regel geven), penyelenggaraan peradilan (rechtspraak). Untuk pengertian ini lebih sesuai dengan pengertian ”bestuur”, ”executive” atau ”administratie”. Ketiga, pemerintah dapat diartikan sebagai ”organ” dan arti ”fungsi pemerintahan”.
Perlu juga dibedakan istilah ”pemerintah” dan ”pemerintahan”, M. Nata Saputra menjelaskan bahwa ”istilah pemerintahan ialah bestuurvoering (pelaksanaan tugas pemerintah) sedangkan istilah pemerintah berarti oran/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan”.
Dalam khasanah hukum administrasi dikenal tiga sumber kewenangan pemerintah, yaitu ”atribusi”, delegasi, dan ”mandat”.Ketiga sumber wewenang pemerintah diuraikan lebih lanjut, di bawah ini:
a. Atribusi
Kekuasaan pemerintah yang langsung diberikan undang-undang yang disebut ”atribusi”. H.D. van Wijk memberikan pengertian: ”atributie: toekenning van een bestuurabevoegdheid door een bestuursorgaan” (atribusi, adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah).
b. Delegasi
Penyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan atau pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat pemerintah yang lain, setelah wewenang diserahkan pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi.
Stroink dan Steenbeek menjelaskan lebih lanjut bahwa ”delegasi” hanya dapat dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai wewenang melalui ”atribusi”.
c. Mandat
Wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan apabila pejabat yang memperoleh wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri. Berbeda dengan ”delegasi”, pada mandat si pemberi mandat tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan, dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya, mandans atau pemberi mandat tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris.
Perbedaan antara atribusi, delegasi dan mandat sebagaimana didefinisikan oleh Wijk/Willem Konijnenbelt adalah sebagai berikut:
a. Attribute : Toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintahan).
b. Delegatie: Overdracht van een bevoegheid van het ene bestuurorgaan aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
c. Mandaat: een bestuurorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya)
B. Tindakan Pemerintah
Usaha untuk mencapai tujuan negara sebagai organisasi kekuasaan, pemerintah atau administrasi negara adalah orgaan negara yang memiliki kedudukan istimewa, dapat melakukan tindakan sebagai instrumen yang menghubungkannya dengan kehidupan bersama anggota masyarakat.
E. Utrecht menggolongkan perbuatan administrasi kepada dua golongan besar, yaitu golongan perbuatan hukum (rechtshandelingen) dan golongan yang bukan perbuatan hukum atau tindakan nyata (feitelijke handelingen). Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak menimbulkan akibat hukum. Bagi hukum administrasi negara yang penting hanya golongan perbuatan hukum, dan golongan perbuatan yang bukan perbuatan hukum adalah irrelevant (tidak berarti).
Karena tindakan nyata dianggap irrelevant, tindakan pemerintah (bestuurshandeling) yang banyak dibicarakan adalah tindakan hukum. Menurut Romeijn sebagaimana yang disarikan Kuntjoro Purbopranoto tindakan hukum adalah tiap-tiap tindakan/perbuatan dari suatu alat perlengkapan pemerintah (bestuurorgaan) yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi. Demikian pula pendapat Van Poeije tindakan hukum publik adalah:
”Rechtshandeling door de overheid in haar bestuurfunctie verricht”.
(tindakan yang yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan).
Irfan Fachruddin menyimpulkan bahwa pada dasarnya tindakan hukum administrasi mengandung unsur: (1) Tindakan dilakukan oleh suatu alat perlengkapan pemerintah (bestuurorgaan) atau penguasa (overheid); (2) Tindakan dilakukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan; (3) Berisi pernyataan kehendak dari organ administrasi; (4) Dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi.
Tindakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah dibedakan kepada tindakan hukum privat (privaatrechtelijke rechtshandelingen) dan tindakan dalam bidang hukum publik (publiekrechtelijke rechtshandelingen). Tindakan hukum privat adalah:
”...rechtshandelingen die verricht worden op grondslag van het privaatrecht”.
(...tindakan hukum yang didasarkan kepada ketentuan hukum privat).
Sedangkan tindakan hukum publik adalah:
”...rechtshandelingen die verricht worden op de grondslag van het publiekrecht“.
(...tindakan hukum yang didasarkan kepada ketentuan hukum publik).
Penggunaan hukum privat dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak sepi dari pro dan kontra. J.A. Loeff, H. Dooyewerd, dan J.H. Scholten pada pokoknya berpendapat bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugas pemerintahan tidak dapat memakai hukum privat. Berbeda dengan pendapat tersebut adalah gagasan Huart, Kranennburg dan G.J. Wiarda pada pokoknya berpendapat bahwa dalam beberapa hal tertentu administrasi negara dapat juga memakai hukum privat, tetapi bila menyelesaikan suatu soal khusus dalam lapangan administrasi negara, telah tersedia atau diperlukan peraturan-peraturan hukum publik. Karena itu, administrasi negara hanya dapat menggunakan peraturan-peraturan hukum privat.
C. Pengertian dan Bentuk Pengawasan
Kata ”pengawasan” berasal dari kata awas, berarti antara lain ”penjagaan” . Istilah ”pengawasan” dikenal dalam ilmu managemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.
George R Terry menggunakan istilah ”control” sebagaimana yang dikutip oleh Muchsan, artinya adalah:
”Control is to determine what is accomplished, evaluate it, and apply corrective measures, if needed to ensure result in keeping with the plan”.
(Pengawasan adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hal yang sesuai dengan rencana).

