Senin, 08 Februari 2010

Lingkungan

IMPLIKASI PENERAPAN TAP MPR NO. IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN SUMBER DAYA ALAM TERHADAP PENERAPAN HUKUM KONSERVASI DALAM UU. NO.41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DAN UU. NO. 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
Oleh Lies Ariany


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pada sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 1-9 Nopember 2001 telah menghasilkan beberap produk penting yang diperlukan dalam rangka penataan kehidupan berbangsa dan bernegara, satu diantaranya yang perlu mendapat perhatian kita bersama adalah Ketetapan No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Ketetapan MPR ini menyatakan bahwa “sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai Ramat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi Semarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur”.
Dengan ditetapkannya Tap MPR No.IX/MPR/2001 dapat dipahami bahwa ketetapan MPR ini merupakan sebuah komitmen politik (political commitment) untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dari ketentuan pasal 1 Ketetapan MPR No. IX/2001 menggariskan bahwa ketetapan MPR tentang pembaruan dan pengelolaan sumber daya alam merupakan landasan bagi peraturan perundang-undangan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Mencermati ketentuan pasal 1 TAP MPR ini maka dapat dipahami bahwa ketetapan MPR ini berfungsi sebagai ketentuan payung bagi pengaturan lebih lanjut dalam upaya pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Ketetapan MPR ini sendiri pada dasarnya memisahkan dua bidang itu dalam arahan seperti tersebut dalam pasal 2 (pembaruan agraria) dan pasal 3 (pengelolaan sumber daya alam) dan arah kebijakan dalam pasal 5 ayat (1) menyangkut pembaruan agraria dan pasal 5 ayat (2) mengenai pengelolaan sumber daya alam, Dan berkenaan dengan pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak dilakukan.
Selaras dengan Ketetapan MPR No. IX/2001 maka pengelolaan sumber daya alam
lengkap dengan penjelasannya (Tjondronegoro, 1999: 10-24). Sayangnya, saran
kebijakan -- yang bersifat konfidensial – ini tidak dilaksanakan, oleh karena Presiden Soeharto tidak berniat untuk itu. meski demikian, wacana “di bawah tanah” perihal ini tetap saja berlangsung, meski jumlah perminatnya tergolong sedikit hingga akhir tahun 90-an oleh karena takut dituduh penguasa pada saat itu sebagai simpatisan organisasi terlarang (PKI). Meski demikian, berbagai upaya dilakukan oleh para peminatnya agar pembaruan agrarian dapat diwujudkan di Indonesia, yang salah satunya adalah dengan berupaya untuk melahirkan TAP MPR tentang Pembaruan Agraria.
Setelah Pemilu 7 juni 1999, sejumlah akademisi dan aktivis NGO menghadap beberapa kali Panitia Ad Hoc MPR, antara lain diterima oleh Panitia Ad Hoc MPR, antara lain diterima oleh Panitia Ad Hoc yang dipimpin Sabam Sirait; kemudian diterima oleh Panitia Ad Hoc yang dipimpin Siswono Yudhohusodo; dan kemudian diterima oleh Panitia Ad Hoc yang dipimpin Aisyah Amini. Dalam setiap kali pertemuan tersebut disampaikan usulan untuk melahirkan TAP MPR tentang Pembarauan Agraria. Pada tahun 2001, setidaknya ada dua usulan Rancangan Ketetapan MPR-RI tentang Pembaruan Agraria di Indonesia yang disampaikan oleh kelompok masyarakat sebagai masukan kepada Panitia Ad Hoc II yang bertugas untuk itu – menjelang Sidang Tahunan 2001. Kedua usulan tersebut berasal dari teman-teman yang aktif dalam mendiskusikan perihal Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) tertanggal 11/9/2001 dan dari Federasi
Serikat Petani Indonesia (FSPI) tertanggal 24/9/2001 (Damanik, 2002:43-44). Usulan yang pertama lebih menekankan perihal “pengelolaan sumber daya alam”, dan usulan yang kedua lebih menekankan perihal “pembaruan agrarian”. Masing-masing usulan, secara subjektif dan sadar atau tidak sadar, merujuk pada “paham” tertentu. Usulan yang pertama, yaitu usulan “pengelolaan sumber daya alam” memandang, a.1., bahwa: (a) yang dibutuhkan adalah TAP tentang pengelolaan sumber daya alam; (b) UUPA 1960 tidak perlu dipertahankan, UU PSDA). Bagi para aktivis tertentu, usulan yang pertama ini dipahami sebagai usulan yang kental dengan paham neo-liberalisme (perihal ini akan dijelaskan lebih lanjut!). Usulan yang kedua, yaitu usulan “pembaruan agraria” memandang, a.1., bahwa (a) yang dibutuhkan adalah TAP tentang pembaruan agrarian; (b) UUPA 1960 perlu dipertahankan oleh karena sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Bagi para aktivis tertentu lainnya, usulan yang kedua ini dipahami sebagai usulan yang kental dengan paham neo-populisme. Sesungguhnya menarik untuk mendiskusikan secara rinci argumen yang dibangun dalam masing-masing usulan oleh masing-masing pendukungnya. Tetapi oleh karena makalah ini tidak bertujuan untuk itu, maka uraian rinci tentang hal ini tidak dikemukan di sini.
Fakta
Telah banyak publikasi yang melaporkan tentang pengelolaan sumber daya alam yang selama ini telah menimbulkan kerugian kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya, serta menimbulkan berbagai konflik vertikal maupun horizontal. Gambaran makro mengenai ketimpangan penguasaan ini, antara lain dapat dilihat dalam Wiradi (2000).
Tidak hanya itu, peraturan perundang-undangan yang terkait pun saling tumpangtindih dan bertentangan satu dengan yang lainnya. Sejak tahun 1966 berbagai Undangundang yang berkaitan dengan agraria mulai diundangkan, misalnya UU Kehutanan No.5 (1967); UU Pokok Pertambangan No.11 (1967); UU Pertambangan minyak dan gas Bumi No.8 (1971); UU Transmigrasi (1997). Sementara di pihak lain, karena proses pembekuan dan pemandulan, UUPA 1960 dengan hanya mengatur soal hak-hak atas tanah yang jumlahnya tidak lebih dari 30% luas seluruh daratan Indonesia. Selebihnya (sekitar 70%), diatur lewat UU Pokok Kehutanan 1967 (yang telah diperbarui pada tahun 1999).
Fenomena tumpang tindih dan saling bertentangan itu tidak hanya terjadi pada
tingkat undang-undang, sebagaimana telah dikemukakan; fenomena yang sama juga terjadi pada tingkatan yang lebih rendah. Hal ini misalnya terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel), sebagaimana yang ditemukan Subkomisi Mediasi Komnas HAM dalam kunjungannya ke propinsi ini (10 Februari 2003). Pada satu pihak, Pemerintah Daerah bersikukuh bahwa Hutan Lindung Maratus harus dialih-fungsikan dan diikuti dengan program Tukar Guling dengan PT. Kodeco Timber untuk dijadikan sebagai Hutan Produksi (Perda No. 9 Tahun 2000 tanggal 21 Desember 2002). Di lain pihak, Menteri Kehutanan merekomendasikan agar wilayah Hutan Lindung Meratus tetap sebagai hutan lindung dan sebagian arealnya ditingkatkan menjadi Taman nasional (S.K. Menhut No. 1516/Kepts/VII/2001). Selanjutnya, Menteri Kehutanan meminta Gubernur Kalsel untuk menghentikan program alig-fungsi tersebut (Surat Menhut No.164/Menhut-VII/2002 tanggal 5 Februari 2002). Pertentangan antara Menhut dengan Pemda ini belum berakhir di sini, oleh karena Gubernur Kalsel menulis surat kepada Presiden (No.522/00363/Eko) tertanggal 11 Maret 2002 agar surat Menhut tertanggal 5 Februari 2002 itu dicabut, dan Pemda bersikukuh untuk tetap melaksanakan alih-fungsi Hutan Lindung Maratus dan Tukar Guling dengan PT. Kodeco Timber. Tumpang-tindih dan saling bertentangan kebijakan sebagaimana diungkapkan di atas telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran
HAM, khususnya hak asasi masyarakat lokal.
Materi, Dasar dan Tujuan TAP MPR No.IX/2001
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam itu disusun oleh MPR dengan menggabungkan saja dua usulan tersebut di atas, dengan sedikit modifikasi di sana-sini, tanpa mampu mengintegrasikan substansi dua usulan tersebut, meski keduanya secara ideologis memiliki perbedaan. Mengikuti dua pola usulan tersebut di atas, maka dengan mudah pula dilihat bahwa materi yang diatur dalam TAP ini pun terdiri dari dua soal: (a) Pembaruan agrarian, dan (b) Pengelolaan Sumber Daya Alam. Meski demikian, dalam bagian “Menimbang” TAP ini (butir b) dikemukakan bahwa dasar untuk melahirkan TAP ini adalah bahwa MPR mempunyai tugas constitutional untuk menetapkan arah dan dasar pembangunan nasional. TAP MPR ini bertujuan untuk menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam.
Pengertian
Perlu kiranya dicatat bahwa TAP ini mengintrodusir konsep “sumber daya agraria” yang disamakan begitu saja dengan konsep “sumber daya alam”, meski hal ini tidak secara konsisten diikuti dalam bagian-bagian selanjutnya TAP ini. Kedua konsep ini dimaknai sebagai “yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya …”.
Konsep Pembaruan Agraria dalam TAP ini diartikan sebagai yang mencakup suatu proses berkesinambungan dengan penataan kembali penggunaan, pemilikan,
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria untuk tercapainya kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2). Sekedar catatan, bagi beberapa ahli di bidang agrarian, pengertian ini kurang tepat – oleh karena pembaruan agraria itu bukanlah suatu proses berkesinambungan, melainkan bagaikan suatu proses operasi (bedah) yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas. Tidak seperti halnya konsep Pembaruan Agraria, cakupan pengelolaan sumber daya alam dalam TAP ini tidak disebutkan secara eksplisit; dalam pasal 3 hanya disebutkan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, alut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Prinsip-Prinsip
Meski TAP ini membedakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, tetapi keduannya mengacu pada prinsip-prinsip yang sama (pasal 4), antara lain:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia;
d. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparasi dan optimalisasi
pertisipasi rakyat;
e. Mewujudkan keadilan, termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan,
penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharan sumber daya agrarian/sumber daya
alam;
f. Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
g. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,
daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan
individu.
Arah Kebijakan
Bila keduanya (yaitu pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam) dalam aspek prinsipnya merujuk pada prinsip-prinsip yang sama (sebagaimana telah dikemukakan), maka dalam aspek arah kebijakannya keduanya merujuk pada arah kebijakan yang berbeda. Arah kebijakan untuk pembaruan agraria adalah (pasal 5 ayat 1) , antara lain:
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor
demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsipprinsip
sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini.
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat.
c. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang
timbul selama ini, sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan
atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.
Selanjutnya, arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam adalah (pasal 5 ayat
2), antara lain:
a. Melakukan pengkajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud
pasal 4 Ketetapan ini.
b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai
potensi pembangunan nasional.
c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi
sumber daya alam di daerahnya dan emndorong terwujudnya tanggungjawab
sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan, termasuk teknologi
tradisional.
d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan
melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya
alam tersebut.
e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul
selama ini, sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang
guna menjamin terlaksanannya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsipprinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetepan ini.
f. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada
optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan
masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.
Dampak kelahiran TAP No.IX/2001
Salah satu hal penting yang diamanatkan TAP ini adalah melakukan pengkajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor (lihat Pasal 5 ayat 1.a. dan ayat 2.a). meski TAP ini telah menegaskan arah kebijakan yang cukup jelas, tetapi arah kebijakan itu tidak berdampak signifikan, oleh karena yang terjadi adalah sebaliknya (menambah ke-ruwet-an produk perundang-undangan di bidang agraria)!. Ke-ruwet-an ini, antara lain, tampak dari terus berlangsungnya penyusunan berbagai draft perundang-undangan di bidang agraria ini yang substansibya bertentangan antara yang satu dengan lainnya. Saat ini misalnya sedang berlangsung proses pembahasan RUU PSDA di DPR, yang sejauh pengamatan kami kurang sinkron dengan produk perundang-undangan yang bersifat “pokok” di bidang agraria (UUPA 1960).
Tinjauan dari Perspektif HAM
Mencermati uraian di atas dapat dicatat bahwa TAP ini pada satu sisi dimaksudkan untuk memajukan, melindungi dan menegakkan hak asasi manusia, tetapi pada sisi lain dapat dimanfaatkan justru untuk melanggar hak asasi manusia. Untuk memajukan, melindungi dan menegakkan hak asasi manusia, subtansi TAP ini telah sesuai dengan Pasal 28H ayat I dan Pasal 28I ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945 (Amandemen II). Mudah dipahami bahwa substansi TAP ini menegaskan agar hak setiap orang untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dapat dipenuhi. Hal ini bersesuaian dengan Pasal 28H ayai 1 UUD 1945 dan Pasal 9 ayat 3 UU No. 39 tahun 1999. Demikian pula halnya dengan penegasan perihal dimensi keadilan,
termasuk kesetaraan jender, yang bersesuaian dengan Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 (bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif) serta Pasal 17 dan Pasal 45 UU No.39/1999.
Substansi TAP ini juga menyentuh penghormatan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Hal ini bersesuaian dengan Pasal 28I ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 UU 39/1999. Lebih dari itu, prinsip “a” TAP ini konsisten dengan salah substansi Deklarasi Wina, 1999 (yaitu dalam hal memelihara dan mempertahankan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia). Tetapi pelanggaran hak asasi manusia juga memungkinkan terjadi dengan TAP ini, antara lain pelanggaran atas hak milik pribadi tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat 4 UUD 1945 dan dalam Pasal 36 ayat 2 UU No.39/1999. Pelanggaran atas hak ini potencial terjadi (yang dilakukan oleh pemilik modal misalnya, yang dalam wacana HAM dikenal sebagai capital violence), karena paham neo-liberalisme melekat pada arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam – yang sangat akrab dengan komersialisasi dan kapitalisasi kekayaan alam – sebagaimana terkandung, antara lain dalam butir “d” dan butir “g” arah kebijakannya. Butir “d” misalnya berbunyi “memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya
meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut”. Sejauh yang kami pahami, konsep “nilai tambah” sangat dikenal dalam teori-teori ekonomi (liberal/neoliberal). Demikian pula dapat dicermati substansi butir “g”, yang berbunyi “menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional. Konsep “optimalisasi” juga sangat dikenal dalam teori-teori ekonomi (liberal/neo-liberal). Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa arah kebijakan PSDA, menurut pendapat kami condong pro neoliberalisme dan tidak sinkron dengan UUD kita, antara lain dengan Pasal 33 (yang oleh penganut paham neo-liberal hendak diubah)!
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa sebagian substansi TAP tersebut
mengandung kebijakan ke arah perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Tetapi pada sisi lain justru dapat memfasilitasi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dilakukan oleh pemilik modal (capital violence) yang kental dengan paham neo-liberalisme. Oleh karena itu, kami menyarankan dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama adalah disarankan untuk menolak TAP ini. Kemungkinan kedua adalah disarankan agar substansi TAP ini yang mengarah pada perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia dipertahankan untuk diatur lebih lanjut dengan UU. Dengan demikian, maka UU yang diusulkan untuk memuat substansi TAP ini hanyalah memuat kebijakan tentang pembaruan agraria.

