Minggu, 22 Agustus 2010

Resensi Buku - Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara

Oleh Lies Ariany
Kalo bukan karena sekarang tengah hangat-hangatnya kasus Gayus mungkin aku gak bakalan kembali membaca salah satu koleksi bukuku yang berjudul “Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara” buku yang ditulis Edi Slamet Irianto-Syafruddin Jurdi.

Kini kucoba lagi merangkai setiap kata yang terurai, mencoba memahaminya dan menuturkan kembali dengan caraku hingga akhirnya kutuliskan resensi dari buku“Politik Perpajakan Membangun Demokrasi Negara”.

Tulisan ini khusus kupersembahkan buat Prof. Dr Sri Soemantri, SH karena beliau dalam mata kuliah ‘Politik Hukum’ pernah ngasih tugas membuat 10 Book Report dari buku yang telah beliau tentukan judulnya termasuk buku ini tapi karena bikin repot maka hanya 2 tugas yang kukerjakan yakni Book Report “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional- Soetandyo Wignjosoebroto dan Pluralisme Hukum Sebuah Pendekatan Interdisplin”. Kini setelah 2 tahun kemudian baru nyadar betapa bermanfaatnya buku ini untuk dipelajari. Setelah beli buku ini memang pernah kubaca tapi tak memberi kesan mendalam seperti saat ini apalagi buku ini ditulis oleh orang dengan basic ilmu politik. namun ternyata ilmu itu luas, seluas cakrawala dan dalam sedalam lautan hingga siapapun bisa melintasinya dan mengarunginnya tanpa memandang batasan ilmu apalagi banyak pemikiran-pemikiran dari buku ini yang sungguh menarik.

Dalam buku ini mencoba membangun gagasan bahwa pajak harus dikelola menurut standar dan aturan yang lebih terbuka dan demokratis karena karena selama ini pajak bersifat tertutup dan mengandung unsur manipulasi dan segala macamnya sehingga pajak belum sepenuhnya dapat menghasilkan keseimbangan sosial yang adil dalam masyarakat.

Produk UU yang menjadi pijakan dasarnya masih mengandung banyak kelemahan dan kontroversi yang akibat lanjutnya akan mematikan proses demokratisasi perpajakan itu sendiri. oleh sebab itulah bagian ini dihadirkan untuk memberi sejumlah gambaran dan harapan akan adanya demokratisasi perpajakan dalam konteksnya yang lebih khusus yaitu demokratisasi pengelolaan yang membuka ruang bagi warga negara untuk memperoleh informasi perpajakan.

Terkait dengan judulnya maka dalam buku ini menekankan pada aspek politik perpajakan yang mestinya diperhatikan agar kegunaan pajak dapat dikontrol, dievaluasi dan proses pengambilan kebijakan publik yang secara politik pula dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Politik perpajakan yang penting harus dilakukan secara terbuka agar rakyat mengetahui pemanfaatannya. Banyak dugaan yang berkembang dalam masyarakat, bahwa uang pajak telah diselewengkan oleh para pengelola pajak dan pengelola negara, sehingga pendistribusian pajak tidak maksimal, akibatnya banyak rakyat yang semestinya memperoleh “berkah” dari uang pajak justru malah menjadi “korban” dari pengelola pajak.

Dalam kondisi serba tak jelas, dimana lembaga pengawas resmi negara yang bertugas mengawasi berbagai penyimpangan, di mana kalangan kritis setelah masuk kekuasaan sulit untuk menahan diri dari melakukan “tindakan gelap” dan berbagai kelompok yang peduli lainnya terjebak dalam permainan politik yang kurang normal, kurang sehat, dan kurang memenuhi standar nilai yang dimiliki oleh budaya bangsa.

Kalau pajak dikelola menurut prinsip politik yang demokratis, maka sudah dapat diprediksi bahwa negara akan mampu memberikan keringanan kepada anak-anak yatim piatu, fakir miskin, dan mereka yang membutuhkan bantuan dari negara. Selama ini pajak tidak dikelola menurut aspek demokratis, karena itu pula banyak elite birokrasi terutama lingkungan birokrasi perpajakan pusat daerah yang menjadi Orang Kaya Baru (OKB) tanpa dipahami secara jelas asal perolehan kekayaan yang sangat mendadak itu. Padahal semua masyarakat tahu bahwa penghasilan Pegawai Negeri di Republik ini termasuk aparatur perpajakan masih berada dibawah untuk bisa hidup layak.

