Selasa, 05 Oktober 2010

ATURAN HUKUM TERKAIT DENGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

oleh Lies Ariany

Aturan hukum yang berlaku terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah sebelum Amandemen UUD 1945:
•Undang- Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Komite Nasional Daerah, dalam UU ini pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Komite Nasional Daerah.
•Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusaat dengan calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.
•Undang-Undang No 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No 18 Tahun 1865 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam ketiga UU ini ketentuan pemilihan kepala daerah mengikuti ketentuan sebagai berikut: (1) Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, (2) Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (3) Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.
•Setelah reformasi bergulir, berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, pemilihan kepala daerah dilakukan menggunakan sistem demokrasi tidak langsung dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan asas desentralisasi yang kuat. Dalam UU ini posisi dan peran politik DPRD sederajat dengan kepala daerah. Rekrutmen kepala daerah sepenuhnya berada pada kekuasaan DPRD. Sementara pemerintah pusat hanya menetapkan dan melantik kepala daerah berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD setempat.
Aturan hukum yang berlaku terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah setelah Amandemen UUD 1945:
•UUD pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, "Gubernur,Bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis".
•Dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No 32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 56- 119. Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 maka pemilukada diletakkan dalam domain pemerintahan daerah.
•Selanjutnya keluar Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 mengenai uji materi UU No.32/2004 tentang Pemerintahaan daerah terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dari sejumlah pasal yang diajukan pemohon, khususnya terhadap pasal 56 ayat(2), pasal 59 ayat(1), pasal 59 ayat(2) dan pasal 59 ayat (3) UU No.32/2004, yang telah membuka jalan adanya pengajuan calon kepala daerah secara perseorangan.
•Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian dan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, sejak UU ini diberlakukan maka pengaturan tentang pemilukada telah masuk pada rezim pemilihann umum bukan lagi dalam pemerintahan daerah, sehingga pemilukada dalam penyelenggaraannya menjadi lebih independen. sehingga KPU dengan independensinya bertanggung jawab menyelenggarakan pilkada.
•Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini dibahas tentang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta mekanisme Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. UU ini merupakan UU yang telah merevisi secara substansial penyelenggaraan pemilihan kepala daerah terutama menyangkut majunya calon perseorangan.
•Peraturan KPU No 64 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemantau dan Tata Cara Pemantauan Pemilukada.
•Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2010 tentang Pedoman Audit Laporan Dana Kampanye Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam Pemilukada.
•Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 63 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Tata Kerja KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara,dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 72 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di tempat Pemungutan Suara.
•Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 66 Tahun 2009 tentang Penetapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kebutuhan Pengadaan serta Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
•Peraturan KPU Nomor 18 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum dalam Penyelenggaran Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Minggu, 03 Oktober 2010

PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PEMILUKADA DALAM KONTEKS DEMOKRASI DI LEVEL LOKAL

Lies Ariany, SH.,MH

PENDAHULUAN
Tujuan desentralisasi teritorial adalah untuk menyalurkan semangat kebebasan secara bertanggung jawab, mendidik dan melatih diri melaksanakan dan menetapkan kegiatan politik lokal sejalan dengan politik nasional di dalam negeri. Sudah tersirat didalamnya bahwa tujuan desentralisasi teritorial dengan cara membentuk daerah-daerah otonom itu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik sebagai imbalan atas kepercayaan masyarakat yang telah dilimpahkan kepada wakil-wakilnya di daerah secara tertib, teratur, periodik melalui pemilihan umum.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran wewenang (spreiding van bevoegdheid), tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Hal ini disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom sehingga setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi.
Nafas dari desentralisasi merupakan sendi pemerintahan demokratis, secara langsung memberikan kesempatan atau keleluasaan kepada daerah, yang dimaknai dengan kebebasan berotonomi. Kewenangan daerah tidak terlepas dari ikatan kesatuan pemerintah di pusat yang harus diatur secara tegas dalam bingkai aturan hukum mengenai pendelegasian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemerintahan.
Sebagai salah satu sendi negara yang demokratis (democratischerechtsstaat), desentralisai merupakan pilihan yang tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi negara dan bangsa sekarang dan di masa datang. Desentralisasi diasumsikan memerlukan demokrasi. Meski secara logis desentralisasi tidak membawa implikasi terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (seperti akuntabilitas penyediaan layanan publik, kesejahteraan, dan partisipasi) tetap memerlukan adanya demokrasi. Hal ini dapat dipahami karena dengan demokrasi akan muncul para pengambil kebijakan sebagai wakil terpilih yang bertanggung jawab pada pemilih dalam kehidupan politik.
Desentralisasi untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara, rakyat secara langsung mempunyai kesempatan untuk turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya. Ini karena kebijakan desentralisasi mengandung nilai positif, dua diantaranya yakni (1) mendekatkan pengambilan keputusan dengan masyarakat, (2) memungkinkan partisipasi warga (citizen participation).
Pemerintahan daerah diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, melalui mekanisme desentralisasi yang disebut otonomi daerah. Sejalan dengan perjalanan ketatanegaraan sesuai dengan amandemen UUD 1945 telah diletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan meletakkan kedaulatan berada di tangan rakyat yang diwujudkan melalui pengembangan sistem pemerintahan termasuk sistem penyelenggaran pemerintah kepala daerah kearah yang lebih demokratis.
Seperti termuat pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Hasil amandemen ke-tiga telah disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan terutama menyangkut pasal 18 ayat 4 hasil amandemen yang kedua menyatakan bahwa “gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”, maka sejalan dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dikeluarkanlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Selanjutnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah diubah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hal ini untuk mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokratis yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan, penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yakni pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka kewenangan yang begitu besar dimiliki oleh DPRD di dalam pemilihan kepala daerah yang menimbulkan dampak negatif karena kewenangan yang begitu besar menimbulkan suatu praktik-praktik perpolitikan di daerah. Kepentingan individu, partai politik, dan kelompok telah meminggirkan aspirasi rakyat yang menginginkan munculnya kepemimpinan yang peduli dan respek terhadap kepentingan rakyat daerah.
Dengan adanya legitimasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur kedudukan DPRD di dalam pemilihan kepala daerah, maka partai politik yang memiliki wakil di DPRD berkesempatan menancapkan hegemoni dari situasi dan kondisi yang tercipta. Rakyat selaku konstituen pada pemilu yang memilih partai-partai politik tersebut hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan tanpa memedulikan aspirasi dan keinginan rakyat itu.
Oleh karena itu, melalui pemilukada dapat menghindarkan kepala daerah dari dominasi DPRD seperti yang terjadi dalam Undang-Undang No.22 tahun 1999, dan diharapkan oleh pembentuk Undang-Undang bahwa dengan dipilih langsung akan mencerminkan nilai-nilai demokratis sebagaimana tertuang dalam pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sehingga pemilihan umum kepala daerah secara langsung, tak hanya menjadi fenomena perintah undang-undang namun telah menjadi suatu kebutuhan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi. Pemilihan kepala daerah diharapkan mampu menjadi pengulang sukses peralihan kekuasaan secara konstitusional di Indonesia.

Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilukada
Demokrasi dalam pengertian yang lebih partisipatif sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraaan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
Demokrasi secara genus berarti pemerintahan oleh rakyat, yang dengan demikian mendasarkan hal ihwal kenegaraannya pada kekuasaan rakyat sehingga rakyatlah yang berdaulat. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan oleh istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya diberbagai negara tidak selalu sama.
Sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan terbaik dari yang terburuk (the best among the worst) maka demokrasi tentunya juga mempunyai kekurangan, karena masih terdapat kelemahan di dalamnya apalagi di negara yang sedang mengalami masa transisi demokrasi seperti Indonesia. Permasalahan yang terkait dengan partisipasi masyarakat adalah masih terdapat golput dalam pemilukada seperti halnya dalam pemilukada Kalimantan Selatan tanggal 2 Juni 2010 yang jumlahnya justru jadi pemenang pemilukada yakni sekitar 873.224 suara mengungguli pasangan peraih suara terbanyak Rudi Arifin dan Rudy Resnawan dengan jumlah suara 777.554 (46,18%). Padahal melalui pemilukada ingin mendapatkan kepala daerah yang benar-benar legitimate yang mendapatkan dukungan langsung dari rakyat namun ketika jumlah golput justru lebih banyak daripada calon yang menang dalam pemilukada maka harapan yang ingin dicapai melalui pemilukada menjadi tidak sepenuhnya tercapai.
Pemilukada juga dapat memicu konflik horizontal dan juga ketegangan sosial karena banyak pihak yang turut terlibat didalamnya seperti partai politik, DPRD, KPUD, Panwasluda, Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, tim sukses, penyandang dana dan tentu saja rakyat pemilih.
Masalah lain yang muncul terkait dengan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan penyelenggaraan pemilukada adalah masih terdapat warga masyarakat yang sebenarnya telah mempunyai hak pilih namun tidak terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu. Hal ini sebagai imbas dari pengelolaan administrasi kependudukan yang tidak tersusun secara rapi dan baik sehingga merugikan pemilih yang harus kehilangan suaranya karena tidak terdaftar dalam DPT sedangkan dalam pemilukada tidak ada aturan yang secara tegas mengatur penggunaan KTP bagi pemilih yang tidak terdaftar pada DPT karena putusan MK No 102/PUU-VII/2009 hanya mengatur mengenai penggunaan KTP pada Pemilihan Presiden dan Wapres.
Selain itu pula dalam pelaksanaan pemilukada secara langsung seperti sekarang turut meningkatkan biaya negara karena pelaksanaan pemilukada memerlukan banyak sekali pengeluaran negara bahkan sampai miliaran rupiah jumlahnya. Menurut Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi A Johansyah diperkirakan belanja untuk pemilu kada 2010 mencapai Rp 4,2 triliun dari total 244 pemilu kada yang akan berlangsung tahun 2010 .
Melalui Pemilukada sebenarnya diharapkan mampu meningkatkan kapasitas pemerintah lokal dalam melayani kepentingan publik. pemilu kepala daerah bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya-upaya untuk mewujudkan pemerintah lokal yang demokratis. Paradigma lama yang menganggap segala keputusan berada di tangan pemerintah dan aparat birokrasi harus diganti dengan pandangan baru yang mengedepankan pelayanan dengan prinsip partisipatif, tranparan dan akuntabilitas kepada publik.
Oleh karena itu, kualitas, hasil dan proses pemilukada amat ditentukan oleh kuatnya masyarakat sipil dalam membangun relasi dengan pelaku politik di tingkat lokal. Untuk itu perlu diupayakan tersedianya ruang publik yang memungkinkan untuk melibatkan potensi-potensi masyarakat sipil, baik dalam rangka mendorong gagasan-gagasan kreatif maupun melakukan refleksi atas kinerja pemerintah daerah rakyat di daerah dapat turut berperan dalam menentukan pimpinan di daerahnya sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Dengan pemilihan umum kepala daerah maka warga masyarakat di daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara Republik Indonesia keseluruhan, juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka , yang telah dijamin oleh konstitusi, yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki, harus diberi kesempatan ikut menentukan masa depan daerahnya masing-masing.
Unsur keterlibatan atau partisipasi warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan adalah sesuatu yang mutlak, terlepas apakah keterlibatan itu secara langsung maupun tidak langsung melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan.
Pemilu dan demokrasi berkaitan erat dalam subtansi maupun fungsi. Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan. Pernyataan kedaulatan rakyat diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa yang harus menjalankan pemerintahan dan siapa-siapa yang harus mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan kata lain, Pemilu memilih eksekutif berfungsi menjalankan pemerintahan dan memilih anggota-anggota lembaga legislatif yang mengawasi jalannya pemerintahan. Karena itu, fungsi utama pemilu bagi rakyat adalah “untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil mereka”.
Inti dari teori demokrasi atau kerakyatan adalah keterlibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Menurut dasar kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri tidak hanya pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa dan di daerah. Desentralisasi memang terasa lebih dekat dengan demokrasi jika dibandingkan dengan sentralisasi. Oleh karena itu, Hans Kelsen mengatakan “Desentralization allows closer approach to the idea of democracy than centralization”.
Secara logis Hendra Nurtjahjo mengemukakan pemahaman tentang demokrasi lebih jauh, demokratis atau tidaknya sistem pemerintahan negara di ukur dari selaras tidaknya kebijakan pemerintahan dengan kehendak atau kepentingan rakyat yang terukur lewat suara mayoritas atau kesepakatan perwakilan. Demokrasi adalah masalah ukuran, sejauhmana prinsip-prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politis dapat diwujudkan, seberapa besar partisipasi rakyat dalam pengambilan atau pembuatan keputusan kolektif.
Demokrasi bukan menjadi tujuan masyarakat tetapi tiket untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Walaupun para pemimpin telah dipilih secara demokratis, tidak serta merta demokrasi dikatakan telah berhasil. Sebuah demokrasi dikatakan berhasil, apabila pemerintahan yang berkuasa mampu memperlakukan rakyatnya secara adil dan membawa rakyatnya keluar dari kemiskinan dan kemelaratan.
Untuk memahami dan menemukan prinsip-prinsip eksistensial dari suatu demokrasi, maka tempat tertinggi dari demokrasi itu terletak pada kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh rakyat atau lebih dikenal dengan kedaulatan rakyat. Teori ini lahir secara kontroversial dalam panggung politik sejarah kekuasaan negara. Dalam sistem kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Konsep dasarnya bahwa rakyatlah yang menjadi pemegang tertinggi dalam negara.
Dapat juga dikemukakan bahwa negara demokratis atau yang berkedaulatan rakyat adalah negara atau pemerintahan yang memberdayakan rakyat, sehingga rakyat berkemampuan untuk menentukan hidup atau masa depannya sendiri. Oleh karena itu sistem politik atau pemerintahan yang di bangun seharusnya memberi kemampuan kepada rakyat untuk dapat mengarahkan dan mengontrol jalannya pemerintahan.
Konsep demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara telah memberikan ruang kepada rakyat atau kelompok rakyat untuk mengatur dan mengurus kepentingannya dengan cara membuat dan menjalankan peraturan sendiri. Rakyat atau kelompok rakyat diberikan kebebasan dalam rangka menentukan nasibnya.
Hal ini untuk menjamin agar semua perangkat politik dan kehidupan kemasyarakatan berdaya, sehingga pemilukada yang mulai digulirkan melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dijadikan sebagai sarana pemulihan demokrasi. Melalui demokrasi dapat ditumbuhkan sikap bertanggung jawab. Tanpa demokrasi, perangkat-perangkat politik dan sosial akan lumpuh, tidak berdaya karena tidak ada kebebasan dan keterbukaan.