Book Report "Irfan Fachruddin yang berjudul Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah”

PENDAHULUAN


Konsekuensi sebagai Negara hukum modern dan kemajuan teknologi, disertai dengan krisis yang berkepanjangan diberbagai bidang, semaikn menarik peranan Negara dan Pemerintah memasuki bidang-bidang kehidupan dan pergaulan masyarakat, terutama pada penyelenggaraan kesejahahteraan warga masyarakat.
Tuntutan pelaksanaan kesejahteraan rakyat mengakibatkan kekuasaan pemerintah tidak mungkin lagi dapat dikungkung semata-mata melaksanakan wewenang yang didasarkan kepada undang-undang disamping berlakunya asas legalitas. Untuk mencapai hasil yang lebih baik pemerintah membutuhkan kebebasan untuk bertindak sendiri yang dikenal dengan Freiess Ermessen.
Mewujudkan pemerintahan yang baik tentu tidak mudah. Lord Acton telah memperingatkan, bahwa kekuasaan sangat potensial untuk disalahgunakan. Sebagaimana diungkapkannya “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (Semakin besar kekuasaan akan semakin besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan). Agar kecenderungan yang berakibat merugikan Negara dan bangsa itu tidak leluasa berkembang, kekuasaan hendaklah dibatasi dan diawasi atau dikendalikan. Untuk itu, diperlukan badan yang dapat memberikan keputusan dalam hal terjadi benturan kepentingan, perbedaan penafsiran dalam penggunaan kekuasaan dan penerapan hukumnya antara pemerintah dan anggota masyarakat.
Pada hakikatnya, badan peradilan administrasi adalah salah satu badan yang dibentuk dengan cara tertentu mengawasi tindakan pemerintah dan mempunyai wewenang melakukan koreksi terhadap penyimpangan yang dilakukan organ pemerintah disamping organ pengawasan lain.
Kompetensi utama badan peradilan administrasi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Administrasi adalah menyelesaikan sengketa administrasi antara pemerintah dan warga masyarakat, sengketa yang timbul akibat tindakan pemerintah yang tidak menurut hukum dan melanggar hak-hak serta kepentingan warga.
Dalam perspketif yang lebih luas badan peradilan administrasi adalah penjaga agar kegiatan dan tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan tugasnya selalu berdasarkan ketentuan hukum (rechtmatigheid van het bestuur) dan terlaksananya jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak warga menurut konsepsi Indonesia, yaitu keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara kepentingan warga dan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa hasil-hasil pengawasan adalah pengembalian hak-hak dan kepentingan warga yang terkena tindakan pemerintah dan koreksi terhadap tindakan pemerintah yang melawan hukum serta akibat-akibatnya. Pada akhirnya, sengketa administrasi dapat diselesaikan dalam arti sengketa itu berakhir.
Pengawasan hukum terhadap pemerintah dapat dilihat dari dua perspektif:
1. Konsekuensi pengawasan yudisial terhadap perlindungan hak-hak individu warga, khususnya konsekuensi putusan badan peradilan administrasi bagi perlindungan hak-hak perorangan.
2. Konsekuensi pengawasan yudisial itu terhadap tindakan atau keputusan pemerintah, khususnya konsekuensi korektif dan perspketif putusan badan peradilan administrasi bagi tindakan pemerintah.

PENGAWASAN TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH DAN PERADILAN ADMINISTRASI

A. Konsep Pemerintah

Pembahasan istilah ”pemerintah” dan ”pemerintahan” sering dikaitkan dan dipadankan dengan istilah asing, antara lain administratie, administration, bestuur, regering dan government, dan dalam bahasa Indonesia juga digunakan istilah ”administrasi”, dan tata usaha negara”, karena itu istilah ”pemerintah” dan ”pemerintahan” menjadi bahan perdebatan yang tidak habis-habisnya dikalangan ahli hukum administrasi dan ilmu administrasi.
Government menurut bahasa diartikan dengan Pemerintah berasal dari kata latin, yaitu ”gobernaculum”, artinya ”kemudi”.
Menurut Wilson sebagaimana yang dikonstatir Ateng Syafrudin:
Government...is organized force..two or few men, or many men, or of a community prepared by organization to realize its own purposes with references to the common affairs or the community.
(Pemerintah…adalah suatu kekuatan yang diorganisir…adalah hasil perbuatan beberapa orang atau sekelomp[ok orang yang dipersiapkan oleh suatu organisasi untuk merealisir maksud-maksudnya bersama referensi-referensi yang dapat menangani persoalan-persoalan umum atau masyarakat).

Pendapat Wilson ini mengakomodir pengertian pemerintah sebagai kekuatan yang diorganisir untuk merealisasikan kekuasaan mengurus kepentingan-kepentingan umum.
Dari ruang lingkup kekuasaan oleh Van Vollen Hoven mengemukakan pemerintah dalam arti luas mencakup keempat kekuasaan dalam ajaran “catur praja” yaitu (1) membuat peraturan (regel geven), (2) pemerintah pelaksana (bestuur/executive), (3) peradilan (rechtpraak), dan (4) polisi (politie).
Tidak jauh beranjak dari pendapat Van Vollenhoven maka Kuntjoro Purbopranoto berpendapat bahwa pemerintah dalam “arti luas” adalah kegiatan Negara dalam melaksanakan kekuasaan politiknya, mencakup ketiga kekuasaan Negara dalam ajaran “trias politica” yang digagas oleh Montesquieu yaitu (1) Kekuasaan pembentukan Undang-Undang (la puissance legislative), (2) Kekuasaan Pelaksana (la puissance executive) (3) Kekuasaan pengadilan (la puissance de judge).
Sedangkan N.E. Algra et.al. mengemukakan pengertian ”pemerintah” dalam arti sempit yaitu ”bestuur’. Yang meliputi bagian tugas pemerintah yang tidak termasuk tugas pembuatan undang-undang (legislatif) atau tugas peradilan (yudikatif).
Pendapat senada dikemukakan oleh Kuntjoro Purbopranoto, dikatakan bahwa Pemerintah dalam arti sempit hanya badan pelaksana (executive, bestuur) saja, tidak termasuk badan perundang-undangan (regelgeven).
Berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit, menurut Belinfante dan Willem Konijnebelt, fungsi ”administratie”, sama dengan bestuur yaitu fungsi pemerintahan yang tidak mencakup fungsi pembentukan undang-undang dan peradilan. Belifante mengemukakan:
”Administratie betekent hetzelfde als bestuur, administratief recht wordt daarom ook wel bestuurecht genoemd. Men kan bestuur ook opvatten als bestuurfunctie, dat wil zeggen als een overheidstaak die noch wetgeving, noch rechtspraak is”.
(Administrasi artinya sama dengan pemerintahan. Dengan demikian hukum administrasi disebut juga hukum pemerintahan. Pemerintahan dapat pula diartikan sebagai fungsi pemerintahan, yaitu fungsi pemerintahan yang tidak termasuk pembentukan perundang-undangan dan peradilan).

