Rabu, 28 Desember 2011

Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam melakukan Judicial Review Melalui Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009

Untuk menjamin bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan akan selaras dengan konstitusi harus ditentukan mekanisme untuk mengawasinya melalui hak menguji (toetsingrecht). Kehadiran hak menguji ini dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi suatu negara, yang posisinya diletakkan dalam kedudukan yang tertinggi (supreme). Artinya, eksistensi dari hak menguji tersebut adalah sebagai penjamin (guarantees of constitutions) agar materi dari konstitusi dapat diimplementasikan secara konsisten tanpa ada penyimpangan sama sekali terhadap nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi tersebut. Sebagai Pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga satu-satunya yang memiliki kewenangan melakukan penafsiran terhadap UUD.
Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 merupakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebabkan kewenangan Mahkamah Konstitusi menjadi diperluas dan bisa dikatakan telah melahirkan kewenangan baru, tidak saja sebatas menguji Undang-Undang terhadap UUD sebagaimana telah disebutkan dalam UUD 1945 namun juga dapat menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap UUD. Dengan demikian, selain berwenang menguji Undang-Undang sebagai produk hukum yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk menguji Perpu sebagai produk hukum yang di buat oleh Presiden, produk hukum yang ditinjau dari bentuknya adalah Peraturan Pemerintah, namun dari muatannya adalah muatan Undang-Undang.
Menarik memang mencermati Putusan MK ini, terlepas dari kasus yang sesungguhnya di mohonkan oleh 13 (tiga belas) orang pengacara yang mengajukan uji formil dan materiil terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 Tahun 2009 yang oleh Mahkamah Konstitusi di nyatakan tidak dapat diterima. Karena melalui putusan ini Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa, mengadili, memutus pengujian Perpu terhadap UUD. Sehingga membawa perubahan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 mengemukakan mengenai kedudukan Perpu dalam tata urutan perundang-undangan. Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Kosntitusi bahwa dalam perkara a quo menyampaikan pendapatnya tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Keberadaan Pasal 22 UUD 1945 haruslah diletakkan dalam sistem UUD 1945 setelah Perubahan I, II, III, dan IV. Secara komprehensif Mahkamah Konstutusi memperhatikan: Pasal 22 yang mengatur Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terdapat di dalam Bab VII tentang DPR. Materi Bab VII terdiri atas Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22A, dan Pasal 22B, yang mengatur tentang kelembagaan DPR (Pasal 19, Pasal 20A, Pasal 21, dan Pasal 22B) serta materi mengenai pembuatan Undang-Undang sebagai hasil Perubahan I dan II (Vide Pasal 20). Dalam hubungannya dengan materi yang diatur dalam Bab VII ketentuan Pasal 22 sangat erat hubungannya dengan kewenangan DPR dalam pembuatan Undang-Undang;
Kemudian menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, selanjutnya disebut UU 10/2004, telah mendudukkan Perpu sejajar dengan Undang-Undang. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa dasar hukum dibuatnya Perpu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada Pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi.
Di samping itu, dengan disebutnya ”Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden. Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa. Dengan demikian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila:
1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara;
Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang.
Terhadap Putusan Mahkamah ini Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion): Menurut Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD Jika dirunut dari original intent, tafsir historik, tafsir gramatik, dan logika hukum seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak bisa melakukan pengujian yudisial (judicial review) atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sebab menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kalimat dalam Pasal 24C ayat (1) tersebut sangat jelas hanya menyebut Undang-Undang dan tidak menyebut Perpu. Seandainya Mahkamah diperbolehkan menguji Perpu tentu UUD menyebut secara eksplisit pembolehan tersebut sebab secara formal UUD 1945 membedakan dan menempatkan secara berbeda penyebutan atau pengaturan antara UU dan Perpu;
Undang-Undang diatur dalam Pasal 20 UUD 19456 sedangkan Perpu diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Memang benar, dari sudut isi sebuah Perpu itu mengatur materi muatan Undang-Undang. Artinya isi Perpu itu sebenarnya adalah Undang-Undang yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa yang alasan-alasannya merupakan hak subjektif Presiden. Tetapi justru karena dibuat dalam keadaan genting itulah UUD 1945 melalui Pasal 22 menyatakan bahwa “Perpu itu harus mendapat persetujuan dari DPR pada masa sidang berikutnya,” yang “apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perpu itu harus dicabut atau dibatalkan,” tetapi “apabila DPR menyetujuinya maka Perpu itu ditetapkan menjadi Undang-Undang.” Jadi kewenangan Mahkamah untuk menguji Perpu yang memang bermaterikan Undang-Undang itu hanya dapat dilakukan apabila sudah diuji, dinilai, dibahas, atau apapun namanya dalam forum politik di DPR dan DPR menyetujuinya menjadi Undang-Undang. Jika DPR tidak menyetujui maka Perpu itu dicabut tetapi jika DPR menyetujui maka Perpu itu ditetapkan menjadi Udang-Undang dan setelah menjadi Udang-Undang inilah Mahkamah baru dapat melakukan pengujian yudisial atasnya. Di sinilah letak imbangan bagi “keadaan genting” itu; artinya karena Perpu berisi Udang-Undang tapi dibuat dalam keadaan genting maka DPR harus memberi penilaian atau melakukan pengujian politik (political review) lebih dulu, apakah akan disetujui menjadi Undang-Undang atau tidak. Kalau sudah menjadi Undang-Undang barulah dapat diuji oleh Mahkamah.
Berbeda dengan Hakim Konstitusi yang lain, Muhammad Alim memiliki pendapat yang berbeda, menurut beliau ada beberapa alasan-alasan ketidak berwenangan Mahkamah Konstitusi menguji Perpu: bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya menyebut, “Menguji undang-undang terhadap UUD.” Selanjutnya Pasal 20 UUD 1945 yaitu kewenangan membentuk undang-undang, begitu pula Pasal 22A tentang kewenangan membuat Perpu, sudah lebih dahulu ada, karena waktu mengubah Pasal 20 UUD 1945 dilakukan pada Perubahan Pertama (1999) dan khusus ayat (5) pada Perubahan Kedua (2000); Pasal 22 UUD 1945 tidak ada perubahan, sedangkan Pasal 24C ayat (1) dilakukan pada Perubahan Ketiga (2001), tetapi hanya menyebut, “Menguji undang-undangterhadap Undang-Undang Dasar ;“
Lebih jauh dipaparkan bahwa pada waktu dirumuskannya Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, tata urutan perundang-undangan Indonesia menurut Tap MPR Nomor III/MPR/Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan adalah: UUD 1945; Tap MPR; Undang-Undang; Perpu, dst. Meskipun demikian, rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 hanya member kewenangan untuk, “Menguji undang-undang terhadap UUD”; Kewenangan menguji Undang-Undang (tanpa menyebut Perpu), terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. III/MPR/Tahun 2000 merupakan kewenangan MPR lalu dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, hanya sebatas menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, tidak termasuk menguji Perpu, tidak termasuk pula menguji Tap MPR. Dengan pemberian kewenangan semula kepada MPR kemudian kepada Mahkamah Konstitusi hanya sebatas menguji Udang-Undang terhadap UUD walaupun waktu itu posisi Perpu di bawah Undang-Undang, sedangkan posisi Tap MPR di atas Undang-Undang menunjukkan dengan seterang-terangnya bahwa pembuat UUD, yakni MPR memang hanya menghendaki kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tidak menyebutkan Perpu, berarti hal itu diserahkan kepada DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu Perpu pada sidang berikutnya sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Tata urutan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku sesuai ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang memosisikan Undang-Undang dan Perpu pada level yang sama (seperti dalam TAP MPRS XX/ MPRS/1966) itu dibentuk setelah selesainya Perubahan Keempat UUD 1945 (Tahun 2002).
Kemudian dari Perubahan aturan yang lebih rendah tingkatannya dari UUD, misalnya TAP MPR Nomor III Tahun 2000, yang menetapkan tata urutan perundang-undangan yang meletakkan Perpu pada posisi di bawah Undang-Undang, kemudian UU 10/2004 yang memosisikan Undang-Undang pada level yang sama dengan Perpu dengan menggunakan garis miring (/), tidak dapat mengubah UUD 1945, yakni Pasal 24C ayat (1) yang hanya menyebut kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk antara lain menguji Undang-Undang terhadap UUD, tanpa menyebut kewenangan menguji Perpu. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.Kewenangan yang diberikan oleh yang berdaulat, harus dilaksanakan sesuai dengan UUD, tidak boleh menyimpang dari UUD 1945. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tertera dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang hanya sebatas menguji Undang-Undang terhadap UUD, apabila ditambah dengan menguji Perpu, menurut saya dilaksanakan tidak menurut UUD, melainkan dilaksanakan menyimpang dari UUD;