Memaknai politik perpajakan dalam konteks perubahan sistem politik belakangan ini tentulah penting untuk dilakukan agar pengelolaan pajak sesuai dengan prinsip politik yang demokratis. kalau sistem politik dan tata pemerintaha telah mengalami perubahan, maka sistem perpajakan yang demokratis harus segera direkonstruksi agar dapat menjawab tuntutan perubahan sebab perubahan terus mengalami kemajuan.

Politik pajak yang coba di bangun dalam buku ini adalah mendesain pajak yang berwajah sosial, berjiwa manusia, berpakaian demokrasi, berkacamata transparan dan selalu membawa kejujuran dan keadilan.

Minggu, 08 Agustus 2010

Merefleksikan Kembali Semangat Reformasi

Oleh Lies Ariany

Masih terekam jelas dalam memori bangsa ini tentang gerakan yang telah dibangun oleh mahasiswa, bahwa di tanggal 21 Mei 1998 telah terjadi peristiwa penting dalam sejarah perjalanan bangsa karena runtuhnya rezim Orde Baru. Runtuhnya kekuasaan Soeharto yang pada pertengahan tahun 60-an dianggap tokoh kharismatik dan konon pernah dinobatkan oleh sebuah majalah asing sebagai orang terkuat dan paling berpengaruh di Asia.
Soeharto harus menanggalkan kekuasaan yang telah digenggamnya selama 32 tahun karena gerakan dan kepeloporan mahasiswa dan kaum intelektul-terdidik saat itu untuk satukan suara, satukan tekad dan satukan tujuan. Gerakan mahasiswa saat itu diawali dari gerakan moral di kampus-kampus. Namun akhirnya suara mereka semakin nyaring gaungnya dan berhasil mentransformasikan gerakannya dalam kerangka student movement ke social movement yang berhasil membangun opini strategis dan menjadi milik masyarakat secara luas.
Saat itu reformasi membawa harapan bagi masyarakat melalui 4 tuntutan yang disuarakan, yakni (a) Amandemen UUD 1945, (b) Berantas praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), (c) Cabut paket 5 UU Politik yang dipandang menghambat perkembangan demokrasi, dan (d) Cabut Dwifungsi ABRI. Tuntutan yang diajukan tersebut ingin menggiring bangsa ini menuju perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sekarang saatnya kita mengevaluasi. Untuk itu diperlukan tolok ukur untuk menilai seberapa jauh keberhasilan atau kegagalan reformasi selama ini. Berhasil atau tidaknya gerakan reformasi dapat kiranya kita lihat dari seberapa jauh tuntutan-tuntutan reformasi mendapatkan respon positif dan telah dipenuhi bagi upaya perbaikan bangsa ini dalam memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai dengan tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan penyalahgunaan kekuasaan.
Jika kita memandang wajah bangsa ini, dari persoalan-persoalan yang terus membelit hingga hari ini kita sudah menemukan jawaban bahwa sesungguhnya Indonesia negara yang gagal menjalankan amanat reformasi, karena reformasi belum mampu menjawab persoalan bangsa sehingga tuntutan reformasi belum diikuti dengan langkah nyata dan kesungguhan pemerintah sehingga negara tidak bisa melayani kebutuhan pokok rakyatnya, negara tak bisa melindungi kekayaan yang di miliki dari pencuri yang hilir-mudik di depan matanya, tidak bisa melindungi diri dari pencuri kayu di hutan, ikan di laut, dan korupsi yang bertebaran di depan mata, masih lemahnya kerja aparat penegak hukum dalam penerapan dan penegakan hukum.