Demikian pula administrasi menurut Utrecht adalah gabungan jabatan-jabatan, aparat administrasi di bawah pimpinan pemerintah, melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah yang tidak ditugaskan kepada badan-badan pengadilan dan legislatif.
Willem Koninjnebelt juga mengemukakan: ”Het openbare bestuur, vaak ook aangeduid als de administratie”, artinya pemerintah (bestuur) mengandung arti yang sama dengan administrasi. ”administrasi” dapat dibedakan dalam ”arti luas” dan ”arti sempit”. Administrasi dalam ”arti sempit” disimpulkan Rahmat Soemitro dengan ”tata usaha” dari pengertian:
”Elke stelselmatige, schrifelijke vastlegging en ordening van gegevens, samengesteld met hed doel een overzicht van deze gegevens te verkrijgen in hun onderling verband. Niet alle losse gecompileerde verzamellinggen van aantekeneningen kan men als administratie qualificeren.
(Setiap penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud untuk mendapatkan suatu ikhtisar dari keterangan-keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu sama lain. Tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan administrasi).

Istilah utama yang digunakan Undang-Undang Peradilan Administrasi adalah ”tata usaha”. S.F. Marbun megemukakan bahwa istilah ”tata usaha”lebih sesuai digunakan untuk pengertian ”administrasi dalam arti sempit”, yaitu kegiatan tulis menulis, surat menyurat, catat mencatat, ketik mengetik serta penyimpanan naskah-naskah yang hanya bersifat teknis ketatausahaan belaka.
Sedangkan Irfan Fachruddin berpendapat bahwa melihat dari beberapa sifat pengertian dari Pemerintah : Pertama, pemerintah adalah sebagai organ penyelenggara keseluruhan kekuasaan untuk mencapai tujuan negara atau mengurus kepentingan-kepentingan umum; Kedua, pemerintah sebagai badan penyelenggara seluruh kegiatan negara kecuali membuat perundang-undangan (regel geven), penyelenggaraan peradilan (rechtspraak). Untuk pengertian ini lebih sesuai dengan pengertian ”bestuur”, ”executive” atau ”administratie”. Ketiga, pemerintah dapat diartikan sebagai ”organ” dan arti ”fungsi pemerintahan”.
Perlu juga dibedakan istilah ”pemerintah” dan ”pemerintahan”, M. Nata Saputra menjelaskan bahwa ”istilah pemerintahan ialah bestuurvoering (pelaksanaan tugas pemerintah) sedangkan istilah pemerintah berarti oran/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan”.
Dalam khasanah hukum administrasi dikenal tiga sumber kewenangan pemerintah, yaitu ”atribusi”, delegasi, dan ”mandat”.Ketiga sumber wewenang pemerintah diuraikan lebih lanjut, di bawah ini:
a. Atribusi
Kekuasaan pemerintah yang langsung diberikan undang-undang yang disebut ”atribusi”. H.D. van Wijk memberikan pengertian: ”atributie: toekenning van een bestuurabevoegdheid door een bestuursorgaan” (atribusi, adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah).
b. Delegasi
Penyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan atau pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat pemerintah yang lain, setelah wewenang diserahkan pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi.
Stroink dan Steenbeek menjelaskan lebih lanjut bahwa ”delegasi” hanya dapat dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai wewenang melalui ”atribusi”.
c. Mandat
Wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan apabila pejabat yang memperoleh wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri. Berbeda dengan ”delegasi”, pada mandat si pemberi mandat tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan, dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya, mandans atau pemberi mandat tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris.
Perbedaan antara atribusi, delegasi dan mandat sebagaimana didefinisikan oleh Wijk/Willem Konijnenbelt adalah sebagai berikut:
a. Attribute : Toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintahan).
b. Delegatie: Overdracht van een bevoegheid van het ene bestuurorgaan aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
c. Mandaat: een bestuurorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya)
B. Tindakan Pemerintah
Usaha untuk mencapai tujuan negara sebagai organisasi kekuasaan, pemerintah atau administrasi negara adalah orgaan negara yang memiliki kedudukan istimewa, dapat melakukan tindakan sebagai instrumen yang menghubungkannya dengan kehidupan bersama anggota masyarakat.
E. Utrecht menggolongkan perbuatan administrasi kepada dua golongan besar, yaitu golongan perbuatan hukum (rechtshandelingen) dan golongan yang bukan perbuatan hukum atau tindakan nyata (feitelijke handelingen). Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak menimbulkan akibat hukum. Bagi hukum administrasi negara yang penting hanya golongan perbuatan hukum, dan golongan perbuatan yang bukan perbuatan hukum adalah irrelevant (tidak berarti).
Karena tindakan nyata dianggap irrelevant, tindakan pemerintah (bestuurshandeling) yang banyak dibicarakan adalah tindakan hukum. Menurut Romeijn sebagaimana yang disarikan Kuntjoro Purbopranoto tindakan hukum adalah tiap-tiap tindakan/perbuatan dari suatu alat perlengkapan pemerintah (bestuurorgaan) yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi. Demikian pula pendapat Van Poeije tindakan hukum publik adalah:
”Rechtshandeling door de overheid in haar bestuurfunctie verricht”.
(tindakan yang yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan).
Irfan Fachruddin menyimpulkan bahwa pada dasarnya tindakan hukum administrasi mengandung unsur: (1) Tindakan dilakukan oleh suatu alat perlengkapan pemerintah (bestuurorgaan) atau penguasa (overheid); (2) Tindakan dilakukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan; (3) Berisi pernyataan kehendak dari organ administrasi; (4) Dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi.
Tindakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah dibedakan kepada tindakan hukum privat (privaatrechtelijke rechtshandelingen) dan tindakan dalam bidang hukum publik (publiekrechtelijke rechtshandelingen). Tindakan hukum privat adalah:
”...rechtshandelingen die verricht worden op grondslag van het privaatrecht”.
(...tindakan hukum yang didasarkan kepada ketentuan hukum privat).
Sedangkan tindakan hukum publik adalah:
”...rechtshandelingen die verricht worden op de grondslag van het publiekrecht“.
(...tindakan hukum yang didasarkan kepada ketentuan hukum publik).
Penggunaan hukum privat dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak sepi dari pro dan kontra. J.A. Loeff, H. Dooyewerd, dan J.H. Scholten pada pokoknya berpendapat bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugas pemerintahan tidak dapat memakai hukum privat. Berbeda dengan pendapat tersebut adalah gagasan Huart, Kranennburg dan G.J. Wiarda pada pokoknya berpendapat bahwa dalam beberapa hal tertentu administrasi negara dapat juga memakai hukum privat, tetapi bila menyelesaikan suatu soal khusus dalam lapangan administrasi negara, telah tersedia atau diperlukan peraturan-peraturan hukum publik. Karena itu, administrasi negara hanya dapat menggunakan peraturan-peraturan hukum privat.
C. Pengertian dan Bentuk Pengawasan
Kata ”pengawasan” berasal dari kata awas, berarti antara lain ”penjagaan” . Istilah ”pengawasan” dikenal dalam ilmu managemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.
George R Terry menggunakan istilah ”control” sebagaimana yang dikutip oleh Muchsan, artinya adalah:
”Control is to determine what is accomplished, evaluate it, and apply corrective measures, if needed to ensure result in keeping with the plan”.
(Pengawasan adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hal yang sesuai dengan rencana).

Senada dengan pendapat George R. Terry, Djajoesma mengintrodusir pendapat Henry Fayol, mengemukakan bahwa: “control adalah penelitian apakah segala sesuatu dilakukan sesuai dengan rencana, perintah-perintah dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan”. Bertolak dari pendapat J.R. Beishline, arti control menurut Djajoesman adalah:
“…Suatu proses untuk menentukan hubungan antara yang diharapkan dari perencanaan dengan hasil kenyataan yang didapat, serta mengambil tindakan yang perlu secara secara sah guna memperbaiki segala sesuatu yang menyimpang dari rencana”.
Muchsan sendiri berpendapat sebagai berikut:
“Pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada pencocokkan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini berwujud suatu rencana/plan)”.

Sedangkan Bagir Manan memandang kontrol sebagai:
””Sebuah fungsi dan sekaligus hak, sehingga lazim disebut fungsi kontrol, atau hak kontrol, kontrol mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian. Pengawasan yang bertalian dengan pembatasan, dan pengendalian bertalian dengan arahan (directive)”.
Pengawasan (controle) terhadap pemerintah menurut Paulus Effendie Lotulung adalah upaya untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik disengaja maupun tidak disengaja, sebagai usaha preventif atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha refresif.
Apabila dihubungkan dengan pengawasan terhadap pemerintah, terlihat bahwa pengertian umum pengawasan masih tetap relevan, alasannya:
1. Pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap pemerintah adalah pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik dan dapat pula membawa kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan masyarakat kepada pelaksanaan yang baik pula dan tetap dalam batas kekuasaannya;
2. Tolok ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan pemerintah dalam bentuk hukum material maupun hukum formal (rechtsmatigheid); serta manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat (doelmatigheid);
3. Adanya pencocokkan antara perbuatan dan tolok ukur yang telah ditetapkan;
4. Jika terdapat tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolok ukur tersebut dilakukan tindakan pencegahan;
5. Apabila dalam pencocokkan terjadi penyimpangan dari tolok ukur, kemudian diadakan koreksi melalui tindakan pembatalan, pemulihan terhadap akibat yang ditimbulkan dan mendisiplinkan pelaku kekeliruan itu.
Pengawasan dipandang dari ”Kelembagaan” yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol dapat dibedakan menjadi kontrol intern (internal control) dan kontrol ekstern (external control). (1) Kontrol intern (internal control) adalah pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan/organ yang secara struktural adalah masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah.Misalnya pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkhis. Bentuk kontrol semacam ini dapat digolongkan sebagai jenis kontrol teknis-administratif atau ”built-in control”, (2) Kontrol Ekstern (external control) adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan/organ secara struktur organisasi berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya, kontrol yang dilakukan secara langsung seperti kontrol keuangan yang dilakukan oleh BPK, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat melalui LSM termasuk media massa dan kelompok masyarakat yang berminat pada bidang tertentu, kontrol politis yang dilakukan oleh MPR dan DPR(D) terhadap pemerintah (eksekutif). Kontrol reaktif yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan peradilan (judicial control) antara lain peradilan umum dan peradilan administrasi, maupun badan lain seperti Komisi Ombudsman Nasional.
Dipandang dari waktu pelaksanaan pengawasan, pengawasan dapat dibedakan menjadi kontrol a-priori dan kontrol a-posteriori. (1) Kontrol a-priori adalah pengawasan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan atau dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol a-priori mengandung unsur pengawasan preventif yaitu untuk mencegah atau menghindarkan terjadinya kekeliruan; (2) Kontrol a-posteriori adalah pengawasan yang dilakukan sesuadh dikeluarkan suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan pemerintah. Pengawasan ini mengandung sifat pengawasan refresif yang bertujuan mengoreksi tindakan yang keliru.
Dipandang dari cara pengawasan, pengawasan dibedakan kepada pengawasan unilateral (unilateral control) dan pengawasan refleksif (reflexive control). (1) Pengawasan unilateral (unilateral control) adalah pengawasan yang penyelesaiannya dilakukan secara sepihak oleh pengawas; (2) Pengawasan refleksif (reflexive control) adalah pengawasan yang penyelesaiannya dilakukan melalui proses timbal balik berupa dialog dan negosiasi antara pengawas dan yang diawasi.
D. Konsep Peradilan Administrasi
Peradilan administrasi atau ”administrative rechtspraak” atau ”judicial control of administrative action” sesungguhnya juga merupakan genus peradilan. Oleh karena itu, membicarakan pengertian ” peradilan administrasi” mesti dimulai dari pengertian ”peradilan” dan unsur-unsurnya.
Sudikno Mertokusomo memberikan arti ”peradilan” sebagai berikut:
”Kata peradilan yang terdiri dari kata dasar ”adil” dan mendapat awalan ’per’ serta akhiran ’an’ berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan pengadilan. Pengadilan disini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan yang mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu hal memberikan keadilan”.
Menurut R. Subekti et.al :
”Pengadilan (rechtbank atau court) adalah badan yang melakukan peradilan, yaitu memeriksa dan memutus sengketa-sengketa hukum dan pelanggaran-pelanggaran hukum/undang-undang. Peradilan (rechtspraak atau judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan”.