Simpulan
Sebagai salah satu sendi negara yang demokratis maka desentralisai merupakan pilihan yang tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi negara dan bangsa sekarang dan di masa datang. Sehingga melalui pemilukada diharapkan mampu meningkatkan kapasitas pemerintah lokal dalam melayani kepentingan publik. pemilu kepala daerah bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya-upaya untuk mewujudkan pemerintah lokal yang demokratis. Untuk itu dalam pelaksanaan pemilukada maka peran masyarakat sangat diharapkan agar mampu mendapatkan pemimpin yang legitimate.

Daftar Pustaka
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007.

Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi Dalam Pembangunan Daerah, Citra Media, Yogyakarta, 2006.

------------, Rangkuman Seri Kuliah Hukum Tata Pemerintahan (Pengantar), Makalah Universitas Padjadjaran, Bandung.

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum UII, Yogyakarta, 2005.

Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokras, Bumi Aksara, Jakarta, 2006.

Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka, Jakarta, 1990.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: Alumni, 2004.

Kelsen Hans, General Theory of Law and State, Russel-Russel, New York, 1973.

M. Arief Nasution, Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, Mandar Maju, Bandung, 2000.

M. R. Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayumedia, Surabaya, 2005.

Markoff, Demokrasi Dunia, Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, Ari Setianingrum (Penerjemah), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 2003.

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.

Muhammad Fauzan, Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Dalam Tata Penyelenggaraan Pemerintahan Di Indonesia, (Disertasi) Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2005.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Pipin Syarif, Hukum Pemerintahan Daerah. Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2005.

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
T.A. Legowo, “Sistem dan Proses Pemilu” dalam J. Soedjati Djiwandono dan T.A. Legowo, (ed), Revitalisasi Sistem Politik, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), jakarta, 1996.

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1968.

Yohanes Golot Tuba Helan, Implementasi Prinsip Demokrasi Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Di Era Otonomi Daerah, (Disertasi) Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2006.