Seharusnya untuk menyelesaikan masalah bangsa ini, yang utama di reformasi adalah moral aparat penegak hukum, dengan moralitas yang tinggi maka kiranya mampu menerapkan akal sehatnya dalam penegakan hukum selanjutnya dapat meningkatkan komitmen aparat penegak hukum pada keadilan sehingga perbaikan hukum yang mencakup penegakan supremasi hukum yang berkeadilan, sistem hukum yang responsif, enforcement yang nondiskriminatif dan sistem peradilan yang independen dapat terwujud.
Haruskah ada Reformasi jilid II agar mampu membersihkan wajah negeri ini? ataukah perlu tindakan ekstrim dengan melakukan revolusi agar lahir orang-orang baru dengan semangat perubahan, semangat perbaikan? karena sesungguhnya reformasi belum mampu meredam nafsu busuk dari orang-orang yang bermoral rendahan yang haus akan uang dan kekuasaan.
Sebagai negara yang menempatkan hukum diatas segalanya sudah seharusnya pemegang kekuasaan dalam negara pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan pada hukum yang berlaku, seharusnya melalui amandemen UUD 1945 mencoba mewujudkan dan menjaga konstitusionalitas pelaksanaan kekuatan politik yang ada, dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, melalui sistem kontrol yang relevan dengan semangat reformasi yakni sistem kontrol yudisial.
Namun apa yang kita temui sungguh memilukan karena di negeri ini hukum bisa diperjualbelikan sesuai dengan keinginan orang, inilah jual beli yang teramat mahal karena sesungguhnya yang menjadi objeknya adalah keadilan itu sendiri. Pelaku yang terlibat pun tak tanggung-tanggung mulai dari pengacara, polisi, jaksa, panitera, hakim, orang-orang yang ditengarai dekat dengan aparat juga menjadi bagian konspirasi busuk. Mereka sesungguhnya orang-orang pintar memanipulasi hukum untuk kepentingannya.
Parah memang wajah hukum di negeri ini karena sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya penjaga keadilan justru tercoreng oleh oknum-oknum yang tanpa moral telah menodai rasa keadilan dengan merekayasa kebenaran dan kesalahan sesuai dengan pesanan asalkan ada uang. hukum yang seharusya jelas antara hitam dan putih justru tercampur memunculkan warna abu-abu sehingga sulit membedakan mana yang benar mana yang salah.
Maraknya markus akhir-akhir ini sesungguhnya bukan hal yang baru karena sebenarnya markus sudah lama ada tapi selama ini tangan-tangan hukum seakan tak mampu untuk menjamahnya hingga akhirnya markus-markus menjadi tumbuh subur dan terus berkembang. Markus hadir karena mereka dibutuhkan oleh orang-orang yang memang menginginkan hal itu.
Masalah bangsa yang terus menyelimuti bangsa ini kalau tidak cepat diatasi, bukan mustahil negeri ini akan menuju kepada failed state. Untuk itu mahasiswa bersama kaum intelektual selaku insan akademis perlu kembali memantapkan fungsi kampus sebagai pusat penggerak politik moral, pengawal pelaksanaan reformasi. Sehingga mereka diharapkan tetap berada pada garis dasar perjuangannya, yakni tetap menyuarakan seruan moral dalam kondisi apapun tidak hanya di tahun 1998 itu saja agar arah gerakan reformasi tidak melenceng dari tujuan semula.
Untuk mendukung perbaikan bangsa ini, dunia kampus tidak hanya dituntut mampu memerankan proses transfer of knowledge tapi juga transfer of value karena mahasiswa dengan stamina yang kuat, energi yang meletup-letup, didasari dengan idealisme yang masih murni kiranya dapat membangun gerakan untuk merubah wajah buruk bangsa ini. Mampukah kita bersama melakukan gerakan itu? why not, selama masih ada nilai-nilai moral yang kita junjung tinggi.

