Kamis, 16 September 2010

Menyerap Aspirasi Rakyat

Oleh
Lies Ariany

Dalam negara demokratis atau yang berkedaulatan rakyat terdapat pemberdayaan rakyat, sehingga rakyat berkemampuan untuk menentukan hidup atau masa depannya sendiri. Oleh karena itu sistem politik atau pemerintahan yang di bangun seharusnya memberi kemampuan kepada rakyat untuk dapat mengarahkan dan mengontrol jalannya pemerintahan.
Sudah selayaknya memang selaku wakil rakyat di DPR harus mampu melibatkan rakyat dan memberi kesempatan bagi rakyat agar aspirasinya dapat terakomodir dalam setiap kebijakan. Sehingga suatu hal yang tepat memang apabila disediakan saluran atau media bagi partisipasi aktif rakyat dalam pembangunan demi mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Arti penting partisipasi itu sendiri pada intinya terletak pada fungsinya. Fungsi pertama adalah sebagai sarana swaedukasi kepada masyarakat mengenai berbagai persoalan publik. Dalam fungsi ini, partisipasi masyarakat tidak akan mengancam stabilitas politik dan seyogyanya berjalan di semua jenjang pemerintahan. Fungsi lain dari partisipasi adalah sebagai sarana untuk menampilkan keseimbangan kekuasaan antara masyarakat dan pemerintah sehingga kepentingan dan pengetahuan masyarakat dapat terserap dalam agenda pemerintahan.
Arti penting partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan dapat juga dilihat dari manfaatnya dalam meningkatkan kualitas keputusan yang dibuat karena didasarkan pada kepentingan dan pengetahuan riil yang ada dalam masyarakat. Dengan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berartisipasi dan menyalurkan aspirasinya juga bermanfaat dalam membangun komitmen masyarakat untuk membantu penerapan suatu keputusan yang telah dibuat. Komitmen ini merupakan modal utama bagi keberhasilan sebuah implementasi kebijakan. Mengingat fungsi dan manfaat yang dapat dipetik darinya, kini partisipasi tidak lagi dapat dipandang sebagai kesempatan yang diberikan oleh pemerintah tetapi justru sebagai hak masyarakat. Partisipasi dapat dianggap sebagai layanan dasar dan bagian integral dari local governance.
Suatu hal yang selayaknya bagi DPR untuk meningkatkan partisipasi rakyat agar sebanyak mungkin aspirasi yang ada di masyarakat di dengar dan di tampung dan direalisasikan dalam setiap kebijakan yang di buat. Hal ini sendiri telah dinyatakan dalam Pasal 71 huruf (s) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD bahwa “tugas dan wewenang DPR adalah menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat” serta Pasal 79 UU No. 27 Tahun 2009 yang menegaskan lebih lanjut bahwa kewajiban anggota DPR antara lain adalah: “(1) menyerap dan menghimpun partisipasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; (j) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan (k) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Namun yang jadi persoalan sekarang adalah amanat yang terkandung dalam UU No. 27 Tahun 2009 terutama menyangkut bagaimana menyerap aspirasi yang ada dimasyarakat belum mampu diterjemahkan secara konkrit oleh para wakil rakyat kita sehingga hal yang patut disayangkan bahwa cara yang dilakukan oleh DPR dalam menyerap aspirasi rakyat tersebut justru mencederai “perasaan rakyat”. Karena DPR ujung-ujungnya justru meminta tambahan anggaran yang nominalnya tidak tanggung-tanggung yakni 122 miliar atau Rp 200 juta perorang. Para wakil rakyat seakan buta akan penderitaan rakyat sekarang ditengah himpitan kemiskinan di tambah kebutuhan pokok yang terus membumbung sedang disisi lain lapangan pekerjaan yang semakin sempit.
Sesungguhnya persoalan sekarang bukanlah rumah aspirasi itu tetapi dana yang sangat besar jumlahnya yang harus dikucurkan. Kalau DPR mau mendirikan rumah aspirasi sesuai dengan Pasal 203 – 205 Tata Tertib DPR 2009 silakan saja rakyat tak akan menentang. Karena yang jadi permasalahan sesungguhnya adalah jumlah uang 122 miliar yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat secara langsung.
Dalih-dalih mau menyerap aspirasi rakyat tapi cara yang terjadi justru dengan adanya usulan “rumah aspirasi” tersebut malah semakin “menebalkan” kantong para anggota DPR itu sendiri. Inilah kegamangan yang terjadi di tubuh dewan yang terhormat tersebut tentang model penyerapan aspirasi yang ideal tanpa perlu membebani rakyat lagi.
Penulis yakin sepenuhnya walaupun dana 122 miliar tersebut berhasil digolkan tidak ada jaminan pasti yang dapat diberikan oleh para anggota DPR itu sendiri bahwa aspirasi rakyat mampu mereka realisasikan. Apalagi kalau kita amati tingkah polah para anggota DPR yang berjumlah 560 orang tersebut sebenarnya belum mampu sepenuhnya menunjukkan kalau mereka adalah wakil rakyat, tetapi lebih menunjukkan diri sebagai wakil dari parpol.
Seharusnya dalam upaya membangun pola hubungan antara DPR dengan rakyat adalah pola hubungan yang memberikan keuntungan bagi keduanya (resiprokal). Pola hubungan yang dimaksud adalah hubungan yang membuka akses seluas-luasnya bagi konstituen untuk menyampaikan seluruh aspirasi, persoalan serta kebutuhannya kepada anggota DPR. Sehingga tercipta suatu mekanisme pertanggungjawaban anggota DPR kepada rakyat yang telah memilihnya. Dengan demikian akan tercipta sistem tata pemerintahan yang berpusat pada rakyat (society center). Tata pemerintahan yang berpusat pada rakyat merupakan pilihan yang harus ditempuh untuk menjamin keberlanjutan demokrasi, pembangunan dan keadilan sosial.
Melalu pola hubungan resiprokal berarti mendorong proses belajar bersama, komunikasi yang seimbang dalam membahas persoalan publik, menjadikan kesepakatan rakyat sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan ditingkat politik formal dan memberikan ruang yang cukup bagi rakyat untuk mengontrol keputusan publik agar dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Mampukah para wakil rakyat kita melakukannya? Semoga saja.