Sedang menurut Rochmat Soemitro :
”Peradilan (rechtspraak) ialah proses penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan pengadilan menurut hukum,...Pengadilan ialah cara mengadili atau usaha memberikan penyelesaian hukum dan dilakukan oleh badan pengadilan,... Badan Pengadilan ialah suatu badan, dewan, hakim atau instansi pemerintah yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan wewenang untuk mengadili sengketa hukum”.

Sjachran Basah memberikan pengertian yang lebih lugas, dikatakan:
”...Penggunaan istilah pengadilan ditujukan kepada badan atau kepada wadah yang memberikan peradilan, sedang peradilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan di dalam rangka menegakkan hukum atau ’het rechtspreken’ ”.

Lebih lanjut Sjachran Basah menambahkan pengertian ”peradilan” sebagai berikut:

”Segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum ’in concreto’ dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal”.

Untuk memperjelas pengertian ”peradilan” , Sjachran Basah bertolak dari dari persetujuannya terhadap rumusan empat unsur peradilan yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro, yaitu:
d. Adanya suatu aturan hukum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan;
e. Adanya suatu sengketa yang konkret;
f. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak;
g. Adanya badan peradilan yang berwenang memutus sengketa.
Selain itu beliau menambahkan satu unsur lagi yaitu adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hukum (rechtsvinding) ’in concreto’ untuk menjamin ditaatinya hukum materiil. Penambahan ini penting dengan alasan sebagaimana yang dikemukakan secara puitis oleh Sjachran Basah:
”Peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, karena tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar (dapat bertindak semaunya) sebab tidak ada batas-batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya”.

Berkaitan dengan ”peradilan administrasi”, Sjachran Basah keberatan menggunakan tambahan kata ”negara” dibelakangnya, dengan alasan sebagai berikut:
1. apabila istilah ’peradilan administrasi negara’ dipergunakan predikat ’negara’ menjadi berkelebihan (pleonasme) dan tidak perlu, disebabkan sesungguhnya hanyalah negara saja yang berhak membentuk peradilan.
2. Seiring dengan alasan yang pertama tersebut, bahwa berlainan dengan adanya pasangan pengertian ’perkara pidana sipil’ dan ’perkara pidana militer’, tidak ada pasangan lawan terhadap istilah ’peradilan administrasi negara’ berupa ’peradilan administrasi swasta’ atau ’peradilan adminsitrasi partikelir’.
Mengenai keberatan ini, Irfan Fachruddin berpendapat bahwa istilah ”negara” tidak ditujukan kepada peradilannya, tetapi kepada administrasinya. Pengertiannya adalah peradilan untuk administrasi atau untuk tata usaha negara, bukan untuk administrasi atau tata usaha swasta, mengingat di Indonesia juga lazim digunakan istilah administrasi dan tata usaha niaga. Pengertian administrasi juga sudah mengandung arti pemerintahan. Karena itu, adanya istilah ”negara” tidak penting, hanya untuk memberikan penjelasan. Kembali pada istila ”peradilan administrasi negara”, seperti halnya pada istilah ”peradilan niaga” artinya peradilan untuk perkara niaga; ”peradilan perdata” artinya peradilan untuk masalah-masalah perdata; ”peradilan tata usaha negara” artinya peradilan untuk perkara tata usaha negara. Irfan Fachruddin setuju untuk tidak menambahkan kata ”negara” dibelakang kata ’administrasi” tetapi penambahan itu perlu dibelakang kata ”tata usaha” karena pengertian ”tata usaha” tidak identik dengan ”pemerintah” atau ”administrasi”.
Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Bagi negara Republik Indonesia yang merupakan Negara Hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi dan berdampingan dengan hak masyarakat. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Karena itu, tujuan pembentukan peradilan administrasi secara filosofis, adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.
Menurut Sjachran Basah tujuan peradilan administrasi adalah:
”Untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata, melainkan juga bagi administrasi negara dalam arti hal adanya keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administrasi Negara akan terjaga ketertiban, ketenteraman dan keamanan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, bersih, dan berwibawa dalam kaitan negara hukum berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa tujuan peradilan administrasi secara preventif untuk mencegah tindakan-tindakan administrasi negara yang melawan hukum dan merugikan, sedangkan secara refresif atas tindakan-tindakan tersebut perlu dan harus dijatuhi ’sanksi’ ”.

Menurut Prajudi Atmosudirdjo, tujuan peradilan administrasi adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien.
KARAKTERISTIK DAN KEKUATAN PENGAWASAN PERADILAN ADMINISTRASI

Karakteristik Pengawasan
1. Pengawasan Reaktif
2. Pengawasan Indipenden
3. Pengawasan Terbatas
4. Pengawasan Segi Hukum dan Kebijakan

ad.1. Pengawasan Reaktif
Sifat pengawasan pasif adalah sifat umum dari pengawasan peradilan. Sifat ini juga disebut dengan sifat ”reaktif”. Dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian diubah dengan Pasal 53 (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 yang berbunyi ”Orang atau Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.Disini pengadilan tidak dapat secara aktif memeriksa suatu perkara administrasi secara langsung atas inisiatif sendiri.
ad.2. Pengawasan Independen
Dipandang dari struktur kekuasaan negara Indonesia, Pemerintah adalah salah satu organ kekuasaan negara di bawah Presiden selaku kepala pemerintahan yang diberi wewenang melaksanakan tugas-tugas negara yang tidak termasuk wewenang mengadili. Badan peradilan administrasi dijalankan oleh kekuasaan kehakiman yang tidak berada dalam lingkungan pemerintahan atau dibawah pengaruh kekuasaan badan negara lainnya.
Badan peradilan administrasi adalah salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman tersebut, dengan demikian pengawasan peradilan administrasi di Indonesia termasuk pengawasan yang ’independen’ yaitu pengawasan yang dilakukan oleh badan yang secara organisatoris berada di luar pengaruh dan lingkungan administrasi negara.
ad.3. Pengawasan Terbatas
Secara yuridis wewenang peradilan administrasi bersifat terbatas. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian di ubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 menyebutkan secara umum:
”Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara”.
Lebih khusus dinyatakan oleh Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa:
”Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbal dalam bidang tata usaha negara, antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pengertian keputusan tata usaha negara dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004:
”Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yang berisi tindakan hukum tata usaha negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Ditegaskan lebih lanjut pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004, bahwa:
”Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedang hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara”
Tidak semua keputusan pemerintah dapat disengketakan di hadapan badan peradilan administrasi. Keputusan pemerintah yang dikesampingkan dari wewenang peradilan administrasi oleh Pasal 2 Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah: (a) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; (b) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; (c) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; (d) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;(e) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (f) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; (g) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
ad.4. Pengawasan Segi Hukum dan Kebijakan
Tolok ukur pelaksanaan pengawasan peradilan administrasi Indonesia ditentukan oleh Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, lengkapnya tercantum sebagai berikut:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Konsekuensi pengawasan yudisial adalah bahwa hakim hanya menguji segi legalitasnya saja, dengan mengabaikan sama sekali segi kebijakan dan kemanfaatan (doelmatigheid). Persoalan yang harus dijawab adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Belinfante hanyalah semata-mata: ”apakah suatu tindakan pemerintah berdasarkan atau sesuai dengan hukum atau tidak”

KONSEKUENSI PENGAWASAN BADAN PERADILAN ADMINISTRASI

A. Tahap Informasi
Keberhasilan komunikasi, dalam arti pihak yang menerima pesan dapat menangkap dengan baik isi pesan yang disampaikan pemberi pesan merupakan sarana penerimaan seseorang dan suatu kelompok masyarakat terhadap hukum. Jika hukum termasuk putusan badan peradilan administrasi dengan baik, penerimaan dan kesadaran terhadap hukum akan lebih baik juga. Pada kondisi demikian, hukum akan dirasakan sebagai sarana pengatur kehidupan dan penyelesaian sengketa yang adil.
a.1. Tidak mengikuti perkembangan Yurisprudensi
Pengetahuan pejabat instansi pertanahan dan pemerintahan umum mengenai perkembangan putusan hukum administrasi yang bernilai Yurisprudensi masih kurang. Sebagian besar responden dari pejabat dan staf pada beberapa instansi pertanahan dan pemerintahan daerah pada dasarnya tidak mengikuti perkembangan putusan Yurisprudensi peradilan administrasi mengenai instansi mereka. Hal ini tidak dilakukan karena pejabat pada pusat kekuasaan tidak mewajibkan atau menganjurkan untuk mengikuti dan mempelajari perkembangan Yurisprudensi badan peradilan administrasi. Dijelaskan bahwa yang mereka ketahui dengan baik hanya putusan badan peradilan administrasi dalam perkara yang melibatkan langsung instansi mereka sebagai pihak tergugat dalam perkara.
Dapat disimpulkan bahwa tidak ada atau setidak-tidaknya belum terdapat pada jajaran instansi responden kebiasaan mengikuti perkembangan Yurisprudensi terbaru yang menyangkut instansi mereka sendiri karena tidak ada kebijakan dari pusat pemerintah untuk melakukan itu.
a.2. Tidak memahami motivasi dan teknis penyelesaian
Pejabat pada instansi pertanahan Kabupaten Bandung menjelaskan bahwa dalam lingkungan instansi pertanahan putusan-putusan badan peradilan administrasi pada umumnya dapat dipahami, tetapi ada juga yang sulit dipahami. Kebanyakan pejabat dan pelaksana bukan berlatar belakang
Hukum dan terdapat sedikit hambatan dalam memahami putusan-putusan badan peradilan. Rata-rata responden menjelaskan bahwa tidak terdapat pertemuan khusus untuk membicarakan putusan-putusan badan peradilan, apabila dianggap perlu disampaikan dalam rapat biasa terutama jika ada putusan yang membatalkan keputusan perintah penerbitan keputusan baru atau penundaan pelaksanaan keputusan. Jika terdapat keraguan mengenai maksud dari putusan itu biasanya ditanyakan kepada atasan atau instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi.
Dapat disimpulkan bahwa instansi pemerintah daerah dan pertanahan dapat menangkap maksud putusan hakim administrasi akan tetapi sebagian besar tidak memahami motivasi dan rancangan teknis penyelesaian sengketa.
a.3. Tanpa penjelasan lanjutan
Pengawasan badan peradilan administrasi terhadap pemerintah digolongkan kepada bentuk pengawasan represif. Pengawasan represif dilakukan dan diputuskan oleh pihak hakim pengadilan secara sepihak.
Mengenai hal ini, kebanyakan pejabat dan staf dari pemerintah darerah dan instansi pertanahan memberikan komentar yang hampir sama. Pada pokoknya mengatakan bahwa setelah putusan badan peradilan administrasi dijatuhkan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, kesulitan dalam memahami putusan hanya dibicarakan pada instansi sendiri, konsultasi dengan pimpinan atau pejabat yang secara hierarkhis lebih tinggi, karena hubungan dengan hakim pengadilan tidak dapat leluasa dilakukan.
Jika terdapat ketidakjelasan dalam isi putusan badan peradilan, hakim tidak dapat diharapkan memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai materi putusan kepada pihak-pihak yang berpekara, karena dalam pola pengawasan represif, komunikasi antara pengawas dan yang diawasi tidak dapat dilakukan dengan leluasa.
Pada tahap informasi secara umum (1) tidak ada kebiasaan mengikuti perkembangan Yurisprudensi terbaru yang menyangkut instansi pemerintah, karena tidak ada keharusan dan kewajiban untuk melakukan itu dari sentra kekuasaan; (2) bahwa pihak pemerintah daerah dan instansi pertanahan dapat menangkap maksud putusan, tetapi tidak memahami motivasi atau pertimbangan dan rancangan teknis penyelesaian sengketa; (3) Peradilan tidak dapat diharapkan memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai materi putusan pasca putusan
B. Tahap Transpormasi
Pada tahap transformasi, persoalannya adalah apakah makna dari putusan badan peradilan administrasi bagi pemerintah? Pada tahap ini terjadi proses penelaahan materi putusan peradilan administrasi dan pengkajian konsekuensi praktis beban kewajiban yang harus dilaksanakan pemerintah. Menelaah akibat-akibat potensial putusan konkret peradilan administrasi bagi penyelesaian sengketa, dan putusan yang bernilai Yurisprudensi bagi pengambilan kebijakan pemerintah pada masa mendatang.
Peradilan administrasi adalah badan penyelesaian sengketa yang bersifat kasuistis antara perorangan atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat pemerintah. Putusan yang dilahirkan dari padanya tidak jauh dari sifat kasuistis juga. Selain itu, putusan pengadilan administrasi seperti putusan badan peradilan lain juga bernilai yurisprudensi, yang dapat menjadi acuan bagi tindakan pemerintah dan menjadi pijakan bagi kasus serupa untuk masa sesudahnya.
b.1. Yurisprudensi tidak menjadi kebijakan
Mengenai hal tersebut seorang pejabat pada instansi pertanahan Kota Bandung Mengungkapkan bahwa:
”Pengetahuan kami tentang perkembangan Yurisprudensi peradilan administrasi sangat sedikit, hanya kebetulan kami ketahui melalui media massa umum dan jurnal hukum yang sekali-sekali kebetulan didapatkan. Sesungguhpun demikian, materinya belum dapat dijadikan sebagai kebijakan instansi kami, karena untuk dapat menjadi kebijakan harus diputuskan dari atas”.