Senada dengan pendapat George R. Terry, Djajoesma mengintrodusir pendapat Henry Fayol, mengemukakan bahwa: “control adalah penelitian apakah segala sesuatu dilakukan sesuai dengan rencana, perintah-perintah dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan”. Bertolak dari pendapat J.R. Beishline, arti control menurut Djajoesman adalah:
“…Suatu proses untuk menentukan hubungan antara yang diharapkan dari perencanaan dengan hasil kenyataan yang didapat, serta mengambil tindakan yang perlu secara secara sah guna memperbaiki segala sesuatu yang menyimpang dari rencana”.
Muchsan sendiri berpendapat sebagai berikut:
“Pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada pencocokkan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini berwujud suatu rencana/plan)”.

Sedangkan Bagir Manan memandang kontrol sebagai:
””Sebuah fungsi dan sekaligus hak, sehingga lazim disebut fungsi kontrol, atau hak kontrol, kontrol mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian. Pengawasan yang bertalian dengan pembatasan, dan pengendalian bertalian dengan arahan (directive)”.
Pengawasan (controle) terhadap pemerintah menurut Paulus Effendie Lotulung adalah upaya untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik disengaja maupun tidak disengaja, sebagai usaha preventif atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha refresif.
Apabila dihubungkan dengan pengawasan terhadap pemerintah, terlihat bahwa pengertian umum pengawasan masih tetap relevan, alasannya:
1. Pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap pemerintah adalah pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik dan dapat pula membawa kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan masyarakat kepada pelaksanaan yang baik pula dan tetap dalam batas kekuasaannya;
2. Tolok ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan pemerintah dalam bentuk hukum material maupun hukum formal (rechtsmatigheid); serta manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat (doelmatigheid);
3. Adanya pencocokkan antara perbuatan dan tolok ukur yang telah ditetapkan;
4. Jika terdapat tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolok ukur tersebut dilakukan tindakan pencegahan;
5. Apabila dalam pencocokkan terjadi penyimpangan dari tolok ukur, kemudian diadakan koreksi melalui tindakan pembatalan, pemulihan terhadap akibat yang ditimbulkan dan mendisiplinkan pelaku kekeliruan itu.
Pengawasan dipandang dari ”Kelembagaan” yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol dapat dibedakan menjadi kontrol intern (internal control) dan kontrol ekstern (external control). (1) Kontrol intern (internal control) adalah pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan/organ yang secara struktural adalah masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah.Misalnya pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkhis. Bentuk kontrol semacam ini dapat digolongkan sebagai jenis kontrol teknis-administratif atau ”built-in control”, (2) Kontrol Ekstern (external control) adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan/organ secara struktur organisasi berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya, kontrol yang dilakukan secara langsung seperti kontrol keuangan yang dilakukan oleh BPK, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat melalui LSM termasuk media massa dan kelompok masyarakat yang berminat pada bidang tertentu, kontrol politis yang dilakukan oleh MPR dan DPR(D) terhadap pemerintah (eksekutif). Kontrol reaktif yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan peradilan (judicial control) antara lain peradilan umum dan peradilan administrasi, maupun badan lain seperti Komisi Ombudsman Nasional.
Dipandang dari waktu pelaksanaan pengawasan, pengawasan dapat dibedakan menjadi kontrol a-priori dan kontrol a-posteriori. (1) Kontrol a-priori adalah pengawasan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan atau dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol a-priori mengandung unsur pengawasan preventif yaitu untuk mencegah atau menghindarkan terjadinya kekeliruan; (2) Kontrol a-posteriori adalah pengawasan yang dilakukan sesuadh dikeluarkan suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan pemerintah. Pengawasan ini mengandung sifat pengawasan refresif yang bertujuan mengoreksi tindakan yang keliru.
Dipandang dari cara pengawasan, pengawasan dibedakan kepada pengawasan unilateral (unilateral control) dan pengawasan refleksif (reflexive control). (1) Pengawasan unilateral (unilateral control) adalah pengawasan yang penyelesaiannya dilakukan secara sepihak oleh pengawas; (2) Pengawasan refleksif (reflexive control) adalah pengawasan yang penyelesaiannya dilakukan melalui proses timbal balik berupa dialog dan negosiasi antara pengawas dan yang diawasi.
D. Konsep Peradilan Administrasi
Peradilan administrasi atau ”administrative rechtspraak” atau ”judicial control of administrative action” sesungguhnya juga merupakan genus peradilan. Oleh karena itu, membicarakan pengertian ” peradilan administrasi” mesti dimulai dari pengertian ”peradilan” dan unsur-unsurnya.
Sudikno Mertokusomo memberikan arti ”peradilan” sebagai berikut:
”Kata peradilan yang terdiri dari kata dasar ”adil” dan mendapat awalan ’per’ serta akhiran ’an’ berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan pengadilan. Pengadilan disini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan yang mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu hal memberikan keadilan”.
Menurut R. Subekti et.al :
”Pengadilan (rechtbank atau court) adalah badan yang melakukan peradilan, yaitu memeriksa dan memutus sengketa-sengketa hukum dan pelanggaran-pelanggaran hukum/undang-undang. Peradilan (rechtspraak atau judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan”.

