Minggu, 07 Februari 2010

TELAAH DALAM BIDANG KEHUTANAN DI INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Oleh:
Lies Ariany
Abstrak
Dalam welfare state menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Ciri utama negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Sehingga bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Oleh karena itu, negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Kata Kunci: Kehutanan,good governance dan hukum administrasi negara
I. Pendahuluan
Perkembangan kehidupan bermasyarakat pada akhir-akhir ini ditandai dengan semakin kritisnya masyarakat dalam menanggapi berbagai masalah yang dihadapi, baik masalah kehidupannya sendiri maupun masalah penyelenggaraan pemerintahan. Fenomena ini menunjukkan terjadinya pergeseran nilai-nilai tradisional dalam masyarakat dari sikap yang semula pasif dan tidak akomodatif menjadi sikap aktif dan partisipatif. Pergeseran ini tentu saja tidak dapat diabaikan bagi pemerintahan, karena jika diabaikan akan menimbulkan konflik kepentingan yang akan berujung pada ketidakstabilan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Istilah good governance yang mulai popular sejak Indonesia memasuki era reformasi, yakni sejak tahun 1999 dilaksanakan berbagai program yang berkaitan dengan good governance. Dan lembaga yang mempunyai andil penting dalam hal ini adalah Bank Dunia dan PBB melalui UNDP yang membawa misi good governance di Indonesia.
Untuk itu perlu komitmen dari Badan atau pejabat tata usaha itu sendiri untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam menyelenggarakan Pemerintahan dan pembangunan dewasa ini dan dimasa mendatang. Perubahan sikap kearah positif melalui good governance segera ditindak lanjuti oleh pemerintah dengan menyiapkan format baru dalam pelaksanaan tugas pemerintahannya. Salah satu jawaban dalam rangka menjawab tantangan ini adalah pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance). Artinya agar penyelenggaraan pemerintahan ini menjadi penyelenggaraan yang bersih maka sebaiknya pemerintahan ini dijalankan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang mempunyai kemampuan terbaik dari setiap individunya.
Hal tersebut mengandung berbagai implikasi pada sistem dan proses penyelenggaraan negara, pada sistem dan proses administrasi negara, pada kesungguhan dan penyelenggara negara dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan negara kesatuan Republik Indonesia. Sudah tentu keberhasilan perjuangan tersebut tergantung dari sikap, orientasi dan kompetensi aparatur negara dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Konsep good governance pemikirannya apalagi penerapannya merupakan suatu proses. Dalam pemikiran good governance mempunyai tiga sub domain yaitu Pemerintah, Sektor swasta dunia usaha dan pengelolaan sendiri oleh organ-organ masyarakat.
Terkait dalam bidang kehutanan maka dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokok hutan. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya, yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin. Sehingga perlu dibuat suatu aturan hukum yang jelas terutama dalam bidang perizinan yang merupakan pekerjaan yang secara langsung berhubungan dengan rakyat.
Di bidang kehutanan maka Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Pemberian izin tersebut dituangkan dalam bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang lazim di sebut “beschikking”.
Sebuah KTUN dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memperhatikan kepentingan umum dan kepentingan individu. Hal ini dapat tercapai apabila diterapkannya prinsip good governance.
Berbicara tentang perizinan maka berhadapan dengan prosedur mengajukan izin, syarat-syarat izin, pihak yang berwenang memberikan izin. Semuanya itu terangkum dalam sistem perizinan sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan.
II. Pembahasan
a. Pengaturan Dalam Bidang Kehutanan
Dalam perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran negara hukum yang dianut oleh negara di dunia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Dalam welfare state menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Ciri utama negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya.
Sebagaimana tersebut dimuka, aparat negara atau penyelenggara negara adalah merupakan sarana bagi negara untuk mewujudkan tujuannya. Tujuan utama dari negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia adalah perwujudan kesejahteraan masyarakat yang merata, yang mana dalam teori kenegaraan, negara yang demikian ini disebut negara yang bertipe kesejahteraan (welfare state type). Hal ini ditunjukkan dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945.
Seiring dengan negara kesejahteraan (welfare state) maka hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya yang wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya merupakan amanah yang harus diurus dan dimanfatkan dengan baik. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan bangsa Indonesia dan karenanya harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Dalam suatu negara hukum setiap tindakan hukum pemerintahan selalu harus didasarkan pada asas legalitas atau harus berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku, artinya tindakan pemerintah itu pada dasarnya adalah tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dalam rangka mengatur dan melayani kepentingan umum yang dikristalisasikan dalam ketentuan undang-undang yang bersangkutan.