Cacat Moral Calon Kepala Daerah

Oleh Lies Ariany


Pemilukada merupakan isu sentral yang terus bergulir seiring dengan era reformasi dewasa ini, proses ini ideal ditujukan sebagai salah satu upaya untuk melakukan demokratisasi politik di level lokal, yang merupakan muara kebijakan desentralisasi dan otonomi. Bergulirnya gagasan untuk melaksanakan pemilihan langsung terhadap kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) oleh rakyat adalah pertanda telah bergesernya paradigma ketatanegaraan dari demokrasi representasi kearah demokrasi langsung.
Pelaksanaan pemilukada merupakan hal yang urgentie bagi pemantapan pelaksanaan desentralisasi teritorial di Indonesia yang dihubungkan dengan kenyataan bahwa makin pesatnya pembangunan, makin mantapnya pemahaman dasar falsafah negara Pancasila, telah menimbulkan kebutuhan yang meningkat pula, ialah sistem pemerintahan di daerah yang lebih efektif dan efisien, yang lebih berorientasi kepada aspirasi demokrasi dan gairah kemandirian serta prakarsa yang inovatif dalam rangka mencukupi kebutuhannya daerah-daerah yang keadaannya tidak segala-galanya sama antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya meskipun ada hal-hal yang fundamental yang sama di setiap daerah itu.
Pemilukada itu sendiri di Indonesia ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi Pemilukada memberikan kesempatan kepada rakyat di daerah sebagai salah satu infrastruktur politik untuk memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Hal ini akan mendorong terjadinya keseimbangan antara infrastruktur politik dengan suprastruktur politik, karena melalui pemilihan kepala daerah langsung maka rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia. Namun disisi lain pemilukada juga memunculkan banyak persoalan didalamnya salah satunya terkait dengan calon kepala daerah.
Akhir-akhir di berbagai media massa memperlihatkan penyelenggaraan pemilukada di beberapa daerah mulai panas yang tidak hanya disebabkan karena persaingan antar partai politik setempat, namun juga sebabkan calon-calon yang maju dalam pemilukada kali ini akan diikuti oleh bintang-bintang “panas”. Di antaranya yang sekarang tengah jadi pemberitaan adalah Julia Peres (Jupe) yang akan maju sebagai calon wakil bupati Pacitan dan Maria Eva yang akan maju sebagai calon wakil bupati Sidoarjo.
Kalau kita menilik kehidupan pribadi mereka yang nota bene adalah artis yang selama ini di kenal sering berpenampilan seronok dan menjadi pemberitaan seputar kehidupan pribadi yang sudah biasa menjadi konsumsi media massa terutama infotainment kemudian juga kehidupan yang bombastis dengan skandal video mesum bersama anggota DPR, telah membangun opini publik dan telah memberi pandangan buruk bagi masyarakat tentang pribadi mereka, hingga memunculkan pertanyaan kenapa harus mereka apakah tidak ada calon yang lain lagi?.
Akhirnya majunya mereka sebagai calon kepala daerah mendapat respon dari masyarakat setempat dengan melakukan aksi turun kejalan menentang pencalonan tersebut. Pemerintah pun bereaksi dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang saat ini sedang membuat rancangan peraturan baru khususnya tentang kriteria calon kepala daerah, yang salah satunya memiliki pengalaman berorganisasi dan tidak boleh memiliki cacat moral seperti terlibat perzinahan.
Walaupun sebenarnya dalam alam keterbukaan seperti sekarang di mana sebagai negara yang demokratis sebenarnya baik Julia Peres maupun Maria Eva yang juga bagian dari bangsa ini sesungguhnya juga berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara. serta mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan terlepas dari siapa dia dan latar belakang kehidupannya .
Melalui pemilukada mencoba membangun demokrasi yang tujuan akhir menghendaki persamaan atau kesamaan hak-hak dalam menjalankan peran politik dalam konteks negara. Kesamaan hak-hak politik ini esensial dalam kuantitas kemanusiaannya (subjek otonom) sebagai seorang individu yang bebas. Inilah akhirnya dilema yang muncul karena kalau sampai ada calon kepala daerah dengan latar belakang kehidupan yang dianggap cacat moral apakah berarti orang tersebut selamanya tidak dapat maju dan akan kehilangan hak dipilih, Sebagai negara yang menempatkan hukum diatas segala-galanya maka sudah pasti hal ini jelas-jelas akan melanggar hak asasi manusia yang telah di atur dalam UUD 1945.
Namun hal yang lumrah pula apabila sebagai masyarakat awam tidak menginginkan kalau daerahnya di pimpin oleh orang-orang yang mempunyai citra buruk, karenya opini publik ikut menentukan pencitraan diri dan pandangan terhadap seorang dan juga daerah yang kelak akan dipimpinnya apabila terpilih dalam pemilukada. Sesungguhnya dengan citra buruk yang melekat pada seseoarang dan pernah melakukan kesalahan bukan berarti selamanya akan terus-terusan melakukan hal yang buruk karena seseorang pun dapat memperbaiki dirinya jika Tuhan saja bisa mengampuni kesalahan umatnya, mengapa kita manusia yang tak pernah luput dari salah dan khilaf tidak memberi kesempatan.
Untuk itu kita selaku masyarakat pemilih jangan hanya terjebak pada dikotomi cacat moral yang pernah dilakukan seseorang, karena untuk memilih seorang kepala daerah kita juga harus melihat seluruh aspek yang ada pada diri calon kepala daerah itu. Untuk itu hal yang terpenting adalah kehati-hatian dari masyarakat itu sendiri dalam memberikan suaranya. Karena sesungguhnya yang harusnya kita pilih dalam Pemilukada adalah pemimpin yang qualified, orang terbaik dengan memiliki kualitas kepemimpinan yang tidak diragukan, mampu membangun kemandirian daerah, mampu mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi karena melalui pemilukada ingin membangun pemerintahan daerah yang kuat. Bukan sekedar pemimpin yang hanya bisa mengandalkan kepopuleran dan penampilan semata.
Tokh, calon kepala daerah yang maju dalam pemilukada tidak serta merta dia kelak yang akan terpilih karena yang menentukan adalah masyarakat pemilih itu sendiri. Inilah alam demokrasi dimana siapapun berhak di pilih dan siapapun berhak memilih. kita juga harus bisa menerima perbedaan. Perbedaan latar belakang politik, bendera partai, berbeda memilih calon pemimpinya, perbedaan SARA dan sederet perbedaan lainnya.