Sedang menurut Rochmat Soemitro :
”Peradilan (rechtspraak) ialah proses penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan pengadilan menurut hukum,...Pengadilan ialah cara mengadili atau usaha memberikan penyelesaian hukum dan dilakukan oleh badan pengadilan,... Badan Pengadilan ialah suatu badan, dewan, hakim atau instansi pemerintah yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan wewenang untuk mengadili sengketa hukum”.

Sjachran Basah memberikan pengertian yang lebih lugas, dikatakan:
”...Penggunaan istilah pengadilan ditujukan kepada badan atau kepada wadah yang memberikan peradilan, sedang peradilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan di dalam rangka menegakkan hukum atau ’het rechtspreken’ ”.

Lebih lanjut Sjachran Basah menambahkan pengertian ”peradilan” sebagai berikut:

”Segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum ’in concreto’ dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal”.

Untuk memperjelas pengertian ”peradilan” , Sjachran Basah bertolak dari dari persetujuannya terhadap rumusan empat unsur peradilan yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro, yaitu:
d. Adanya suatu aturan hukum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan;
e. Adanya suatu sengketa yang konkret;
f. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak;
g. Adanya badan peradilan yang berwenang memutus sengketa.
Selain itu beliau menambahkan satu unsur lagi yaitu adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) ’in concreto’ untuk menjamin ditaatinya hukum materiil. Penambahan ini penting dengan alasan sebagaimana yang dikemukakan secara puitis oleh Sjachran Basah:
”Peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, karena tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar (dapat bertindak semaunya) sebab tidak ada batas-batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya”.

Berkaitan dengan ”peradilan administrasi”, Sjachran Basah keberatan menggunakan tambahan kata ”negara” dibelakangnya, dengan alasan sebagai berikut:
1. apabila istilah ’peradilan administrasi negara’ dipergunakan predikat ’negara’ menjadi berkelebihan (pleonasme) dan tidak perlu, disebabkan sesungguhnya hanyalah negara saja yang berhak membentuk peradilan.
2. Seiring dengan alasan yang pertama tersebut, bahwa berlainan dengan adanya pasangan pengertian ’perkara pidana sipil’ dan ’perkara pidana militer’, tidak ada pasangan lawan terhadap istilah ’peradilan administrasi negara’ berupa ’peradilan administrasi swasta’ atau ’peradilan adminsitrasi partikelir’.
Mengenai keberatan ini, Irfan Fachruddin berpendapat bahwa istilah ”negara” tidak ditujukan kepada peradilannya, tetapi kepada administrasinya. Pengertiannya adalah peradilan untuk administrasi atau untuk tata usaha negara, bukan untuk administrasi atau tata usaha swasta, mengingat di Indonesia juga lazim digunakan istilah administrasi dan tata usaha niaga. Pengertian administrasi juga sudah mengandung arti pemerintahan. Karena itu, adanya istilah ”negara” tidak penting, hanya untuk memberikan penjelasan. Kembali pada istila ”peradilan administrasi negara”, seperti halnya pada istilah ”peradilan niaga” artinya peradilan untuk perkara niaga; ”peradilan perdata” artinya peradilan untuk masalah-masalah perdata; ”peradilan tata usaha negara” artinya peradilan untuk perkara tata usaha negara. Irfan Fachruddin setuju untuk tidak menambahkan kata ”negara” dibelakang kata ’administrasi” tetapi penambahan itu perlu dibelakang kata ”tata usaha” karena pengertian ”tata usaha” tidak identik dengan ”pemerintah” atau ”administrasi”.
Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Bagi negara Republik Indonesia yang merupakan Negara Hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi dan berdampingan dengan hak masyarakat. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Karena itu, tujuan pembentukan peradilan administrasi secara filosofis, adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.
Menurut Sjachran Basah tujuan peradilan administrasi adalah:
”Untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata, melainkan juga bagi administrasi negara dalam arti hal adanya keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administrasi Negara akan terjaga ketertiban, ketenteraman dan keamanan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, bersih, dan berwibawa dalam kaitan negara hukum berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa tujuan peradilan administrasi secara preventif untuk mencegah tindakan-tindakan administrasi negara yang melawan hukum dan merugikan, sedangkan secara refresif atas tindakan-tindakan tersebut perlu dan harus dijatuhi ’sanksi’ ”.

Menurut Prajudi Atmosudirdjo, tujuan peradilan administrasi adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien.
KARAKTERISTIK DAN KEKUATAN PENGAWASAN PERADILAN ADMINISTRASI

Karakteristik Pengawasan
1. Pengawasan Reaktif
2. Pengawasan Indipenden
3. Pengawasan Terbatas
4. Pengawasan Segi Hukum dan Kebijakan