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Muhammad Alim berpendapat Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan a quo. Bahwa akan tetapi jikalau muatan materi Perpu bukan muatan yang seharusnya diatur dalam undang-undang, atau materi muatan Perpu yang di luar kewenangan Presiden, atau jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.
Sejalan dengan Putusan MK tersebut, Jimly Assiddiqie menyatakan bahwa selain Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Perpu, sebab Perpu merupakan Undang-Undang dalam arti materiil (wet in materiele zin). Kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji konstutusionalitas Perpu terhadap UUD 1945 untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang tidak diinginkan yaitu Perpu yang sewenang-wenang sedangkan masa berlakunya Perpu tersebut hingga persidangan DPR berikutnya untuk mendapatkan persetujuan DPR.
Menarik memang mencermati Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 ini, karena alasan yang dikemukakan oleh hakim tidak semata-mata melihat pada penafsiran gramatikal namun secara lebih mendalam dan komprehensif melalui penafisran yang sistematis terhadap Pasal 22 UUD 1945, penulis memandang bahw putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 merupakan langkah positif di bidang ketatanegaraan karena jika ditelaah secara lebih mendalam kekuatan mengikat Perpu memang setara dengan Undang-Undang, ini tergambar jelas dalam pertimbangan yang dikemukakan hakim MK dalam putusannya dan juga dari concurring opinion walaupun ada beda pendapat yang dikemukakan oleh hakim Muhammad Alim. Inilah perjalanan penting dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, karena sejak di bacakannya putusan No. 138/PUU-VII/2009 maka sejak saat itu uji konstitusionalitas Perpu terhadap UUD 1945 menjadi terbuka.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, pada akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD dan sejak tanggal dibacakan putusan tersebut maka sejak saat itulah maka uji konstitusionalitas Perpu terhadap UUD menjadi terbuka dan di sisi lain melalui Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 ini telah menjadikan kewenangan MK menjadi lebih luas dalam melakukan judicial Review. Apalagi dari segi hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 yang menyatakan bahwa putusan MK adalah final sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tentunya saja tidak terdapat upaya hukum apapun terhadap putusan MK ini.