MENCERMATI HAK ANGKET DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

Oleh Lies Ariany


1. Istilah Angket dan Hak Angket
Istilah “angket” itu sendiri berasal dari bahasa Perancis ‘enquete’ (asal kata inquirere- latin) yang artinya penyelidikan. Dalam bahasa Indonesia istilah angket mempunyai 3 macam arti: 1. Daftar pertanyaan tertulis mengenai masalah tertentu dengan ruang untuk jawaban bagi setiap pertanyaan; 2. Pemeriksaan saksi-saksi dipersidangan perkara perdata baik yang diajukan oleh penggugat maupun oleh tergugat; 3. Penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan pemerintah.
Dalam konteks sekarang menyangkut istilah hak angket maka yang tepat adalah istilah yang terakhir yakni “penyelidikan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kegiatan pemerintah”, menurut Ensiklopedi Indonesia angket diartikan sebagai hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan pemeriksaan dan penyelidikan atas suatu hal yang menurut persangkaan DPR telah disepakati bersama antara DPR dan Pemerintah”.
Oleh karena itu hak angket lazim disandingkan dengan hak penyelidikan. Namun menurut Prof Bagir Manan mantan Hakim Agung pemakaian istilah hak penyelidikan sebaiknya dihindarkan. Pemakaian istilah penyelidikan dapat menimbulkan salah pengertian. Istilah penyelidikan itu sendiri merupakan proses awal dalam mengungkapkan dugaan telah terjadi perbuatan pidana. Untuk itu penggunaan hak angket dimaksudkan sebagai suatu fact finding atau untuk merumuskan suatu kebijakan.
2.Hak Angket Dalam Tinjauan Yuridis
Jika kita melihat dalam sejarah hak angket di Indonesia yang dimulai sejak masa penjajahan kolonial Belanda maka sewaktu terbentuknya Volksraad (Dewan Rakyat), pernah diupayakan melalui mosi Stokvis agar hak angket dimasukkan sebagai salah satu hak dari Volksraad berdampingan dengan hak-haknya yang lain seperti hak petisi, hak interpelasi, hak inisiatif dan hak amandemen. Namun pada masa itu, Volksraad dalam sidangnya menolak mosi Stokvis itu. Dengan sendirinya, upaya untuk memasukkan hak angket sebagai salah satu hak dari Volksraad menemui kegagalan.
Baru setelah Indonesia merdeka maka sejak awal kemerdekaan hingga sekarang bergulirnya kasus Bank Century dapat diketahui bahwa hak angket itu merupakan hal yang diakui dalam sistem ketatanegaraan kita baik itu dalam UUD 1945 sebelum dan setelah amandemen, Konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950. Berbicara hak angket dalam tataran yuridis setelah amandemen kedua UUD 1945 pengaturannya ada pada Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “ Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Dengan dasar ini hak angket memperoleh jastifikasi dan legitimasi yang kuat dari UD 1945 dan dari rumusan tersebut secara konseptual, hak angket ada sebagai sesuatu yang melekat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Selain dalam UUD 1945 dalam tataran yuridis sumber legitimasi hak angket di jumpai dalam UU No. 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket yang lahir sebagai realisasi dari ketentuan Pasal 70 UUDS 1950 hal ini sebenarnya suatu hal yang dilematis dalam sistem ketatanegaraan kita karena tidak lagi sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang digariskan UUD 1945 setelah amandemen dan tentunya jelas berbeda dengan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUDS 1950, namun dalam kenyataannya UU No 6 Tahun 1954 hingga saat ini masih dinyatakan berlaku dan diakui keabsahannya berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.