ad.1. Pengawasan Reaktif
Sifat pengawasan pasif adalah sifat umum dari pengawasan peradilan. Sifat ini juga disebut dengan sifat ”reaktif”. Dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian diubah dengan Pasal 53 (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 yang berbunyi ”Orang atau Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.Disini pengadilan tidak dapat secara aktif memeriksa suatu perkara administrasi secara langsung atas inisiatif sendiri.
ad.2. Pengawasan Independen
Dipandang dari struktur kekuasaan negara Indonesia, Pemerintah adalah salah satu organ kekuasaan negara di bawah Presiden selaku kepala pemerintahan yang diberi wewenang melaksanakan tugas-tugas negara yang tidak termasuk wewenang mengadili. Badan peradilan administrasi dijalankan oleh kekuasaan kehakiman yang tidak berada dalam lingkungan pemerintahan atau dibawah pengaruh kekuasaan badan negara lainnya.
Badan peradilan administrasi adalah salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman tersebut, dengan demikian pengawasan peradilan administrasi di Indonesia termasuk pengawasan yang ’independen’ yaitu pengawasan yang dilakukan oleh badan yang secara organisatoris berada di luar pengaruh dan lingkungan administrasi negara.
ad.3. Pengawasan Terbatas
Secara yuridis wewenang peradilan administrasi bersifat terbatas. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian di ubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 menyebutkan secara umum:
”Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara”.
Lebih khusus dinyatakan oleh Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa:
”Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbal dalam bidang tata usaha negara, antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pengertian keputusan tata usaha negara dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004:
”Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yang berisi tindakan hukum tata usaha negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Ditegaskan lebih lanjut pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004, bahwa:
”Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedang hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara”
Tidak semua keputusan pemerintah dapat disengketakan di hadapan badan peradilan administrasi. Keputusan pemerintah yang dikesampingkan dari wewenang peradilan administrasi oleh Pasal 2 Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah: (a) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; (b) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; (c) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; (d) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;(e) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (f) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; (g) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
ad.4. Pengawasan Segi Hukum dan Kebijakan
Tolok ukur pelaksanaan pengawasan peradilan administrasi Indonesia ditentukan oleh Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, lengkapnya tercantum sebagai berikut:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Konsekuensi pengawasan yudisial adalah bahwa hakim hanya menguji segi legalitasnya saja, dengan mengabaikan sama sekali segi kebijakan dan kemanfaatan (doelmatigheid). Persoalan yang harus dijawab adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Belinfante hanyalah semata-mata: ”apakah suatu tindakan pemerintah berdasarkan atau sesuai dengan hukum atau tidak”

KONSEKUENSI PENGAWASAN BADAN PERADILAN ADMINISTRASI

A. Tahap Informasi
Keberhasilan komunikasi, dalam arti pihak yang menerima pesan dapat menangkap dengan baik isi pesan yang disampaikan pemberi pesan merupakan sarana penerimaan seseorang dan suatu kelompok masyarakat terhadap hukum. Jika hukum termasuk putusan badan peradilan administrasi dengan baik, penerimaan dan kesadaran terhadap hukum akan lebih baik juga. Pada kondisi demikian, hukum akan dirasakan sebagai sarana pengatur kehidupan dan penyelesaian sengketa yang adil.
a.1. Tidak mengikuti perkembangan Yurisprudensi
Pengetahuan pejabat instansi pertanahan dan pemerintahan umum mengenai perkembangan putusan hukum administrasi yang bernilai Yurisprudensi masih kurang. Sebagian besar responden dari pejabat dan staf pada beberapa instansi pertanahan dan pemerintahan daerah pada dasarnya tidak mengikuti perkembangan putusan Yurisprudensi peradilan administrasi mengenai instansi mereka. Hal ini tidak dilakukan karena pejabat pada pusat kekuasaan tidak mewajibkan atau menganjurkan untuk mengikuti dan mempelajari perkembangan Yurisprudensi badan peradilan administrasi. Dijelaskan bahwa yang mereka ketahui dengan baik hanya putusan badan peradilan administrasi dalam perkara yang melibatkan langsung instansi mereka sebagai pihak tergugat dalam perkara.
Dapat disimpulkan bahwa tidak ada atau setidak-tidaknya belum terdapat pada jajaran instansi responden kebiasaan mengikuti perkembangan Yurisprudensi terbaru yang menyangkut instansi mereka sendiri karena tidak ada kebijakan dari pusat pemerintah untuk melakukan itu.
a.2. Tidak memahami motivasi dan teknis penyelesaian
Pejabat pada instansi pertanahan Kabupaten Bandung menjelaskan bahwa dalam lingkungan instansi pertanahan putusan-putusan badan peradilan administrasi pada umumnya dapat dipahami, tetapi ada juga yang sulit dipahami. Kebanyakan pejabat dan pelaksana bukan berlatar belakang
Hukum dan terdapat sedikit hambatan dalam memahami putusan-putusan badan peradilan. Rata-rata responden menjelaskan bahwa tidak terdapat pertemuan khusus untuk membicarakan putusan-putusan badan peradilan, apabila dianggap perlu disampaikan dalam rapat biasa terutama jika ada putusan yang membatalkan keputusan perintah penerbitan keputusan baru atau penundaan pelaksanaan keputusan. Jika terdapat keraguan mengenai maksud dari putusan itu biasanya ditanyakan kepada atasan atau instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi.
Dapat disimpulkan bahwa instansi pemerintah daerah dan pertanahan dapat menangkap maksud putusan hakim administrasi akan tetapi sebagian besar tidak memahami motivasi dan rancangan teknis penyelesaian sengketa.
a.3. Tanpa penjelasan lanjutan
Pengawasan badan peradilan administrasi terhadap pemerintah digolongkan kepada bentuk pengawasan represif. Pengawasan represif dilakukan dan diputuskan oleh pihak hakim pengadilan secara sepihak.
Mengenai hal ini, kebanyakan pejabat dan staf dari pemerintah darerah dan instansi pertanahan memberikan komentar yang hampir sama. Pada pokoknya mengatakan bahwa setelah putusan badan peradilan administrasi dijatuhkan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, kesulitan dalam memahami putusan hanya dibicarakan pada instansi sendiri, konsultasi dengan pimpinan atau pejabat yang secara hierarkhis lebih tinggi, karena hubungan dengan hakim pengadilan tidak dapat leluasa dilakukan.
Jika terdapat ketidakjelasan dalam isi putusan badan peradilan, hakim tidak dapat diharapkan memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai materi putusan kepada pihak-pihak yang berpekara, karena dalam pola pengawasan represif, komunikasi antara pengawas dan yang diawasi tidak dapat dilakukan dengan leluasa.
Pada tahap informasi secara umum (1) tidak ada kebiasaan mengikuti perkembangan Yurisprudensi terbaru yang menyangkut instansi pemerintah, karena tidak ada keharusan dan kewajiban untuk melakukan itu dari sentra kekuasaan; (2) bahwa pihak pemerintah daerah dan instansi pertanahan dapat menangkap maksud putusan, tetapi tidak memahami motivasi atau pertimbangan dan rancangan teknis penyelesaian sengketa; (3) Peradilan tidak dapat diharapkan memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai materi putusan pasca putusan
B. Tahap Transpormasi
Pada tahap transformasi, persoalannya adalah apakah makna dari putusan badan peradilan administrasi bagi pemerintah? Pada tahap ini terjadi proses penelaahan materi putusan peradilan administrasi dan pengkajian konsekuensi praktis beban kewajiban yang harus dilaksanakan pemerintah. Menelaah akibat-akibat potensial putusan konkret peradilan administrasi bagi penyelesaian sengketa, dan putusan yang bernilai Yurisprudensi bagi pengambilan kebijakan pemerintah pada masa mendatang.
Peradilan administrasi adalah badan penyelesaian sengketa yang bersifat kasuistis antara perorangan atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat pemerintah. Putusan yang dilahirkan dari padanya tidak jauh dari sifat kasuistis juga. Selain itu, putusan pengadilan administrasi seperti putusan badan peradilan lain juga bernilai yurisprudensi, yang dapat menjadi acuan bagi tindakan pemerintah dan menjadi pijakan bagi kasus serupa untuk masa sesudahnya.
b.1. Yurisprudensi tidak menjadi kebijakan
Mengenai hal tersebut seorang pejabat pada instansi pertanahan Kota Bandung Mengungkapkan bahwa:
”Pengetahuan kami tentang perkembangan Yurisprudensi peradilan administrasi sangat sedikit, hanya kebetulan kami ketahui melalui media massa umum dan jurnal hukum yang sekali-sekali kebetulan didapatkan. Sesungguhpun demikian, materinya belum dapat dijadikan sebagai kebijakan instansi kami, karena untuk dapat menjadi kebijakan harus diputuskan dari atas”.

