Sabtu, 17 Juli 2010

Antara Pajak, Gayus dan Gerakan Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak

Oleh Lies Ariany


Kasus yang melibatkan Gayus Halomoan Tambunan seorang Pegawai Negeri Gologan IIIA bagian Penelaah Keberatan Pajak atau Banding Perorangan atau Badan di Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut makelar kasus dana pajak senilai Rp 24,6 miliar telah merusak citra Ditjen Pajak dan memunculkan kekecewaan dikalangan masyarakat sehingga turut mencuatkan aksi di jejaring sosial facebook yang menyuarakan 1 Juta Gerakan Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak.
Apabila akhirnya masyarakat mempunyai tanggapan seperti itu akan menimbulkan efek buruk bagi pelaksanaan pembangunan karena pajak berfungsi sebagai sumber-sumber keuangan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Mencermati wacana yang berkembang di masyarakat sekarang maka pajak perlu mendapatkan perhatian serius, supaya pajak menjadi milik bersama yang dimotori oleh negara dan rakyat. Kalau sampai Gerakan Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak meluas dikalangan masyarakat maka akan turut membahayakan negara karena hal yang sulit terbantahkan bahwa kontribusi besar dari pajak sebagai salah satu sumber pembiayaan yang sangat potensial karena APBN kita tidak cukup hanya mengandalkan sumber dana dari hasil kekayaan alam, maupun penghasilan non pajak lainnya.
Pajak sendiri dipahami sebagai sumbangan paksaan dari penguasa yang digunakan untuk memperoleh uang atau pemasukkan sehingga perlu diatur menurut hukum. Dasar Konstitusional pemungutan pajak yakni Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Konsekuensi dari bunyi pasal tersebut memberikan pemahaman bahwa negara memiliki kewajiban membuat aturan hukum yang berbentuk peraturan perpajakan. Aturan hukum dibidang perpajakan yang dibuat oleh negara berdasar prosedur yang telah ditetapkan UUD 1945 akhirnya melahirkan hukum pajak nasional.
Kerelaan rakyat untuk membayar pajak sesungguhnya bagian dari komitmen rakyat untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Memang dapat dipahami bahwa pajak merupakan beban rakyat sehingga dapat dimaklumi jika dalam batas-batas tertentu rakyat kurang mempercayai pemerintah lagi karena dalam praktek memunculkan penyelewengan, korupsi dan manipulasi. Ketertutupan, elitis dan manipulatif dalam pengelolaan pajak selama ini menurunkan kepercayaan dari rakyat. Sebagai paksaan dari negara maka rakyat harus menunaikan kewajiban membayar pajak sementara disisi lain negara tidak jujur dan terbuka dalam menggunakan dan mengelola pajak.
Penyelewengan terjadi di bidang perpajakkan bersumber pada kuatnya syahwat dari pemegang kekuasaan untuk mendapatan sumber-sumber kekayaan dengan jalan pintas dan menghalalkan segala cara sehingga mengabaikan semangat moral dan etik dalam mengelola uang negara. Ulah-ulah seperti inilah yang membuat negara bangkrut. Negara pun hampir kehilangan denyut nadinya dalam melaksanakan pembangunan akibat penurunan moral bangsa yang dilakukan pemegang kekuasaan yang menjadikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik.
Sebenarnya melalui pajak terjalin ikatan antara rakyat dan negara, karena pajak menjadi sarana komunikasi antara rakyat yang mempunyai kelebihan harta dengan mereka yang nantinya akan memperoleh keadilan dibidang ekonomi melalui sarana negara sehingga terjadi pemerataan pembangunan, rakyat pun menjadi bagian dari pengelolaan negara. Ikatan yang terjalin karena negara dapat terus melaksanakan pembangunan berkat rakyat dan rakyat pun membutuhkan negara untuk mengatur dan mengelola kehidupan rakyat agar lebih sejahtera dan ini sejalan dengan prinsip welfare state (negara kesejahteraan). Sebagai negara yang mengutamakan kepentingan umum maka negara sebagai organisasi tertinggi berwenang menentukan arah kebijakan berbagai bidang kehidupan bangsa.
Di tengah maraknya Gerakan Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan bisa menggaet pertumbuhan wajb pajak menjadi 20 atau 25 juta wajib pajak dalam 2 hingga 3 tahun kedepan. Jumlah tersebut naik dibandingkan total wajib pajak saat ini yang mencapai sekitar 16 juta wajib pajak. Untuk mengurangi ketegangan rakyat yang antipati terhadap kinerja pemerintah dan untuk meningkatkan perolehan pajak sesuai dengan yang telah ditargetkan maka perlu kiranya diterapkan pola kerja dalam bidang pajak diantaranya prinsip keadilan dalam pemungutan pajak sehingga wajib pajak dikenakan pajak sesuai dengan standar secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, kemudian Ditjen Pajak harus memungut pajak sesuai dengan ketentuan yuridis dan terakhir transparansi dalam penggunaan uang pajak karena sebagai sumber pembiayaan publik yang berasal dari rakyat, maka pajak harusnya dikelola menurut ukuran publik dimana rakyat diberi kebebasan untuk mengetahui dan mengontrol jalannya pembangunan yang dibiayai dari uang pajak.
Pajak sebagai uang yang dikumpulkan dari rakyat, maka sudah sewajarnya negara mengembalikan uang tersebut untuk kepentingan rakyat. Hal ini kiranya sejalan dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga kekuasaan negara dalam memungut pajak harus dikembalikan kepada rakyat apalagi wajib pajak tidak pernah mendapatkan kontra prestasi secara langsung dari pajak yang telah dibayarkan. Selama ini rakyat sebagai pembayar pajak hanya diberi beban untuk menunaikan tugasnya menyetorkan uang pajak kepada negara sementara pemanfaatan uang pajak tersebut untuk apa tidak pernah diketahui oleh mereka yang membayar pajak.
Sebetulnya tanggal 31 Maret adalah batas waktu terakhir bagi wajib pajak pribadi untuk menyerahkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan (PPh) dan bertepatan dengan hari itu pula Gayus Halomoan Tambunan di bawa kembali ke tanah air setelah berhasil di tangkap di Singapura. Dua moment itu merupakan hal yang tepat untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak. Namun apakah moment tersebut mampu mengeliminir Gerakan Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak? Apakah moment tersebut juga mampu mengungkapkan makelar kasus yang tengah membelenggu penegakkan hukum kita? Wallahu Alam Bissawab.