Pasal 33 ayat (3)Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemudian Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atribusikan kedalam Undanga-Undang No. 41 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Menurut Ridwan HR ketentuan undang-undang itu melahirkan kewenangan tertentu bagi pemerintah untuk meelakukan tindakan hukum tertentu. Sebagaimana ketentuan Pasal 33 (3) UUD 1945 maka Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, sehingga dapat dipahami bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Pembuatan dan penerbitan ketetapan izin merupakan tindakan hukum pemerintahan. Sebagai tindakan hukum, maka harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan pada asas legalitas. Tanpa dasar wewenang, tindakan hukum itu menjadi tidak sah. Terkait dengan bidang kehutanan maka kewenangan ini melekat pada Pemerintah Pusat. Kemudian kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat tersebut dilimpahkan kepada Pemerintah daerah seperti tertuang pada Pasal 66 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Pelimpahan wewenang tersebut dalam hukum administrasi negara dapat bersifat delegasi atau mandat.
Untuk melihat sifat pendelegasian wewenang tersebut apakah sifatnya delegasi atau mandat tergantung dari beberapa hal: (1) prosedur pelimpahannya; (2) tanggung jawab dan tanggung gugatnya; (3) kemungkinan dipergunakannya wewenang-wewenang itu.
Di tinjau dari prosedur pelimpahannya, pada delegasi pelimpahan wewenang terjadi dari satu organ pemerintah kepada organ pemerintah yang lain dilakukan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan pada mandat pelimpahan wewenang yang terjadi umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali di larang secara tegas. Ditinjau dari segi tanggungjawab dan tanggung gugatnya, pada delegasi tanggungjawab dan tanggung gugat beralih lepada penerima delegasi (delegataris), sedangkan pada mandat tetap berada pada pemberi mandat (mandans). Kemudian dari segi kemungkinan pemberi wewenang kehendak menggunakan kembali wewenang tersebut, pada delegasi pemberi wewenang (delegan) tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi sedangkan pada mandat pemberi wewenang (mandans) setiap saat dapat menggunakan wewenang itu.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan antara delegasi dan mandat di atas, penulis berpendapat bahwa pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat lepada Pemerintah Daerah adalah bersifat pendelegasian.
Pemanfaatan kawasan hutan maka ini diartikan sebagai usaha untuk menjadikan kawasan hutan dapat memberikan kegunaan dan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan (selanjutnya disingkat UU Kehutanan) pengaturannya terdapat di dalam pasal 23 sampai dengan pasal 37.
Tujuan pemanfaatan kawasan hutan itu sendiri adalah untuk memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pada dasarnya tidak semua kawasan hutan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, tetapi ada beberapa kawasan hutan yang ditetapkan dalam UU Kehutanan yang memperbolehkan memanfaatkan kawasan hutan.
Kawasan hutan yang tidak diperkenankan untuk dimanfaatkan secara optimal adalah:
1. Hutan cagar alam; yakni kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan dan atau satwa serta ekosistemnya, yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
2. Zona inti kawasan taman nasional; adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan oleh aktivitas manusia.
3. Zona rimba kawasan taman nasional; adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti.
Sedangkan kawasan hutan yang dapat dimanfatkan secara optimal,diantaranya adalah:
1. Kawasan hutan lindung;
2. Kawasan hutan produksi;
3. Kawasan hutan untuk tujuan khusus;
4. Kawasan hutan hak;
5. Kawasan hutan adat.
Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin, yakni:
1. Pemberian izin pemanfaatan kawasan;
2. Pemberian izin pemanfaatan jasa lingkungan;
3. Pemberian izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemberian izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu;
4. Pemberian izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan hutan kayu.
Dalam rangka pemanfaatan hutan di Indonesia maka sebagai aspek yuridis maka bagi pemegang izin diberikan Hak Penguasaan Hutan dan Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri.
Pertama, dalam Hak Pengusahaan Hutan pada hakikatnya hak pengusahaan hutan merupakan hak untuk mengusahakan hutan alam alam di dalam suatu kawasan hutan, yang meliputi kegiatan: penebangan kayu, peremajaan dan pemeliharaan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan.Oleh karena itu, setiap perusahaan yang bergerak di bidang Hak Pengusahaan Hutan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Ada empat tahap yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk mendapatkan izin Hak Pengusahaan Hutan:
1. Pengajuan permohonan oleh perusahaan, pada tahap ini pemimpin perusahaan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri Kehutanan sesuai dengan formulir yang telah ditentukan.
2. Analisis Permohonan, Setelah Menteri Kehutanan menerima surat permohonan dari pemohon beserta persyaratannya, selanjutnya Menteri Kehutanan menyampaikan hal ini kepada Tim Pertimbangan Hak Pengusahaan Hutan untuk melakukan analisis terhadap kelayakan permohonan yang diajukan.
3. Persetujuan permohonan dan pelaksanaan survei, berdasarkan saran dan pertimbangan dari Tim Pertimbangan Hak Pengusahaan Hutan dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja Menteri Kehutanan putusan menyetujui atau menolak permohonan tersebut.