Demikian pula dalam Pasal 77 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi “ Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu Undang-Undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Aturan-aturan inilah yang dijadikan sebagai dasar untuk memproses hak angket termasuk kasus Bank Century yang tengah bergulir sekarang.
3. Hak Angket Sebagai Implementasi Fungsi Pengawasan
Keberadaan hak angket dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan salah satu bentuk manifestasi dari prinsip kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh DPR. Disinilah kehadiran DPR sebagai sebagai lembaga yang mewakili dan mewujudkan kedaulatan rakyat merupakan hal yang mutlak, terutama dalam pembuatan kebijakan umum serta pengawasan pelaksanaan pemerintahan agar sesuai dengan kehendak rakyat.
Di satu sisi fungsi DPR dalam bidang legisasi semakin berkurang namun disisi lain fungsi pengawasan yang dimiliki DPR haruslah di optimalkan, agar dalam prakteknya kebijakan yang diambil Presiden sesuai dengan UUD dan UU. Ditempatkannya hak angket pada fungsi pengawasan DPR merupakan gejala umum pada masa sekarang, dimana titik berat pembentukan perundang-undangan telah banyak bergeser ke tangan Presiden beserta jajarannya yang memainkan peran aktif dalam mengatur segala aspek kehidupan masyarakat dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat sedangkan DPR selaku lembaga yang memiliki kewenangan membentuk perundang-undangan dewasa ini lebih banyak membahas dan mengamandemen rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah.
Perlu kiranya dipahami ruang lingkup pengawasan dan mekanisme pengawasan. Ruang lingkup pengawasan harus dikaitkan dengan kekuasaan dan hak DPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945, yang meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran. Pembatasan ini perlu agar DPR tidak melakukan fungsi pengawasan yang menjadi wewenang lembaga lain. Untuk itulah mencermati realitas sekarang terkait dengan pelaksanaan hak yang dimiliki oleh DPR maka penggunaan salah satu haknya yakni hak angket difokuskan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dari suatu lembaga perwakilan rakyat sehingga penyelidikan yang dilakukan oleh DPR sebenarnya terkait dengan ketentuan hukum, kebijakan-kebijakan yang menimbulkan korupsi yang menjadi dasar penyempurnaan suatu aturan hukum atau suatu kebijakan, bukan terkait mengenai dugaan tindak pidana korupsi, karena jelas perbuatan korupsi merupakan pelanggaran hukum yang menjadi wewenang penyelidik, penyidik, penuntut umum dan hakim.
Sebenarnya, melalui hak angket inilah terbangun suatu mekanisme check and balances antara DPR dan Presiden. Mencermati peran strategis dari hak angket dalam sistem ketatanegaraan kita, maka melalui hak angket ini DPR tidak dapat serta merta menjatuhkan Presiden karena untuk terjadinya impeachmet terhadap Presiden masih panjang tahapan yang harus ditempuh walaupun begitu hak angket ini merupakan pembuka jalan bagi DPR untuk meng-impechment Presiden. Dan apakah hak angket bank Century sekarang berujung pada jatuhnya Presiden SBY? Kita lihat saja nanti proses yang sekarang tengah dimainkan di DPR.