Mencermati Sistem Multi Partai di Indonesia

Mencermati Sistem Multi Partai di Indonesia
Oleh Lies Ariany


Demokrasi adalah bentuk penyelenggaraan pemerintahan terbaik dari yang terburuk (the best among the worst). Ungkapan itu muncul pada saat membandingkannya dengan bentuk-bentuk penyelenggaraan lainnya karena di dalam demokrasi terdapat prinsip-prinsip liberte (kebebasan), egalite (egalitarianisme) dan fraternite (kebersamaan).
Terwujudnya pemerintahan demokratis merupakan cita-cita semua bangsa termasuk Indonesia. Namun upaya tersebut akan menjumpai suatu persoalan belum jelasnya mengenai tolok ukur yang bersifat universal untuk menilai apakah suatu pemerintahan itu dikategorikan sebagai pemerintahan yang demokratis atau tidak. Terlepas dari semua itu, pemahaman dan perdebatan mengenai demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat tidak pernah berhenti. Dalam artian, belum pernah seorang pun dapat atau mampu mengungkapkan isi atau muatan demokrasi secara lengkap.
Tidak dapat dipungkiri, kalau parpol adalah sebuah institusi yang esensial yang ada dalam demokrasi yang menjadi penopang kukuhnya bangunan demokrasi itu sendiri. Karena memang kita belum bisa menemukan sistem yang lebih baik dalam kehidupan demokrasi modern kecuali dengan parpol. Namun jika bercermin pada pelaksanaan demokrasi di negara kita melalui parpol yang ada terlihat jelas bahwa selama orde baru demokrasi di Indonesia telah terpasung. Akibatnya anggota masyarakat kurang terbiasa dengan tingkah laku dan mekanisme demokrasi.
Untuk menjamin agar semua perangkat politik dan kehidupan kemasyarakatan berdaya, perlu pemulihan demokrasi. Melalui demokrasi dapat ditumbuhkan sikap bertanggung jawab. Tanpa demokrasi, perangkat-perangkat politik dan sosial akan lumpuh, tidak berdaya karena tidak ada kebebasan dan keterbukaan.
Seiring dengan tumbangnya era Orde Baru maka terlihat bahwa parpol bermunculan bagaikan cendawan dimusim hujan. Ini merupakan awal yang bagus bagi pemulihan demokrasi di Indonesia yang membawa harapan dan pencerahan bagi kemajuan kehidupan bernegara. Dimuai pada pemilu 1999 ada 48 parpol yang ikut pemilu, pada pemilu 2004 ada 24 parpol yang ikut dalam pemilu sedangkan pada pemilu yang terakhir tahun 2009 ada 38 parpol yang ikut bertarung ditambah dengan 6 parpol lokal Aceh.
Dengan banyaknya jumlah parpol sesungguhnya kita melihat begitu mudahnya untuk mendirikan sebuah parpol di Indonesia, inilah alam demokrasi sehingga jika dilihat dari segi kebebasan hal ini memang yang ideal bagi suatu bangunan demokrasi karena siapapun bisa untuk mendirikan parpol. Demokrasi sendiri memberikan kebebasan kepada warganegara untuk berorganisasi, mendirikan parpol dan mengemukakan pendapat. Dalam demokrasi, parpol bisa berkembang secara alami, berkolaborasi dan bebas beroposisi terhadap kebijakan pemerintah.
Namun patut diingat bahwa banyaknya parpol sesungguhnya merupakan permasalahan tersendiri bagi bangsa kita karena berkaca dari realitas politik yang ada saat ini, banyaknya parpol di negeri ini tidak otomatis cerminan tingginya semangat berdemokrasi di kalangan elite politik. Kemudahan mendirikan parpol menstimulasi elite untuk berlomba memperebutkan kekuasaan tanpa pertimbangan matang.