Pada putusan dalam perkara yang menyangkut instansi terkait sesungguhnya terdapat juga kaidah yang bersifat Yurisprudensi, dalam membicarakan suatu masalah kadang-kadang disebut juga kasus yang pernah diputus. Meskipun demikian, secara resmi belum ada kebijaksanaan untuk menelusuri kaidah yang bersifat Yurisprudensi dan apalagi menetapkan menjadi acuan resmi dalam bertindak bagi instansi. Sehingga dapat disimpulkan belum ada kebijakan dari pemerintah untuk menjadikan Yurisprudensi putusan badan peradilan administrasi menjadi dasar bertindak dan acuan dalam mengambil kebijakan.
b.2. Sinkronisme hukum dan legitimasi
Dari penelitian yang dilakukan terlihat pandangan bahwa hakim badan peradilan administrasi dalam penyelesaian sengketa melakukan pengujian materiil, sehingga dalam banyak perkara telah memasuki wilayah hukum perdata dan kebijakan pemerintah. Karena itu timbal konflik hukum yang menurunkan tingkat legitimasi putusan.
b.3. Dapat menyelesaikan sengketa
Kuasa dari Gubernur dan kuasa DPRD Jawa Barat berkaitan dengan perkara yang diwakilinya mengemukakan:
“Kami tidak yakni sama sekali wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung menangani perkara kami, tetapi putusan itu dapat kami tarima karena telah memberi penyelesaian sengketa dan dapat menjadi landasan bertindak bagi kami”

Tidak jauh berbeda dengan pendapat diatas, seorang pejabat pada Pemerintah kota Bogor menjelaskan:
”putusan badan peradilan tata usaha negara telah menetapkan suatu putusan yang masuk akal, dan memberikan penyelesaian yang baik. Namun penyelesaiannya tidak harus harfiah. Yang terpenting tindak lanjut putusan itu dapat mengakhiri sengketa”

Putusan badan peradilan administrasi dipandang oleh tergugat telah dapat memberikan jalan bagi penyelesaian atau pengakhiran sengketa, walaupun ada sedikit keragu-raguan mengenai keabsahannya.
b.4. Kekuatan kepercayaan dan publisitas
Hal yang juga terungkap dari pendapat responden adalah masalah kepercayaan terhadap badan peradilan. Pejabat pada salah satu kantor instansi pertanahan menjelaskan dan disetujui oleh sebagian besar responden dari instansi pertanahan, dinyatakan sebagai berikut:
”Saya tidak mungkin melaksanakan putusan itu, karena instansi saya tidak jadi dimenangkan karena saya tidak jadi dimenangkan karfena saya tidak dapat menyediakan dana dalam jumlah tertentu, lalu saya bertanya dalam hati apakah pihak penggugat juga ditawarkan hal yang sama dan dia menyanggupinya? Saya menganggap putusan itu tidak mengikat instansi saya, karena tidak didasarkan pada hukum, melainkan kepentingan-kepentingan tertentu”.