PEMILIHAN KEPALA DAERAH : DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN POLITIK DI LEVEL LOKAL

Oleh Lies Ariany


Pemilihan Kepala Daerah dan Demokrasi
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan isu sentral yang terus bergulir seiring dengan era reformasi dewasa ini, proses ini ideal ditujukan sebagai salah satu upaya untuk melakukan demokratisasi politik di level lokal, yang merupakan muara kebijakan desentralisasi dan otonomi. Masalah pemilihan kepala daerah turut menentukan tingkat demokratisasi di daerah tersebut. Semakin tinggi partisipasi aktif rakyat setempat dalam proses pemilihan kepala daerah, semakin tinggi pula tingkat demokratisasi di daerah tersebut.
Sebelum Reformasi, partisipasi aktif rakyat daerah dalam proses pemilihan kepala daerah masih terbatas, bahkan bisa dikatakan tidak ada partisipasi langsung sama sekali. Proses politik di daerah, termasuk proses pemilihan kepala daerah sepenuhnya dilakukan oleh wakil rakyat di DPRD. Dipakainya sistem perwakilan dalam proses pemilihan kepala daerah, sebenarnya sudah memenuhi kriteria demokrasi karena para wakil rakyat tersebut adalah dipilih oleh rakyat secara langsung pada pemilu. Bahkan di negara-bangsa yang sangat besar dalam jumlah penduduk dan luas wilayah, sistem perwakilan merupakan pilihan efektif dan efisien. Namun apabila dimungkinkan dilakukannya perluasan partisipasi rakyat daerah sampai ke pemilihan kepala daerah, dari perspektif demokrasi tentu lebih baik jika kesempatan tersebut diimplementasikan.
Sehingga pemilihan umum kepala daerah secara langsung, tak hanya menjadi fenomena perintah undang-undang namun telah menjadi suatu kebutuhan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi. Pemilihan kepala daerah diharapkan mampu menjadi pengulang sukses peralihan kekuasaan secara konstitusional di Indonesia.
Pemilihan Kepala Daerah Sebagai Pendidikan Politik Bagi Masyarakat
Negara demokratis atau yang berkedaulatan rakyat adalah negara atau pemerintahan yang memberdayakan rakyat, sehingga rakyat berkemampuan untuk menentukan hidup atau masa depannya sendiri. Oleh karena itu sistem politik atau pemerintahan yang di bangun seharusnya memberi kemampuan kepada rakyat untuk dapat mengarahkan dan mengontrol jalannya pemerintahan. Rakyat juga bertanggungjawab tentang caranya menentukan nasibnya. Sehingga menurut Mohammad Hatta rakyat harus mempunyai keinsyafan politik karena kalau rakyat tidak mempunyai keinsyafan politik maka rasa tanggungjawab akan kurang dan pada gilirannya bagaimana mungkin rakyat dapat melaksanakan kedaulatannya jika tidak mengerti akan tanggungjawab.
Inilah pendidikan politik paling penting selama perhelatan pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini. Rakyat diberi pelajaran bagaimana memilih pemimpinnya sendiri untuk kepentingan dirinya dan daerahya. Dengan dilaksanakannya pemilihan umum adalah cara untuk menentukan siapakah yang akan menjalankan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif, sehingga Pemilihan Umum adalah cara untuk menentukan bagaimana pelaksanaan kedaulatan rakyat dilaksanakan. Sangat diharapkan dengan perpindahan kekuasaan maka situasi dan kondisi negara akan bertambah baik, sehingga sistem demokratis dapat berjalan.Begitu pula halnya dengan pemilihan kepala daerah secara langsung ini ditentukan kedaulatan rakyat yang akan dilaksanakan, karena Pemilu adalah suatu cara perpindahan kekuasaan yang demokratis dan tidak menimbulkan pertumpahan darah, atau disebut sebagai cara yang legal formal untuk mengganti kekuasaan negara.
Pendidikan politik lainnya, dari pemilihan kepala daerah secara langsung, yaitu rakyat harus bisa menerima perbedaan. Perbedaan latar belakang politik, bendera partai, berbeda memilih calon pemimpinya, perbedaan SARA dan sederet perbedaan lainnya. Menerima perbedaan ini penting. Ketika rakyat telah berhasil menerima perbedaan, maka rakyat dengan sendirinya tidak akan melakukan cara-cara kekerasan, menolak dengan frontal apabila calonnya kalah bersaing dalam pemilihan kepala daerah.
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung telah sejalan dengan tujuan desentralisasi territorial yakni untuk menyalurkan semangat kebebasan secara bertanggung jawab, mendidik dan melatih diri melaksanakan dan menetapkan kegiatan politik lokal sejalan dengan politik nasional di dalam negeri.
Karena itu, tepat kiranya sekarang ini pemilu kepala daerah sehingga meningkatkan kapasitas pemerintah lokal dalam melayani kepentingan publik. pemilu kepala daerah bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya-upaya untuk mewujudkan pemerintah lokal yang demokratis. Paradigma lama yang menganggap segala keputusan berada di tangan pemerintah dan aparat birokrasi harus di kikis habis dan diganti dengan pandangan baru yang mengedepankan pelayanan dengan prinsip partisipatif, tranparan dan akuntabilitas kepada publik.