Selain itu pula banyaknya parpol menjadi faktor penyebab tidak stabilnya pemerintahan karena tentu tidak mudah untuk menyatukan persepsi dari banyaknya parpol. Hal ini turut mempengaruhi kecepatan konsensus yang diambil di legislatif yang akan menyita banyak waktu untuk menghimpun berbagai kepentingan dan idealisme politik yang seringkali berdampak pada tertundanya berbagai kebijakan strategis. Dengan banyaknya parpol sulit untuk memperoleh dukungan absolut atas sebuah kebijakan, ini tidak sehat bagi kinerja pemerintahan dalam membuat kebijakan. Walaupun kebijakan tersebut sesungguhnya ditujukan dan untuk kepentingan rakyat. Apalagi dalam sistem pemerintahan presidensil yang dianut dinegara kita memerlukan kesolidan antara eksekutif dan legislatif karena efektivitas dari sistem pemerintahan presidensil sangat tergantung dari dukungan politik yang ada dilegislatif.
Kita patut belajar dari sejarah perkembangan bangsa dan negara, karena sudah seharusnya kita mengubah paradigma berpikir dalam memandang fungsi parpol. Melihat politik dari sisi kepentingan seharusnya hal yang simple, bukan lagi sesuatu hal yang rumit selama setiap kepentingan politik dari masing-masing Parpol bisa ‘diklasifikasikan” atau “disederhanakan” dengan jumlah sesedikit mungkin tetapi dengan kualitas dan kapasitas yang diperbesar.
Oleh karena itu adanya usulan untuk menyederhanakan jumlah parpol dengan memperbesar level parliamentary threshold (PT) dari 2,5 persen menjadi 5 persen patut kiranya dijadikan bahan pertimbangan. Kita bisa belajar dari berbagai negara di dunia, di mana mayoritas negara maju memiliki jumlah parpol sedikit. Mengingat jumlah parpol yang terlalu banyak menimbulkan kebingungan masyarakat sebagai pemilih dalam menentukan preferensi politiknya karena umumnya setiap parpol memiliki platform dan ideologi yang hampir sama. Dari banyaknya parpol dengan segala perbedaan pandangan dan aliran yang mereka usung jika ditelisik lebih jauh maka parpol yang ada saat ini dapat dikerucutkan menjadi kategori tertentu yakni partai beraliran nasionalis, sosialis, agamis dan marhaenis.
Menyederhanakan jumlah parpol melalui parliamentary threshold kiranya merupakan pilihan bijak karena idealnya jumlah parpol itu dalam kisaran 5-10 parpol saja. Kondisi ini mungkin saja menguntungkan parpol besar yang telah mapan, tetapi tidak sepenuhnya benar karena bagi parpol yang lebih kecil pun dapat melebur kedalam parpol besar sepanjang memiliki kesamaan platform dan tentunya tetap memiliki bargaining power dari akuisisi konstituen yang telah dimiliki selama ini. Selain itu, melalui penggabungan parpol turut membuka peluang bagi terakomodasinya kepentingan dari partai kecil jika bergabung dengan parpol besar, karena parpol yang besar lebih mampu, memiliki kekuatan dan mapan dalam melakukan penekanan dan kontrol terhadap pemerintah.
Guna mewujudkan kestabilan politik sesungguhnya penerapan sistem multi partai bukan menjadi jaminan bahwa masyarakat pasti akan memberikan suaranya, namun lebih pada kapasitas dan kemampuan dari parpol itu sendiri untuk merealisasikan janji-janjinya kepada publik. Asas demokrasi tercipta untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Jadi pendidikan politik bagi masyarakat merupakan hal yang tidak kalah pentingnya agar tumbuh kesadaran untuk menjadikan parpol sebagai tempat pembinaan dan penggodokan bagi para calon yang akan ‘ditawarkan kepada masyarakat pemilih.bukan sebaliknya untuk memberikan ruang bagi eksploitasi rakyat dan menjadikannya komoditas untuk meraih kekuasaan.