Pada putusan dalam perkara yang menyangkut instansi terkait sesungguhnya terdapat juga kaidah yang bersifat Yurisprudensi, dalam membicarakan suatu masalah kadang-kadang disebut juga kasus yang pernah diputus. Meskipun demikian, secara resmi belum ada kebijaksanaan untuk menelusuri kaidah yang bersifat Yurisprudensi dan apalagi menetapkan menjadi acuan resmi dalam bertindak bagi instansi. Sehingga dapat disimpulkan belum ada kebijakan dari pemerintah untuk menjadikan Yurisprudensi putusan badan peradilan administrasi menjadi dasar bertindak dan acuan dalam mengambil kebijakan.
b.2. Sinkronisme hukum dan legitimasi
Dari penelitian yang dilakukan terlihat pandangan bahwa hakim badan peradilan administrasi dalam penyelesaian sengketa melakukan pengujian materiil, sehingga dalam banyak perkara telah memasuki wilayah hukum perdata dan kebijakan pemerintah. Karena itu timbal konflik hukum yang menurunkan tingkat legitimasi putusan.
b.3. Dapat menyelesaikan sengketa
Kuasa dari Gubernur dan kuasa DPRD Jawa Barat berkaitan dengan perkara yang diwakilinya mengemukakan:
“Kami tidak yakni sama sekali wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung menangani perkara kami, tetapi putusan itu dapat kami tarima karena telah memberi penyelesaian sengketa dan dapat menjadi landasan bertindak bagi kami”

Tidak jauh berbeda dengan pendapat diatas, seorang pejabat pada Pemerintah kota Bogor menjelaskan:
”putusan badan peradilan tata usaha negara telah menetapkan suatu putusan yang masuk akal, dan memberikan penyelesaian yang baik. Namun penyelesaiannya tidak harus harfiah. Yang terpenting tindak lanjut putusan itu dapat mengakhiri sengketa”

Putusan badan peradilan administrasi dipandang oleh tergugat telah dapat memberikan jalan bagi penyelesaian atau pengakhiran sengketa, walaupun ada sedikit keragu-raguan mengenai keabsahannya.
b.4. Kekuatan kepercayaan dan publisitas
Hal yang juga terungkap dari pendapat responden adalah masalah kepercayaan terhadap badan peradilan. Pejabat pada salah satu kantor instansi pertanahan menjelaskan dan disetujui oleh sebagian besar responden dari instansi pertanahan, dinyatakan sebagai berikut:
”Saya tidak mungkin melaksanakan putusan itu, karena instansi saya tidak jadi dimenangkan karena saya tidak jadi dimenangkan karfena saya tidak dapat menyediakan dana dalam jumlah tertentu, lalu saya bertanya dalam hati apakah pihak penggugat juga ditawarkan hal yang sama dan dia menyanggupinya? Saya menganggap putusan itu tidak mengikat instansi saya, karena tidak didasarkan pada hukum, melainkan kepentingan-kepentingan tertentu”.

b.5. Tanpa penyelesaian alternatif
Seorang pejabat pada instansi pemerintah daerah mengemukakan:
”Sebenarnya jika pengadilan mau mengawali penyelesaian sengketa sebagai fasilitator dialog atau perundingan antara pihak yang bersengketa sebagai sarana membangun komunikasi, dengan demikian dapat diketahui akar masalah yang menjadi pokok persengketaan untuk membuka peluang menemukan jalan keluar penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, dapat diharapkan persengketaan dapat diakhiri sampai disitu”

b.6. Tanpa kekuatan eksekutorial

Seorang staf pada instansi pertanahan mengemukakan :
”Bukankah masalah ini hanya masalah prosedur, bukan masalah substansi. Apalagi jika saya tidak melaksanakannya bukankah, pengadilan administrasi tidak dapat memaksa saya, karena badan peradilan administrasi tidak mempunyai instrumen pemaksa agar putusan-putusan ini dapat terlaksana”.

C. Tahap Tindak Lanjut
Sesudah melalui tahap informasi dan transformasi, pada tahap pelaksanaan pejabat pemerintah dihadapkan untuk mengambil sikap terhadap putusan. Pada tahap ini diambil keputusan bagaimana harus bersikap terhadap kewajiban yang dibebankan oleh putusan hakim peradilan administrasi. Jika dirumuskan dengan kalimat tanya, pada tahap ini persoalannya adalah: ”apa selanjutnya yang diperbuat pemerintah dengan putusan badan peradilan administrasi?”.
Sikap yang diambil Pemerintah dapat berupa: (1) menetapkan materi muatan putusan-putusan Yurisprudensi menjadi pijakan dalam bertindak dan menjadi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan instansi pemerintah atau sebaiknya mengabaikannya; (2) Sebagai pihak yang dikalahkan, menindaklanjuti atau mengabaikan kewajiban yang termuat dalam materi putusan peradilan administrasi.
EFEKTIVIKASI PENGAWASAN BADAN PERADILAN ADMINISTRASI

