Rabu, 05 Januari 2011

Masih Adakah Negara Hukum Indonesia?

Oleh Lies Ariany


Pertanyaan tersebut diajukan justru oleh salah seorang mahasiswa saya di kelas. Pertanyaan sederhana namun kritis yang dalam sekali maknanya apalagi pertanyaan tersebut diajukan oleh mahasiswa semester akhir yang sudah pasti hari-harinya bergelut dan dicekoki dengan mata kuliah dan hal-hal yang berbau hukum. Pertanyaan yang justru menunjukkan pesimistis dari orang hukum itu sendiri tentang apa yang tengah digelutinya saat ini.

Hukum di Indonesia patut dipertanyakan melihat kondisi hukum di negeri ini memang menyedihkan, apalagi jika memandang wajah bangsa ini, dari persoalan-persoalan yang terus membelit hingga hari ini sehingga pertanyaan tersebut terasa wajar untuk diajukan.

Menjawab pertanyaan tersebut dapat saya tegaskan bahwa negara kita ini memang negara “hukum” karena secara konstitusional prinsip negara hukum telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan yang menyatakan bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam tataran normatif hal ini telah jelas bahwa negara Indonesia mempunyai komitmen untuk menyelenggarakan pemerintahan yang berdasarkan hukum.

Namun ketika menelaah lebih jauh apa itu negara hukum maka sesungguhnya bicara hukum bukan hanya sebatas aturan-aturan tertulis di atas kertas karenanya bicara hukum dalam tataran normatif memang mudah, namun tidak demikian halnya jika bicara hukum dalam tataran empiris dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan efektivitas hukum di tengah kehidupan masyarakat itu sendiri. Karena ketika berbicara pada tataran implementasi maka hukum yang diibaratkan warna putih sepertinya telah terkontaminasi oleh orang-orang yang mencoreng wajah hukum dengan memberi warna hitam yang akhirnya memunculkan warna abu-abu sehingga sudah sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Inilah persoalan yang terjadi pada bangsa kita karena ternyata prinsip negara hukum itu belum mampu kita wujudkan.

Bagir Manan yang merupakan mantan Hakim Agung pernah mengemukakan pendapatnya bahwa untuk melaksanakan prinsip negara berdasarkan hukum harus memenuhi persyaratan. Pertama, tegaknya tataran kerakyatan atau demokrasi. Kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas atau merdeka lepas dari pengaruh kekuatan atau kekuasaan lain. Ketiga, terwujudnya kesejahteraan umum menurut dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian ketika kita berbicara negara hukum maka semua prasyaratnya baik paham kerakyatan atau demokrasi, paham kekuasaan kehakiman yang merdeka dan paham kesejahteraan umum haruslah terpenuhi semua.

Namun bercermin dari apa yang terjadi tengah masyarakat di tingkat implementasinya maka sesungguhnya negara hukum Indonesia belum dapat terwujud sepenuhnya karena saat kita bicara masalah kerakyatan atau demokrasi maka sekarang tidak sepenuhnya lagi menganut prinsip dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat karena banyak kepentingan didalamnya yang ikut bermain baik itu kepentingan pribadi, golongan bahkan kepentingan partai yang juga turut mempengaruhi. Bahkan secara ekstrim Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan saat ini ideologi kerakyatan itu berubah menjadi adagium baru, yakni politik uang, suara rakyat adalah suara uang.

Selanjutnya ketika bicara masalah kekuasaan kehakiman yang bebas atau merdeka maka inipun masih jadi masalah besar yang terus bergulir sampai sekarang seperti bola salju yang semakin membesar, hal ini karena mafia peradilan masih menjadi momok di negeri ini yang turut mempengaruhi dunia peradilan. Kasus Gayus yang sekarang tengah mendapat sorotan pun tidak terlepas dari mafia peradilan. Bahkan MA mendapat kritikan telah ‘melindungi’ hakim yang terlibat kasus Gayus. Apalagi MA secara mendadak telah memanggil 3 orang hakim yang menyidang kasus Gayus setelah KY menemukan bukti ketua majelis hakim, Muhtadi Asnun, menerima uang sebesar Rp 50 juta dari Gayus.

Selanjutnya ketika berbicara masalah kesejahteraan umum maka tidak seluruh rakyat Indonesia mendapatkan jaminan kesejahteraan, hanya segelintir saja yang dapat menikmatinya karena berdasarkan data di Bulan Maret 2010 jumlah penduduk miskin di Indonesia ada 31,02 juta jiwa. Tentunya dari data tersebut, masih banyak PR bagi kita selaku bangsa indonesia agar supaya kemiskinan yang ada di indonesia semakin berkurang, dan tentunya peran pemerintahpun akan hal ini selalu kita tunggu sehingga penduduk miskin di indonesia semakin berkurang. Apalagi kalau kita berbicara negara hukum modern maka kita akan berbicara tentang welfare state atau negara kesejahteraan maka tak mungkin dapat di katakan bahwa negara kita adalah negara hukum modern jika belum mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya dengan mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Di tengah carut marut wajah hukum di negeri ini, bukan berarti tidak bisa di perbaiki, walaupun tidak mungkin dengan jalan memusnahkan satu generasi di atas kita, namun bukan mustahil pula diantara orang-orang yang ada sekarang ini masih ada orang-orang baik yang masih menjunjung tinggi idealisme walaupun harus terkungkung oleh sistem yang seakan membelenggu suara mereka.

Untuk itu marilah kita bersama-sama saling bergandengan tangan mengupayakan perbaikan hukum demi kelangsungan NKRI yang kita cintai ini. Mari kita dobrak belenggu yang memasung suara-suara rakyat, membelenggu suara kebenaran dan keadilan. Bangsa ini akan kita wariskan kepada generasi yang akan datang, untuk itu haruslah kita perbaiki dari sekarang. Jangan sampai warisan yang akan kita berikan kepada anak cucu kita nanti hanyalah tumpukkan kebobrokan yang tidak mampu di perbaiki. Bagaimana nasib generasi yang akan datang sangat tergantung dengan apa yang di perbuat oleh generasi sekarang.

Karenanya suatu peraturan yang baik sekalipun kalau dijalankan oleh orang-orang yang bermental buruk maka hasil akhirnya akan tetap buruk namun sebaliknya ketika suatu peraturan yang buruk sekalipun ketika dijalankan oleh orang-orang baik maka hasilnya akan baik. Jadi jangan harapkan negara hukum Indonesia dapat terwujud jika tidak ada ketaatan dari tiap-tiap individu itu sendiri.