MENJAGA STABILITAS SISTEM KEUANGAN MELALUI INSTRUMEN HUKUM

Oleh Lies Ariany


Secara umum istilah financial stability atau stabilitas keuangan telah dikenal oleh banyak pelaku ekonomi terutama pelaku pasar keuangan. Pada prinsipnya stabilitas keuangan berkaitan dengan 2 elemen, yaitu stabilitas harga dan stabilitas sektor keuangan yang mencakup lembaga keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya sistem keuangan. Jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik, maka elemen lainnya akan terpengaruh. Misalnya, tingkat inflasi yang tinggi dapat membawa konsekuensi pada kebijakan uang ketat, peningkatan suku bunga dan peningkatan kredit bermasalah yang pada akhirnya memicu kegagalan bank dan lembaga keuangan lainnya dalam sektor keuangan. Sebaliknya gangguan pada sistem keuangan akan mempengaruhi efektivitas transmisi kebijakan moneter dan tingkat harga secara umum.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan sektor keuangan dapat mengakibatkan aktivitas mobilisasi dana yang sangat diperlukan oleh sektor riil. Dengan terhambatnya aliran dana tersebut, sektor riil akan membatasi bahkan menghentikan aktivitas usahanya sehingga pada akhirnya akan membawa dampak kotraksi pada aktivitas perekonomian. Disamping itu, kestabilan sektor keuangan sangat diperlukan dalam menunjang proses transmisi kebijakan moneter. Beranjak dari pentingnya stabilitas keuangan bagi eksistensi lembaga keuangan secara individu maupun sektor keuangan, moneter dan fiskal secara keseluruhan maka diperlukan suatu kebijakan publik yang konsisten, terintegrasi dan tidak saling menimbulkan distorsi.
Telah dipahami bahwa sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana. Apabila sistem keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai.
Untuk mendorong stabilitas sistem keuangan maka faktor utama yang berperan adalah terciptanya hukum yang mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi untuk berfungsi. Dengan terciptanya stabilitas (stability) maka potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sehingga kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negara yang pertamakali memasuki suatu kondisi yang tidak diharapkan sebelumnya. Sehingga aspek keadilan ( fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah dalam menjaga mekanisme pasar.
Dengan demikian dalam rangka mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik, maka langkah-langkah yang diambil dalam menjaga stabilitas keuangan memerlukan kepastian hukum sehingga terjalin sinergi antara bidang hukum dan bidang ekonomi. Sinergi itu sendiri diharapkan akan memperkuat stabilitas sistem keuangan secara sistemik maupun sistem hukum nasional kita yang pada akhirnya memantapkan pembangunan yang berkelanjutan.
Mencermati perangkat hukum ekonomi yang sekarang berlaku hanya di-design untuk mengatur kegiatan usaha bank dalam keadaan normal. Oleh karena itu, pada masa krisis tidak tersedia perangkat hukum yang dapat dijadikan dasar bagi diambilnya tindakan emergency guna segera mengatasi situasi krisis di sektor keuangan yang dapat mengakibatkan colappse-nya perekonomian nasional.
Keadaan darurat atau state of emergency didasarkan pada prinsip adanya keperluan atau ”necessity”. Sebenarnya alasan-alasan pembenar untuk diambilnya tindakan-tindakan dalam keadaan normal niscaya dipandang bertentangan dengan hukum, tetapi dalam keadaan yang berifat darurat maka tindakan-tindakan itu dipandang perlu untuk dilakukan guna menyelematkan eksistensi negara sendiri dari ancaman kehancuran akibat adanya ancaman bahaya.
Pada saat keadaan yang tidak normal itu, semua tindakan yang bersifat luar biasa yang memang sangat diperlukan dapat dibenarkan untuk dilakukan guna mencegah timbulnya ancaman bahaya atau untuk mengatasi dan menanggulangidampak keadaan bahaya itu serta memulihkan kembali keadaan negara kepada kondisi yang normal seperti sedia kala.
Terkait dengan penyelesaian krisis keuangan dirumuskan kebijakan-kebijakan yang akan diambil Bank Indonesi dan Pemerintah untuk penyelamatan sistem perbankan nasional di masa krisis yang secara langsung berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu penyusunan perangkat-perangkat hukum yang ditujukan untuk menanggulangi krisis atau systemic risk yang norma hukumnya dirumuskan secara berbeda dari peragkat aturan yang mengatur kegiatann usaha bank dalam keadaan normal.
Sebenarnya sampai saat ini Indonesia belum memiliki perangkat aturan yang ditujukan menanggulangi krisis atu systemic risk karena perangkat hukum di bidang keuangan dan perbankan yang ada hanya dapat digunakan sebagai aturan dalam keadaan normal saja.
Agar tindakan yang diambil oleh otoritas yang berwenang dalam mengatasi krisis dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka selain perangkat hukum yang mengatur kondisi normal perlu disusun pula perangkat hukum yang melandasi kerangka kerja (framework), manajemen yang bersifat strategis (crisis strategy management). Selain itu pula perlu kiranya dirumuskan komitmen politik hukum terkait dengan tindakan yang telah di ambil oleh Bank Indonesia dan pemerintah dalam rangka penyelematan sistem keuangan nasional di masa krisis. Hal ini penting agar kebijakan yang diambil yang bersifat emergency pada masa krisis dalam rangka penyelamatan sistem keuangan dapat dihilangkan sifat melawan hukumnya.