Data pada ”tahap pelaksanaan” menunjukkan bahwa pengawasan badan peradilan administrasi terhadap tindakan pemerintah belum sepenuhnya efektif. Hanya 32% (tiga puluh dua persen) putusan yang dapat dilaksanakan dengan baik, sisanya 68% (enam puluh delapan persen) putusan tidak dapat dilaksanakan dan dapat dikatakan belum memberikan konsekuensi positif dalam mengendalikan tindakan pemerintah dan penyelesaian sengketa administrasi.
Dari data pada ”tahap informasi” dan ”tahap transformasi” dapat diidentifikasi persoalan yang dihadapi pemerintah dalam menyikapi putusan badan peradilan administrasi yang bernilai Yurisprudensi dan putusan dalam perkara yang melibatkan langsung responden adalah :
1. Tidak terdapat kebijakan yang mengharuskan atau menganjurkan jajaran pemerintah dari sentra kekuasaan untuk mengikuti perkembangan dan menjadikan materi putusan Yurisprudensi badan peradilan administrasi menjadi landasan dalam bertindak dan mengambil kebijakan;
2. Terdapat masalah dalam pemahaman terhadap motivasi dan rancangan (design) penyelesaian sengketa;
3. Dalam upaya menyelesaikan sengketa hakim peradilan administrasi perlu melakukan pengujian yang lebih bersifat materiil (material review) dan menetapkan langkah yang harus diambil pemerintah dalam memberikan penyelesaian yang lebih pasti, sedang hakim administrasi dipandang tidak dapat menilai hak-hak perdata dan mengintervensi wewenang mengambil kebijakan pemerintah yang mengakibatkan timbulnya masalah sinkronisme hukum yang berujung pada menurunnya legitimasi putusan;
4. Putusan yang dapat memberikan penyelesaian sengketa memudahkan bagi pemerintah menindaklanjuti putusan dengan baik;
5. Kepastian hukum putusan badan peradilan administrasi yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilemahkan oleh upaya hukum perlawanan terhadap pelaksanaan putusan dan peninjauan kembali;
6. Rendahnya kepercayaan pihak pemerintah terhadap badan peradilan administrasi berakibat melemahnya kekuatan tekanan publisitas;
7. Tidak adanya penyelesaian alternatif yang dapat menumbuhkan kekuatan komunikasi;
8. Ketiadaan kekuatan hukum atau daya paksa dalam mengupayakan pelaksanaan materi putusan yang lebih pasti.
Sebagai upaya mencari penyelesaian terhadap persoalan-persoalan yang teridentifikasi tersebut, uraian berikut ini akan menelaah satu persatu masalah tersebut.
A. Absorbsi Kaidah Yurisprudensi
Dari rangkaian penjelasan pejabat atau kuasanya (responden), dapat ditangkap bahwa pejabat pada instansi pemerintah daerah dan pertanahan belum menjadikan norma putusan peradilan administrasi yang bernilai Yurisprudensi menjadi acuan dalam bertindak dan mengambil kebijakan atau dijadikan sebagai kebijakan tersendiri. Hal ini tidak kondusif untuk penciptaan penyelenggaraan pemerintahan yang layak, mengingat tindakan melalui keputusan yang melawan hukum dan sudah dinyatakan batal oleh badan peradilan administrasi kembali diterbitkan, dengan kata lain pemerintah kembali melakukan kesalahan yang sama. Keadaannya akan lain apabila pemerintah dapat menyerap kaidah Yurisprudensi peradilan administrasi, angka gugatan masyarakat terhadap pemerintah diperkirakan akan cenderung berkurang, karena kesalahan masa lalu tidak lagi dilaksanakan.
B. Sinkronisasi Yurisprudensi dan Kesadaran Hukum
Penyerapan Yurisprudensi dan pelaksanaan putusan terkait dengan pemahaman pihak yang diawasi terhadap putusan pengawas dalam hal ini putusan badan peradilan administrasi. Dari data yang berhasil dihimpun terungkap bahwa salah satu alasan yang dipakai untuk tidak melaksanakan materi putusan adalah bahwa motivasi dan teknis penyelesaian sengketa dalam putusan tidak dapat dipahami oleh pihak pemerintah.
Ini dapat saja terjadi karena antara pihak badan peradilan administrasi dan pihak pemerintah tidak terdapat persamaan persepsi, pangkal tolak dan kesadaran hukum. Komunikasi merupakan faktor yang menentukan keberhasilan dan kegagalan hukum. Putusan yang berhasil dikomunikasikan dengan baik akan memberikan hasil pemahaman yang baik, dan pemahaman yang baik akan memudahkan pihak yang terkait untuk menerima atau menolak putusan.
C. Penyelesaian Sengketa Yang Ligitimas
Penyelesaian sengketa menjadi fokus perhatian dalam perkembangan hukum administrasi akhir-akhir ini. Dari kenyataan terdapat kecenderungan putusan yang tidak dapat memberikan penyelesaian sengketa tidak ditindaklanjuti oleh pihak yang diwajibkan melaksanakannya, sebaliknya putusan yang memberi jalan penyelesaian cenderung ditindaklanjuti.
D. Kepastian Hukum Putusan Berkekuatan Hukum Tetap (In Kracht Van Gewijsde)
Sudikno Mertokusomo mengemukakan bahwa suatu putusan disamping harus bermanfaat juga harus mengandung kepastian hukum. Tanpa kepastian hukum akan timbul kegelisahan dan para pihak merasa terombang-ambing.
Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa. Karena itu pintu masuk untuk upaya ini hendaknya dipersempit, karena dapat memperlambat penyelesaian sengketa dan mengurangi kepastian hukum dari putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
E. Membangun Kepercayaan dan Tekanan Publisitas
Penegakan hukum merupakan tiang bagi tegaknya negara hukum Indonesia. Keberhasilannya harus dapat dipantau oleh semua pihak. Untuk kepentingan itu perlu diwajibkan kepada pihak pemerintah yang dibebani kewajiban melakukan follow up putusan badan peradilan administrasi untuk memberitahukan sikap dan tindakan yang telah diambilnya kepada pengadilan dalam tenggang waktu yang ditetapkan. Agar masyarakat mengetahui sikap pemerintah, perlu adanya catatan dalam suatu daftar pada kepaniteraan badan peradilan administrasi . Catatan ini terbuka terhadap siapa saja, karena masalah pelaksanaan putusan badan peradilan adalah bersikap publik bukan lagi masalah yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, catatan itu terbuka untuk diketahui umum dan secara berkala diterbitkan dan dibagikan atas biaya negara lepada instansi pemerintah dan masyarakat umum yang menaruh perhatian.
F. Dual Sistem Peradilan (Refleksif dan Refresif)
Kekuatan eksekutorial dalam melaksanakan putusan badan peradilan administrasi banyak dipertanyakan orang kemapuhannya. Hukum acara peradilan administrasi tidak mengenal adanya upaya paksa apabila putusan tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pemerintah.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya agar absorbsi dan pelaksanaan putusan pengendalian oleh badan pemerintah dapat berjalan dengan baik. Alternatif yang dapat dilaksanakan antara lain adalah dengan menggunakan kedua bentuk komunikasi antara pengawas dan yang diawasi yaitu “pengawasan refleksif” dan “pengawasan refresif”. Diadakan dual sistem dalam mekanisme penyelenggaraan peradilan dilingkungan badan peradilan administrasi.
1. Pengawasan Refleksif
Hakim pada badan peradilan administrasi tidak harus mengambil keputusan menurut sudut pandangnya sendiri. Oleh karena itu, dalam pengawasan penting adanya pola komunikasi alternatif yang dapat menyatukan persepsi antara pihak-pihak yang terlibat. Pola pengawasan refleksif dalam pelaksanaan pengawasannya tidak terlalu berusaha mempengaruhi tindakan pemerintah dengan cara paksa, tetapi dengan bertukar pikiran atau dialog. Gagasan ini berpijak bahwa mungkin saja putusan peradilan administratif tidak atau tidak sepenuhnya dilaksanakan bukan berarti bahwa pemerintah menolak putusan itu, mungkin saja putusan itu tidak dapat atau sulit dijalankan.
2. Pengawasan Refresif
Pola hubungan pengawasan pada pengawasan refresif adalah pengawasan yang bersifat kekuasaan atau vertikal. Pengawasan ini mengajarkan bahwa sanksi dan ancaman kerugian mengajarkan tekanan psikis dalam menekan pihak menindak lanjuti materi putusan, sebab apabila putusan tidak ditindak lanjuti maka dapat benar-benar direalisir secara paksa.
Pengawasan badan peradilan administrasi dapat dikategorikan kepada pengawasan refresif. Namun, pembuat undang-undang belum sampai hati memberikan wewenang yang lebih kuat kepada pengadilan yang dapat membuat tindak lanjut putusan menjadi lebih efektif.
KOMENTAR/TANGGAPAN

Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkenaan dengan materi/substansi dari buku Irfan Fachruddin yang berjudul ”Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah” yakni sebagai berikut:
1. Dari isi buku ini terlihat kesan bahwa sebagian besar putusan Badan Peradilan Administrasi yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) belum mendapat respons postif dari pihak pemerintah sehingga efektivikasi pengawasan badan peradilan administrasi terhadap tindakan pemerintah dapat dibangun dengan mengacu kepada Penetapan kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk itu Yurisprudensi menjadi dasar dalam bertindak dan mengambil kebijakan sehingga tidak terulang lagi kesalahan yang sama yang dilakukan oleh pemerintah sehingga dikemudian hari terjadi kecenderungan berkurangnya gugatan yang masuk kebadan peradilan administrasi.
2. Untuk membangun kepercayaan terhadap badan peradilan administrasi, dapat diupayakan dengan meningkatkan sumber daya manusia seutuhnya terutama kemampuan teknis peradilan, intelektualitas pada semua tingkat peradilan khususnya peradilan administrasi serta perlunya mempublikasikan putusan badan peradilan administrasi dan pelaksanaannya secara luas.
3. Perlu penggunaan dual sistem dalam cara pengawasan oleh badan peradilan khususnya peradilan administrasi yaitu pengawasan refleksif dan refresif, agar terdapat keseimbangan dalam penggunaan kekuatan komunikasi dan kekuatan hukum. Sehingga kewajiban hakim melaksanakan melaksanakan pengawasan melalui komunikasi intensif antara pihak pengawas dan pihak yang diawasi, serta sebaiknya ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang eksekutorial kepada badan peradilan administrasi untuk menetapkan paksaan terhadap pelaksanaan isi putusan seperti menetapkan uang paksa (dwangsom) kepada pejabat pemerintah yang tidak bersedia menindak lanjuti putusan sehingga semakin dipertegas kewajiban kepada pejabat pemerintah untuk melaksanakan putusan badan peradilan demi kepentingan pemohon.
4. Sudah semestinya buku Irfan Fachruddin direvisi karena masih mengacu pada Undang-Undang Lama yakni Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dan pada revisi selanjutnya memuat Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan demikian pasal-pasal yang telah diubah tetap dimuat disertai dengan perubahan rumusan pasalnya sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran, perbandingan akan persamaan dan perbedaan rumusan Pasalnya sehingga hal ini akan terlihat bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang.
DAFTAR PUSTAKA


Buku-Buku

Ateng Sjafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintah di Daerah, Citra Aditya Bakti, Bandung,1993.

Commisie Inzake Algemene bepalingen van administratiefrecht,Rapport inzake algemene bepalingen van administratief recht, samsom H.D Tjeenk Willing b.v. Alphen aan den Rijn,1984.

H.D.Van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratif Recht,Vuga, s’Gravenhage,1995.

Indroharto,Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta,1991.

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi, Alumni, Bandung,2004.

Kuntjoro Purbopranoto,Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi,Alumni, Bandung,1985.

M. Natta Saputra,Hukum Administrasi Negara,CV Rajawali, Jakarta,1988.

Muchsan,Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,1992.

Paulus Effendie Lotulung,Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti,Bandung,1993.

Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara,Rajawali Pers, Jakarta,2006.

Rochmat Soemitro,Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, Eresco, Bandung, 1991.

Roemijn H.J,Administratiefrecht Hand en Leerboek,Moorman’s Priodieke Pers N.V, Den Haag, 1934.

S.F.Marbun,Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,Liberty, Yogyakarta,1997.

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,Alumni, Bandung,1997.

Stroink F.A.M.& J.G.Steenbeek,Inleiding in het staats en administratief Rect.,Samson HD, Tjeenk Willing, Alpena an den Rijn,1985.


Sudikno Mertokusomo,Sejarah peradilan dan Perundang-undangannya Sejak Tahun 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia,Liberty, Yogyakarta,1983.

Utrecht E,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat – Universitas Padjadjaran Bandung, 1960.

Makalah

Bagir Manan, Peningkatan Fungsi Kontrol Masyarakat terhadap Lembaga legislative, Eksekutif dan Yudikatif, Makalah pada forum Orientasi dan Tatap Muka Tingkat Nasional Kosgoro di Cipanas-Cianjur,Tanggal 26 Juli 2000.

Djajoesman S,Kontrol dan Inspeksi,Makalah pada Sekolah Staf dan Komando Kepolisian, Lembang, Bandung.

Prajudi Atmosudirdjo,Masalah Organisasi Peradilan Administrasi Negara, Makalah Pada Simposium Peradilan Tata Usaha Negara BPHN, Binacipta, Bandung,1977.

Minggu, 07 Februari 2010

Sad Story

I see the hidden tears in your eyes
Eventhough you say nothing’s wrong, I know
It was very hard for you
Someone like who I am
Thank you very much for loving me
Crying and dreading by yourself
I’m regret like a fool
Chorus:
Are you listening to this song?
Can you hear my feelings?
Like leaving to a path you can’t turn back
The distance is far away
I love you, I will love you forever
I will remember you forever
Until we meet again in the next realm
So I won’t forget you
Someone like who I am
Thank you very much for loving me
Already our love is not meant to be
It passes, don’t make an effort

Undangan Menulis

Nomor : /H8.1.11/PS/2009
Perihal : UNDANGAN MENULIS PADA JURNAL KONSTITUSI
Lamp : 1 (satu) berkas


Yth.
Bapak/Ibu/Saudara .............


Di –
Tempat


Sehubungan dengan akan terbitnya Jurnal Mahkamah Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat edisi 1 tahun 2010 dengan Tema PEMILI kepala daerah, maka dengan ini kami mengundang Bapak/ Ibu untuk mengirimkan tulisan dengan tema dan format sebagaimana terlampir.


Bersama ini juga dilampirkan panduan penulisan.

Demikian undangan ini disampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya
diucapkan terima kasih.
Banjarmasin, 7 Februari 2010
Redaksi Pelaksana


Lies Ariany, SH,MH



n.b :
- Penyerahan tulisan kepada Ibu Lies Ariany, SH,MH atau Bp.Makki paling lambat tanggal 28 Februari 2010 secara langsung atau dikirimkan via email : liesa_fhunlam@yahoo.com atau liesa.pisces@gmail.com
- penulis yang tulisannya dimuat akan mendapatkan honorarium
Lampiran

Muatan Jurnal Konstitusi :

A.Tujuan
1. Merespon persoalan-persoalan hukum kontemporer khususnya yang berkaitan dengan konstitusi khususnya di tingkat daerah.
2. meningkatkan penyebarluasan gagasan, ide hukum dan konstitusi
3. meningkatkan diskusi publik melalui karya-karya ilmiah.