b.5. Tanpa penyelesaian alternatif
Seorang pejabat pada instansi pemerintah daerah mengemukakan:
”Sebenarnya jika pengadilan mau mengawali penyelesaian sengketa sebagai fasilitator dialog atau perundingan antara pihak yang bersengketa sebagai sarana membangun komunikasi, dengan demikian dapat diketahui akar masalah yang menjadi pokok persengketaan untuk membuka peluang menemukan jalan keluar penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, dapat diharapkan persengketaan dapat diakhiri sampai disitu”

b.6. Tanpa kekuatan eksekutorial

Seorang staf pada instansi pertanahan mengemukakan :
”Bukankah masalah ini hanya masalah prosedur, bukan masalah substansi. Apalagi jika saya tidak melaksanakannya bukankah, pengadilan administrasi tidak dapat memaksa saya, karena badan peradilan administrasi tidak mempunyai instrumen pemaksa agar putusan-putusan ini dapat terlaksana”.

C. Tahap Tindak Lanjut
Sesudah melalui tahap informasi dan transformasi, pada tahap pelaksanaan pejabat pemerintah dihadapkan untuk mengambil sikap terhadap putusan. Pada tahap ini diambil keputusan bagaimana harus bersikap terhadap kewajiban yang dibebankan oleh putusan hakim peradilan administrasi. Jika dirumuskan dengan kalimat tanya, pada tahap ini persoalannya adalah: ”apa selanjutnya yang diperbuat pemerintah dengan putusan badan peradilan administrasi?”.
Sikap yang diambil Pemerintah dapat berupa: (1) menetapkan materi muatan putusan-putusan Yurisprudensi menjadi pijakan dalam bertindak dan menjadi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan instansi pemerintah atau sebaiknya mengabaikannya; (2) Sebagai pihak yang dikalahkan, menindaklanjuti atau mengabaikan kewajiban yang termuat dalam materi putusan peradilan administrasi.
EFEKTIVIKASI PENGAWASAN BADAN PERADILAN ADMINISTRASI