B.Tema Jurnal
Tema utama Jurnal Konstitusi Tahun 2019 yakni Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah. Tema ini dapat dielaborasi lebih lanjut, misalnya mengenai penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), implementasi putusan MK yang berkaitan dengan UU di bidang Pemilu, dan isu-isu hukum dan konstitusi lainnya yang berkaitan dengan Pemilu baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional

C.Format Penulisan
1.Naskah artikel ilmiah
- panjang 7- 15 halaman A4 dengan spasi 2 Times New Roman 12- naskah artikel ilmiah - sistematika: judul, nama pengarang, abstrak dalam bahasa Inggris, pendahuluan, pembahasan, kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka, biodata singkat penulis

2.Naskah hasil penelitian
- untuk naskah hasil penelitian diketik dengan panjang 10 -15 halaman A4 dengan spasi 2 Times New Roman 12
- sistematika: judul, nama peneliti, abstrak dalam bahasa Inggris, kata-kata kunci, pendahuluan, hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka, biodata singkat penulis

D.Ketentuan Lain
1.Naskah belum pernah diterbitkan di media cetak lain
2.kutipan dibuat dengan standar sistem footnote, contoh :
- Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der Rechtswetenschap, Alih Bahasa : Arief Sidharta, (Bandung : PT Alumni 2003). Hlm.7
- Tresna, Komentar HIR, Cetakan Ketujuhbelas, (Jakarta : PT.Pradnya Paramita, 2001), hlm.2008-2009.
3.Penulisan daftar pustaka sebagaimana contoh berikut :
- Jimly, Asshiddiqie, 2005. Sengketa Kewenangan antar lembaga Negara, cetakan pertama, Jakarta : Konstitusi Press.
- Prijono, Tjiptoherijanto, Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005
4.Naskah dilampiri dengan biodata, foto serta alamat e-amail penulis.

TELAAH DALAM BIDANG KEHUTANAN DI INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Oleh:
Lies Ariany
Abstrak
Dalam welfare state menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Ciri utama negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Sehingga bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Oleh karena itu, negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Kata Kunci: Kehutanan,good governance dan hukum administrasi negara
I. Pendahuluan
Perkembangan kehidupan bermasyarakat pada akhir-akhir ini ditandai dengan semakin kritisnya masyarakat dalam menanggapi berbagai masalah yang dihadapi, baik masalah kehidupannya sendiri maupun masalah penyelenggaraan pemerintahan. Fenomena ini menunjukkan terjadinya pergeseran nilai-nilai tradisional dalam masyarakat dari sikap yang semula pasif dan tidak akomodatif menjadi sikap aktif dan partisipatif. Pergeseran ini tentu saja tidak dapat diabaikan bagi pemerintahan, karena jika diabaikan akan menimbulkan konflik kepentingan yang akan berujung pada ketidakstabilan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Istilah good governance yang mulai popular sejak Indonesia memasuki era reformasi, yakni sejak tahun 1999 dilaksanakan berbagai program yang berkaitan dengan good governance. Dan lembaga yang mempunyai andil penting dalam hal ini adalah Bank Dunia dan PBB melalui UNDP yang membawa misi good governance di Indonesia.
Untuk itu perlu komitmen dari Badan atau pejabat tata usaha itu sendiri untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam menyelenggarakan Pemerintahan dan pembangunan dewasa ini dan dimasa mendatang. Perubahan sikap kearah positif melalui good governance segera ditindak lanjuti oleh pemerintah dengan menyiapkan format baru dalam pelaksanaan tugas pemerintahannya. Salah satu jawaban dalam rangka menjawab tantangan ini adalah pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance). Artinya agar penyelenggaraan pemerintahan ini menjadi penyelenggaraan yang bersih maka sebaiknya pemerintahan ini dijalankan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang mempunyai kemampuan terbaik dari setiap individunya.
Hal tersebut mengandung berbagai implikasi pada sistem dan proses penyelenggaraan negara, pada sistem dan proses administrasi negara, pada kesungguhan dan penyelenggara negara dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan negara kesatuan Republik Indonesia. Sudah tentu keberhasilan perjuangan tersebut tergantung dari sikap, orientasi dan kompetensi aparatur negara dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Konsep good governance pemikirannya apalagi penerapannya merupakan suatu proses. Dalam pemikiran good governance mempunyai tiga sub domain yaitu Pemerintah, Sektor swasta dunia usaha dan pengelolaan sendiri oleh organ-organ masyarakat.
Terkait dalam bidang kehutanan maka dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokok hutan. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya, yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin. Sehingga perlu dibuat suatu aturan hukum yang jelas terutama dalam bidang perizinan yang merupakan pekerjaan yang secara langsung berhubungan dengan rakyat.
Di bidang kehutanan maka Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Pemberian izin tersebut dituangkan dalam bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang lazim di sebut “beschikking”.
Sebuah KTUN dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memperhatikan kepentingan umum dan kepentingan individu. Hal ini dapat tercapai apabila diterapkannya prinsip good governance.
Berbicara tentang perizinan maka berhadapan dengan prosedur mengajukan izin, syarat-syarat izin, pihak yang berwenang memberikan izin. Semuanya itu terangkum dalam sistem perizinan sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan.
II. Pembahasan
a. Pengaturan Dalam Bidang Kehutanan
Dalam perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran negara hukum yang dianut oleh negara di dunia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Dalam welfare state menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Ciri utama negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya.
Sebagaimana tersebut dimuka, aparat negara atau penyelenggara negara adalah merupakan sarana bagi negara untuk mewujudkan tujuannya. Tujuan utama dari negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia adalah perwujudan kesejahteraan masyarakat yang merata, yang mana dalam teori kenegaraan, negara yang demikian ini disebut negara yang bertipe kesejahteraan (welfare state type). Hal ini ditunjukkan dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945.
Seiring dengan negara kesejahteraan (welfare state) maka hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya yang wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya merupakan amanah yang harus diurus dan dimanfatkan dengan baik. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan bangsa Indonesia dan karenanya harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Dalam suatu negara hukum setiap tindakan hukum pemerintahan selalu harus didasarkan pada asas legalitas atau harus berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku, artinya tindakan pemerintah itu pada dasarnya adalah tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dalam rangka mengatur dan melayani kepentingan umum yang dikristalisasikan dalam ketentuan undang-undang yang bersangkutan.
Pasal 33 ayat (3)Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemudian Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atribusikan kedalam Undanga-Undang No. 41 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Menurut Ridwan HR ketentuan undang-undang itu melahirkan kewenangan tertentu bagi pemerintah untuk meelakukan tindakan hukum tertentu. Sebagaimana ketentuan Pasal 33 (3) UUD 1945 maka Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, sehingga dapat dipahami bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Pembuatan dan penerbitan ketetapan izin merupakan tindakan hukum pemerintahan. Sebagai tindakan hukum, maka harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan pada asas legalitas. Tanpa dasar wewenang, tindakan hukum itu menjadi tidak sah. Terkait dengan bidang kehutanan maka kewenangan ini melekat pada Pemerintah Pusat. Kemudian kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat tersebut dilimpahkan kepada Pemerintah daerah seperti tertuang pada Pasal 66 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Pelimpahan wewenang tersebut dalam hukum administrasi negara dapat bersifat delegasi atau mandat.
Untuk melihat sifat pendelegasian wewenang tersebut apakah sifatnya delegasi atau mandat tergantung dari beberapa hal: (1) prosedur pelimpahannya; (2) tanggung jawab dan tanggung gugatnya; (3) kemungkinan dipergunakannya wewenang-wewenang itu.
Di tinjau dari prosedur pelimpahannya, pada delegasi pelimpahan wewenang terjadi dari satu organ pemerintah kepada organ pemerintah yang lain dilakukan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan pada mandat pelimpahan wewenang yang terjadi umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali di larang secara tegas. Ditinjau dari segi tanggungjawab dan tanggung gugatnya, pada delegasi tanggungjawab dan tanggung gugat beralih lepada penerima delegasi (delegataris), sedangkan pada mandat tetap berada pada pemberi mandat (mandans). Kemudian dari segi kemungkinan pemberi wewenang kehendak menggunakan kembali wewenang tersebut, pada delegasi pemberi wewenang (delegan) tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi sedangkan pada mandat pemberi wewenang (mandans) setiap saat dapat menggunakan wewenang itu.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan antara delegasi dan mandat di atas, penulis berpendapat bahwa pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat lepada Pemerintah Daerah adalah bersifat pendelegasian.
Pemanfaatan kawasan hutan maka ini diartikan sebagai usaha untuk menjadikan kawasan hutan dapat memberikan kegunaan dan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan (selanjutnya disingkat UU Kehutanan) pengaturannya terdapat di dalam pasal 23 sampai dengan pasal 37.
Tujuan pemanfaatan kawasan hutan itu sendiri adalah untuk memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pada dasarnya tidak semua kawasan hutan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, tetapi ada beberapa kawasan hutan yang ditetapkan dalam UU Kehutanan yang memperbolehkan memanfaatkan kawasan hutan.
Kawasan hutan yang tidak diperkenankan untuk dimanfaatkan secara optimal adalah:
1. Hutan cagar alam; yakni kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan dan atau satwa serta ekosistemnya, yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
2. Zona inti kawasan taman nasional; adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan oleh aktivitas manusia.
3. Zona rimba kawasan taman nasional; adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti.
Sedangkan kawasan hutan yang dapat dimanfatkan secara optimal,diantaranya adalah:
1. Kawasan hutan lindung;
2. Kawasan hutan produksi;
3. Kawasan hutan untuk tujuan khusus;
4. Kawasan hutan hak;
5. Kawasan hutan adat.
Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin, yakni:
1. Pemberian izin pemanfaatan kawasan;
2. Pemberian izin pemanfaatan jasa lingkungan;
3. Pemberian izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemberian izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu;
4. Pemberian izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan hutan kayu.
Dalam rangka pemanfaatan hutan di Indonesia maka sebagai aspek yuridis maka bagi pemegang izin diberikan Hak Penguasaan Hutan dan Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri.
Pertama, dalam Hak Pengusahaan Hutan pada hakikatnya hak pengusahaan hutan merupakan hak untuk mengusahakan hutan alam alam di dalam suatu kawasan hutan, yang meliputi kegiatan: penebangan kayu, peremajaan dan pemeliharaan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan.Oleh karena itu, setiap perusahaan yang bergerak di bidang Hak Pengusahaan Hutan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Ada empat tahap yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk mendapatkan izin Hak Pengusahaan Hutan:
1. Pengajuan permohonan oleh perusahaan, pada tahap ini pemimpin perusahaan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri Kehutanan sesuai dengan formulir yang telah ditentukan.
2. Analisis Permohonan, Setelah Menteri Kehutanan menerima surat permohonan dari pemohon beserta persyaratannya, selanjutnya Menteri Kehutanan menyampaikan hal ini kepada Tim Pertimbangan Hak Pengusahaan Hutan untuk melakukan analisis terhadap kelayakan permohonan yang diajukan.
3. Persetujuan permohonan dan pelaksanaan survei, berdasarkan saran dan pertimbangan dari Tim Pertimbangan Hak Pengusahaan Hutan dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja Menteri Kehutanan putusan menyetujui atau menolak permohonan tersebut.
4. Penetapan Izin Hak Pengusahaan Hutan,ini diberikan apabila perusahaan telah memenuhi semua tahapan sebelumnya dan selanjutnya Penetapan Izin Hak Pengusahaan Hutan oleh Menteri Kehutanan.
Prosedur pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) memerlukan proses yang panjang. Ini dimaksudkan supaya perusahaan yang bersangkutan dapat melaksanakan hak dan kewajiban secara sungguh-sungguh sebagaimana yang tercantum dalam penetapan izin Hak Pengusahaan Hutan.
Kedua, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) adalah hak untuk mengusahakan hutan produksi yang kegiatannya mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengolahan dan pemasaran. Untuk prosedur dan syarat-syarat izinnya sama dengan prosedur dan syarat-syarat pemberihan izin Hak Pengusahaan Hutan.
Apabila diperhatikan dalam prosedur pemberian HPH dan HPHTI maka secara yuridis formal momentum beroperasinya perusahaan tersebut sejak diterbitkannya KTUN dalam hal ini Surat Keputusan Menteri Kehutanan,
Selain diberikan hak pemanfaatan, pemegang izin juga harus bertanggung jawab atas segala macam ganggungan terhadap hutan dan kawasan hutan yang dipercayakan kepadanya.
Dan untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan, yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan akibat ulah manusia . Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, maka Pemerintah wajib melakukan pengawasan.Dengan demikian bagi Pemerintah maka izin suatu alat dengannya pemerintah dapat mengawasi segala tindakan penerima izin sesuai dengan kesepakatan atas izin yang diperolehnya. Sedangkan bagi pemegang izin, izin yang telah diperolehnya akan memberikan perlindungan baginya dalam melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan kesepakatan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin itu sendiri.
Terdapat dua pengawasan dalam bidang kehutanan yaitu: pertama, pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan kedua, Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Oleh karena itu, mekanisme Perizinan dan izin yang diterbitkan adalah untuk kepentingan dan pengendalian pengawasan administratif yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi keadaan/kondisi. Dengan demikian, perizinan merupakan limitasi kegiatan interaksi antara pemerintah dan masyarakat yang di dalamnya terdapat kepentingan strategis,politis dan normatif pemerintah dalam mencapai tujuan nasional.
b. Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam Pengaturan Perizinan di Bidang Kehutanan
Komitmen dari pemerintah untuk melaksanakan good governance pernah dikemukakan dalam pidato 16 Agustus 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada waktu itu, good governance diterjemahkan dengan pengelolaan yang baik.
Mengenai good governance mengarah pemerintahan yang bersih, atau clean government Seringkali juga mengarah pada pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Pengertian dari good governance menurut Bintoro Admidjojo :
“Suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan, pengelolaan perubahan masyarakat, pengelolaan pembangunan”.

Sedarmayanti mengatakan good governance:
“Merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service disebut governance (pemerintah atau pemerintahan), sedangkan praktek terbaiknya disebut “good governance” (kepemerintahan yang baik)”.

Nico Ardianto mengartikan “good governance sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik”. Dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu dengan prinsip-prinsip dasar good governance.
Sedangkan World Bank mendefinisikan good governance :
“Sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid serta bertanggung jawab serta sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran, serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha”.

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini maka di dapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan prinsip-prinsip good governance.
Menurut UNDP, good governance merupakan kondisi terjadinya hubungan sinergis dan konstruktif antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Berdasarkan definisi ini UNDP mengajukan karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagai berikut:
1. Participation,Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
2. Rule of Law, Hukum dilaksanakan tanpa perbedaan.
3. Transparancy, dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
4. Equity,Kesetaraan dimana semua warga negara baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
5. Responsiveness, lembaga dan proses harus mecoba melayani stakeholders.
6. Consensus Orientation, good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.
7. Effectiveness and efficiency, proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders.
9. Strategic Vision, Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.
Izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret.Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa dan perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan. Hal ini berarti lewat izin dapat diketahui bagaimana gambaran masyarakat adil dan makmur dapat terwujud. Ini berarti persyaratan-persyaratan yang terkandung dalam izin merupakan pengendali dalam memfungsikan izin itu sendiri.
Secara konstitusional, UUD 1945 dalam bagian Mukaddimah-nya telah dengan tegas mencantumkan bahwa salah satu tugas utama para the founding father ketika memproklamirkan negara Republik Indonesia antara lain adalah “memajukan kesejahteraan umum”. Petikan penggalan amanat konstitusi tersebut secara implisit mengisyaratkan, adanya political wiil yang jelas oleh para pengambil kebijakan (the king maker) terutama pemerintah untuk berupaya semaksimal mungkin melayani segala kebutuhan masyarakat tanpa unsur diskriminatif. Administrasi negara haruslah mengimplementasikan prinsip-prinsip good governance, sehingga tindakan administrasi negara tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat, pihak swasta dan administrasi negara itu sendiri.
Semestinya pemerintah menjadikan perizinan sebagai instrumen yang membantu melakukan monitoring dan kontrol dalam pembangunan yang dilaksanakan diwilayahnya.Karenanya cukup beralasan kalau dikehendaki agar dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan perizinan maka diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam kaitannya dengan pengurusan hutan maka pengelolaannya hanya akan berhasil menunjang pembangunan nasional jika administrasi negara menjalankan fungsinya secara efektif dan terpadu. Untuk itu dalam usaha menjamin, melindungi dan mengamankan fungsi hutan maka di bidang kehutanan secara teoritis telah dimasukkan prinsip-prinsip good governance seperti prinsip participation, Rule of Law, Transparancy Consensus Orientation ke dalam asas penyelenggaraan kehutanan sebagaimana Pasal 2 UU Kehutanan:
”penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan”.

Ketentuan di atas menegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus memberi manfaat bagi kemakmuran rakyat yang sejalan dengan negara kesejahteraan (welfare state), dan pemanfaatan hutan tersebut harus memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan, serta memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat oleh karena itu dalam pemberian izin pemanfaatan hutan harus di cegah terjadinya praktek-praktek monopoli, monopsoni, oligopoli dan oligopsoni.Terkait pula dengan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat serta asas keterpaduan dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain dan masyarakat setempat.
Pada masa Orde Baru sistem perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang sekarang dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), hanya dapat diberikan melalui pengajuan permohonan kepada Menteri yang mengurusi bidang kehutanan, dan dalam praktiknya pemerintah memberikan prioritas kepada sekelompok tertentu yang pada akhirnya seluruh kegiatan usaha sehingga mekanisme perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu sangat berbasis pada kekuasaan birokrasi dan kekuatan bisnis. Bahkan pemohon izin cukup hanya mengajukan permohonan dengan dengan mengisi surat permohonan yang telah disiapkan formatnya oleh pemerintah, serta dapat menunjuk sendiri areal hutan yang diminati.
Hal ini dikarenakan lambat dan buruknya kualitas pelayanan khususnya di bidang perizinan sehingga muncul istilah ”adul (ada duit urusan lancar)”, persepsi ganda dari Pemerintah pada masa Orde Baru tersebut yang menjadikan instrumen perizinan sebagai ”pengumpun dana” dan keberhasilan pembangunan di ukur dari jumlah izin yang dikeluarkan yang sebenarnya berdampak buruk bagi pembangunan di Indonesia.
Berkaca dari pengalaman di zaman Orde Baru maka prinsip good governance khususnya prinsip keterbukaan belum dapat diterapkan oleh Pemerintah sepenuhnya begitu pula halnya dengan prinsip Equity atau kesetaraan, hal ini terlihat dari pemberian prioritas kepada pihak-pihak tertentu.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam bidang kehutanan telah terjadi onrechtmatige overheidsdaad karena Pemerintah telah menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dengan menguntungkan sekelompok orang saja, padahal sebagai penyelenggara negara maka Pemerintah mengemban kewajiban yang lebih besar lagi yakni mensejahterakan rakyat Indonesia pada umumnya.
Prinsip selanjutnya dari good governance adalah akuntabilitas, yang berarti pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Jika dikaitkan dengan perizinan di bidang kehutanan maka prinsip ini terkandung dalam pasal 49 dan 50 UU Kehutanan yang dengan jelas mengatur tanggung jawab izin konsesi atas terjadinya kebakaran hutan dan larangan melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan di dalam areal kerjanya.
Namun dalam kenyataan yang terjadi di lapangan prinsip-prinsip dari good governace belum dapat diimplementasikan sepenuhnya karena hutan di Indonesia adalah sektor yang paling sering mendapat eksploitasi berlebihan.Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,6 juta hektar hingga 2 juta hektar pertahun dan Walhi mencatat 96,5 juta hektar atau 72 persen dari 134 juta hektar hutan tropis Indonesia telah hilang, sehingga hutan yang tersisa tinggal 37,5 juta hektar.
Kerugian yang di derita akibat kerusakan hutan 1,6 juta hektar pertahun menurut Menteri Kehutanan yang pada waktu itu di jabat oleh Muhammad Prakoso adalah sangat fantastis mencapai Rp 30,42 triliun pertahun.
Terkait pula dengan prinsip rule of law maka data dan informasi yang juga dikoleksi oleh Walhi melalui media massa terkait penegakkan hukum lingkungan untuk kasus kebakaran hutan/lahan yang pelakunya oleh pemegang HPH selama kurun 2001-2006 menyebutkan sekitar 10 kasus pembakaran hutan/lahan yang diproses hukum dan dibawa kepengadilan. Artinya hanya 0,1 persen saja penegakkan hukum terhadap 178 nama perusahaan yang di duga/terindikasi melakukan pembakaran hutan/lahan. Sehingga terlihat masih rendahnya keseriusan penegakkan hukum. Hal ini terjadi pula pada kasus pencurian kayu dimana pemerintah belum berhasil menangani kasus illegal logging yang semakin ”merajalela”.
III. Kesimpulan
Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, sehingga dapat dipahami bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Dalam kaitannya dengan pengurusan hutan maka pengelolaannya hanya akan berhasil menunjang pembangunan nasional jika administrasi negara menjalankan fungsinya secara efektif dan terpadu. Untuk itu dalam usaha menjamin, melindungi dan mengamankan fungsi hutan maka di bidang kehutanan secara teoritis telah dimasukkan prinsip-prinsip good governance seperti prinsip participation, Rule of Law, Transparancy Consensus Orientation ke dalam asas penyelenggaraan kehutanan. Dalam tataran normatif telah diterapkan prinsip-prinsip good governance dalam perizinan di bidang kehutanan namun pada kenyataannya belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.

Daftar Pustaka
Buku

Abrar Saleng.2001.Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara: Kuasa Pertambangan Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara.UII Press. Yogyakarta.

Ateng Syafrudin.Perizinan Untuk Berbagai Kegiatan.Makalah tidak dipublikasikan.

Bintoro Tjokroamidjojo.2000.Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan.UI Press. Jakarta.

Nico Andrianto.2007.Good e-Government: Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui e-Government.Bayu Media Publishing.

Ridwan HR.2006.Hukum Administrasi Negara.Raja Grafindo Persada.Jakarta.

Salim.2004.Dasar-Dasar Hukum Kehutanan.Sinar Grafika.Jakarta.

Sedarmayanti.2003.Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah: Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Restrukturisasi dan Pemberdayaan. Mandar Maju.Bandung.

Soehino.1884.Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan.Yogyakarta: Liberty.

Makalah, Akses Internet dan Koran

----,Potret Advokasi Ekologis Vis a Vis Kejahatan Korporasi. http: // www . dephut .go .id / intranet/inprof/ev.daerah.htm.diakses 24 Juni 2006.

Indonesia Corruption Watch.2004. Mekanisme Pemberian IUPHHK Melalui Penawaran Dalam Pelelangan. Makalah.


Media Indonesia.18 Maret 2006.Indonesia Alami Kerusakan Hutan Tercepat Di Dunia.

Sjachran Basah.1995.Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi.Makalah pada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan di Fakultas Hukum Unair. Surabaya.