Data pada ”tahap pelaksanaan” menunjukkan bahwa pengawasan badan peradilan administrasi terhadap tindakan pemerintah belum sepenuhnya efektif. Hanya 32% (tiga puluh dua persen) putusan yang dapat dilaksanakan dengan baik, sisanya 68% (enam puluh delapan persen) putusan tidak dapat dilaksanakan dan dapat dikatakan belum memberikan konsekuensi positif dalam mengendalikan tindakan pemerintah dan penyelesaian sengketa administrasi.
Dari data pada ”tahap informasi” dan ”tahap transformasi” dapat diidentifikasi persoalan yang dihadapi pemerintah dalam menyikapi putusan badan peradilan administrasi yang bernilai Yurisprudensi dan putusan dalam perkara yang melibatkan langsung responden adalah :
1. Tidak terdapat kebijakan yang mengharuskan atau menganjurkan jajaran pemerintah dari sentra kekuasaan untuk mengikuti perkembangan dan menjadikan materi putusan Yurisprudensi badan peradilan administrasi menjadi landasan dalam bertindak dan mengambil kebijakan;
2. Terdapat masalah dalam pemahaman terhadap motivasi dan rancangan (design) penyelesaian sengketa;
3. Dalam upaya menyelesaikan sengketa hakim peradilan administrasi perlu melakukan pengujian yang lebih bersifat materiil (material review) dan menetapkan langkah yang harus diambil pemerintah dalam memberikan penyelesaian yang lebih pasti, sedang hakim administrasi dipandang tidak dapat menilai hak-hak perdata dan mengintervensi wewenang mengambil kebijakan pemerintah yang mengakibatkan timbulnya masalah sinkronisme hukum yang berujung pada menurunnya legitimasi putusan;
4. Putusan yang dapat memberikan penyelesaian sengketa memudahkan bagi pemerintah menindaklanjuti putusan dengan baik;
5. Kepastian hukum putusan badan peradilan administrasi yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilemahkan oleh upaya hukum perlawanan terhadap pelaksanaan putusan dan peninjauan kembali;
6. Rendahnya kepercayaan pihak pemerintah terhadap badan peradilan administrasi berakibat melemahnya kekuatan tekanan publisitas;
7. Tidak adanya penyelesaian alternatif yang dapat menumbuhkan kekuatan komunikasi;
8. Ketiadaan kekuatan hukum atau daya paksa dalam mengupayakan pelaksanaan materi putusan yang lebih pasti.
Sebagai upaya mencari penyelesaian terhadap persoalan-persoalan yang teridentifikasi tersebut, uraian berikut ini akan menelaah satu persatu masalah tersebut.
A. Absorbsi Kaidah Yurisprudensi
Dari rangkaian penjelasan pejabat atau kuasanya (responden), dapat ditangkap bahwa pejabat pada instansi pemerintah daerah dan pertanahan belum menjadikan norma putusan peradilan administrasi yang bernilai Yurisprudensi menjadi acuan dalam bertindak dan mengambil kebijakan atau dijadikan sebagai kebijakan tersendiri. Hal ini tidak kondusif untuk penciptaan penyelenggaraan pemerintahan yang layak, mengingat tindakan melalui keputusan yang melawan hukum dan sudah dinyatakan batal oleh badan peradilan administrasi kembali diterbitkan, dengan kata lain pemerintah kembali melakukan kesalahan yang sama. Keadaannya akan lain apabila pemerintah dapat menyerap kaidah Yurisprudensi peradilan administrasi, angka gugatan masyarakat terhadap pemerintah diperkirakan akan cenderung berkurang, karena kesalahan masa lalu tidak lagi dilaksanakan.
B. Sinkronisasi Yurisprudensi dan Kesadaran Hukum
Penyerapan Yurisprudensi dan pelaksanaan putusan terkait dengan pemahaman pihak yang diawasi terhadap putusan pengawas dalam hal ini putusan badan peradilan administrasi. Dari data yang berhasil dihimpun terungkap bahwa salah satu alasan yang dipakai untuk tidak melaksanakan materi putusan adalah bahwa motivasi dan teknis penyelesaian sengketa dalam putusan tidak dapat dipahami oleh pihak pemerintah.
Ini dapat saja terjadi karena antara pihak badan peradilan administrasi dan pihak pemerintah tidak terdapat persamaan persepsi, pangkal tolak dan kesadaran hukum. Komunikasi merupakan faktor yang menentukan keberhasilan dan kegagalan hukum. Putusan yang berhasil dikomunikasikan dengan baik akan memberikan hasil pemahaman yang baik, dan pemahaman yang baik akan memudahkan pihak yang terkait untuk menerima atau menolak putusan.
C. Penyelesaian Sengketa Yang Ligitimas
Penyelesaian sengketa menjadi fokus perhatian dalam perkembangan hukum administrasi akhir-akhir ini. Dari kenyataan terdapat kecenderungan putusan yang tidak dapat memberikan penyelesaian sengketa tidak ditindaklanjuti oleh pihak yang diwajibkan melaksanakannya, sebaliknya putusan yang memberi jalan penyelesaian cenderung ditindaklanjuti.
D. Kepastian Hukum Putusan Berkekuatan Hukum Tetap (In Kracht Van Gewijsde)
Sudikno Mertokusomo mengemukakan bahwa suatu putusan disamping harus bermanfaat juga harus mengandung kepastian hukum. Tanpa kepastian hukum akan timbul kegelisahan dan para pihak merasa terombang-ambing.
Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa. Karena itu pintu masuk untuk upaya ini hendaknya dipersempit, karena dapat memperlambat penyelesaian sengketa dan mengurangi kepastian hukum dari putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
E. Membangun Kepercayaan dan Tekanan Publisitas
Penegakan hukum merupakan tiang bagi tegaknya negara hukum Indonesia. Keberhasilannya harus dapat dipantau oleh semua pihak. Untuk kepentingan itu perlu diwajibkan kepada pihak pemerintah yang dibebani kewajiban melakukan follow up putusan badan peradilan administrasi untuk memberitahukan sikap dan tindakan yang telah diambilnya kepada pengadilan dalam tenggang waktu yang ditetapkan. Agar masyarakat mengetahui sikap pemerintah, perlu adanya catatan dalam suatu daftar pada kepaniteraan badan peradilan administrasi . Catatan ini terbuka terhadap siapa saja, karena masalah pelaksanaan putusan badan peradilan adalah bersikap publik bukan lagi masalah yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, catatan itu terbuka untuk diketahui umum dan secara berkala diterbitkan dan dibagikan atas biaya negara lepada instansi pemerintah dan masyarakat umum yang menaruh perhatian.
F. Dual Sistem Peradilan (Refleksif dan Refresif)
Kekuatan eksekutorial dalam melaksanakan putusan badan peradilan administrasi banyak dipertanyakan orang kemapuhannya. Hukum acara peradilan administrasi tidak mengenal adanya upaya paksa apabila putusan tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pemerintah.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya agar absorbsi dan pelaksanaan putusan pengendalian oleh badan pemerintah dapat berjalan dengan baik. Alternatif yang dapat dilaksanakan antara lain adalah dengan menggunakan kedua bentuk komunikasi antara pengawas dan yang diawasi yaitu “pengawasan refleksif” dan “pengawasan refresif”. Diadakan dual sistem dalam mekanisme penyelenggaraan peradilan dilingkungan badan peradilan administrasi.
1. Pengawasan Refleksif
Hakim pada badan peradilan administrasi tidak harus mengambil keputusan menurut sudut pandangnya sendiri. Oleh karena itu, dalam pengawasan penting adanya pola komunikasi alternatif yang dapat menyatukan persepsi antara pihak-pihak yang terlibat. Pola pengawasan refleksif dalam pelaksanaan pengawasannya tidak terlalu berusaha mempengaruhi tindakan pemerintah dengan cara paksa, tetapi dengan bertukar pikiran atau dialog. Gagasan ini berpijak bahwa mungkin saja putusan peradilan administratif tidak atau tidak sepenuhnya dilaksanakan bukan berarti bahwa pemerintah menolak putusan itu, mungkin saja putusan itu tidak dapat atau sulit dijalankan.
2. Pengawasan Refresif
Pola hubungan pengawasan pada pengawasan refresif adalah pengawasan yang bersifat kekuasaan atau vertikal. Pengawasan ini mengajarkan bahwa sanksi dan ancaman kerugian mengajarkan tekanan psikis dalam menekan pihak menindak lanjuti materi putusan, sebab apabila putusan tidak ditindak lanjuti maka dapat benar-benar direalisir secara paksa.
Pengawasan badan peradilan administrasi dapat dikategorikan kepada pengawasan refresif. Namun, pembuat undang-undang belum sampai hati memberikan wewenang yang lebih kuat kepada pengadilan yang dapat membuat tindak lanjut putusan menjadi lebih efektif.
KOMENTAR/TANGGAPAN

Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkenaan dengan materi/substansi dari buku Irfan Fachruddin yang berjudul ”Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah” yakni sebagai berikut:
1. Dari isi buku ini terlihat kesan bahwa sebagian besar putusan Badan Peradilan Administrasi yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) belum mendapat respons postif dari pihak pemerintah sehingga efektivikasi pengawasan badan peradilan administrasi terhadap tindakan pemerintah dapat dibangun dengan mengacu kepada Penetapan kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk itu Yurisprudensi menjadi dasar dalam bertindak dan mengambil kebijakan sehingga tidak terulang lagi kesalahan yang sama yang dilakukan oleh pemerintah sehingga dikemudian hari terjadi kecenderungan berkurangnya gugatan yang masuk kebadan peradilan administrasi.
2. Untuk membangun kepercayaan terhadap badan peradilan administrasi, dapat diupayakan dengan meningkatkan sumber daya manusia seutuhnya terutama kemampuan teknis peradilan, intelektualitas pada semua tingkat peradilan khususnya peradilan administrasi serta perlunya mempublikasikan putusan badan peradilan administrasi dan pelaksanaannya secara luas.
3. Perlu penggunaan dual sistem dalam cara pengawasan oleh badan peradilan khususnya peradilan administrasi yaitu pengawasan refleksif dan refresif, agar terdapat keseimbangan dalam penggunaan kekuatan komunikasi dan kekuatan hukum. Sehingga kewajiban hakim melaksanakan melaksanakan pengawasan melalui komunikasi intensif antara pihak pengawas dan pihak yang diawasi, serta sebaiknya ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang eksekutorial kepada badan peradilan administrasi untuk menetapkan paksaan terhadap pelaksanaan isi putusan seperti menetapkan uang paksa (dwangsom) kepada pejabat pemerintah yang tidak bersedia menindak lanjuti putusan sehingga semakin dipertegas kewajiban kepada pejabat pemerintah untuk melaksanakan putusan badan peradilan demi kepentingan pemohon.
4. Sudah semestinya buku Irfan Fachruddin direvisi karena masih mengacu pada Undang-Undang Lama yakni Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dan pada revisi selanjutnya memuat Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan demikian pasal-pasal yang telah diubah tetap dimuat disertai dengan perubahan rumusan pasalnya sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran, perbandingan akan persamaan dan perbedaan rumusan Pasalnya sehingga hal ini akan terlihat bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang.
DAFTAR PUSTAKA


Buku-Buku

Ateng Sjafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintah di Daerah, Citra Aditya Bakti, Bandung,1993.

Commisie Inzake Algemene bepalingen van administratiefrecht,Rapport inzake algemene bepalingen van administratief recht, samsom H.D Tjeenk Willing b.v. Alphen aan den Rijn,1984.

H.D.Van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratif Recht,Vuga, s’Gravenhage,1995.

Indroharto,Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta,1991.

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi, Alumni, Bandung,2004.

Kuntjoro Purbopranoto,Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi,Alumni, Bandung,1985.

M. Natta Saputra,Hukum Administrasi Negara,CV Rajawali, Jakarta,1988.

Muchsan,Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,1992.

Paulus Effendie Lotulung,Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti,Bandung,1993.

Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara,Rajawali Pers, Jakarta,2006.

Rochmat Soemitro,Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, Eresco, Bandung, 1991.

Roemijn H.J,Administratiefrecht Hand en Leerboek,Moorman’s Priodieke Pers N.V, Den Haag, 1934.

S.F.Marbun,Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,Liberty, Yogyakarta,1997.

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,Alumni, Bandung,1997.

Stroink F.A.M.& J.G.Steenbeek,Inleiding in het staats en administratief Rect.,Samson HD, Tjeenk Willing, Alpena an den Rijn,1985.


Sudikno Mertokusomo,Sejarah peradilan dan Perundang-undangannya Sejak Tahun 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia,Liberty, Yogyakarta,1983.

Utrecht E,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat – Universitas Padjadjaran Bandung, 1960.

Makalah

Bagir Manan, Peningkatan Fungsi Kontrol Masyarakat terhadap Lembaga legislative, Eksekutif dan Yudikatif, Makalah pada forum Orientasi dan Tatap Muka Tingkat Nasional Kosgoro di Cipanas-Cianjur,Tanggal 26 Juli 2000.

Djajoesman S,Kontrol dan Inspeksi,Makalah pada Sekolah Staf dan Komando Kepolisian, Lembang, Bandung.

Prajudi Atmosudirdjo,Masalah Organisasi Peradilan Administrasi Negara, Makalah Pada Simposium Peradilan Tata Usaha Negara BPHN, Binacipta, Bandung,1977.