4. Penetapan Izin Hak Pengusahaan Hutan,ini diberikan apabila perusahaan telah memenuhi semua tahapan sebelumnya dan selanjutnya Penetapan Izin Hak Pengusahaan Hutan oleh Menteri Kehutanan.
Prosedur pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) memerlukan proses yang panjang. Ini dimaksudkan supaya perusahaan yang bersangkutan dapat melaksanakan hak dan kewajiban secara sungguh-sungguh sebagaimana yang tercantum dalam penetapan izin Hak Pengusahaan Hutan.
Kedua, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) adalah hak untuk mengusahakan hutan produksi yang kegiatannya mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengolahan dan pemasaran. Untuk prosedur dan syarat-syarat izinnya sama dengan prosedur dan syarat-syarat pemberihan izin Hak Pengusahaan Hutan.
Apabila diperhatikan dalam prosedur pemberian HPH dan HPHTI maka secara yuridis formal momentum beroperasinya perusahaan tersebut sejak diterbitkannya KTUN dalam hal ini Surat Keputusan Menteri Kehutanan,
Selain diberikan hak pemanfaatan, pemegang izin juga harus bertanggung jawab atas segala macam ganggungan terhadap hutan dan kawasan hutan yang dipercayakan kepadanya.
Dan untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan, yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan akibat ulah manusia . Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, maka Pemerintah wajib melakukan pengawasan.Dengan demikian bagi Pemerintah maka izin suatu alat dengannya pemerintah dapat mengawasi segala tindakan penerima izin sesuai dengan kesepakatan atas izin yang diperolehnya. Sedangkan bagi pemegang izin, izin yang telah diperolehnya akan memberikan perlindungan baginya dalam melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan kesepakatan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin itu sendiri.
Terdapat dua pengawasan dalam bidang kehutanan yaitu: pertama, pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan kedua, Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Oleh karena itu, mekanisme Perizinan dan izin yang diterbitkan adalah untuk kepentingan dan pengendalian pengawasan administratif yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi keadaan/kondisi. Dengan demikian, perizinan merupakan limitasi kegiatan interaksi antara pemerintah dan masyarakat yang di dalamnya terdapat kepentingan strategis,politis dan normatif pemerintah dalam mencapai tujuan nasional.
b. Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam Pengaturan Perizinan di Bidang Kehutanan
Komitmen dari pemerintah untuk melaksanakan good governance pernah dikemukakan dalam pidato 16 Agustus 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada waktu itu, good governance diterjemahkan dengan pengelolaan yang baik.
Mengenai good governance mengarah pemerintahan yang bersih, atau clean government Seringkali juga mengarah pada pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Pengertian dari good governance menurut Bintoro Admidjojo :
“Suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan, pengelolaan perubahan masyarakat, pengelolaan pembangunan”.

Sedarmayanti mengatakan good governance:
“Merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service disebut governance (pemerintah atau pemerintahan), sedangkan praktek terbaiknya disebut “good governance” (kepemerintahan yang baik)”.

Nico Ardianto mengartikan “good governance sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik”. Dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu dengan prinsip-prinsip dasar good governance.
Sedangkan World Bank mendefinisikan good governance :
“Sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid serta bertanggung jawab serta sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran, serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha”.

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini maka di dapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan prinsip-prinsip good governance.
Menurut UNDP, good governance merupakan kondisi terjadinya hubungan sinergis dan konstruktif antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Berdasarkan definisi ini UNDP mengajukan karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagai berikut:
1. Participation,Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
2. Rule of Law, Hukum dilaksanakan tanpa perbedaan.
3. Transparancy, dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
4. Equity,Kesetaraan dimana semua warga negara baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
5. Responsiveness, lembaga dan proses harus mecoba melayani stakeholders.
6. Consensus Orientation, good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.
7. Effectiveness and efficiency, proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders.
9. Strategic Vision, Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.
Izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret.Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa dan perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan. Hal ini berarti lewat izin dapat diketahui bagaimana gambaran masyarakat adil dan makmur dapat terwujud. Ini berarti persyaratan-persyaratan yang terkandung dalam izin merupakan pengendali dalam memfungsikan izin itu sendiri.
Secara konstitusional, UUD 1945 dalam bagian Mukaddimah-nya telah dengan tegas mencantumkan bahwa salah satu tugas utama para the founding father ketika memproklamirkan negara Republik Indonesia antara lain adalah “memajukan kesejahteraan umum”. Petikan penggalan amanat konstitusi tersebut secara implisit mengisyaratkan, adanya political wiil yang jelas oleh para pengambil kebijakan (the king maker) terutama pemerintah untuk berupaya semaksimal mungkin melayani segala kebutuhan masyarakat tanpa unsur diskriminatif. Administrasi negara haruslah mengimplementasikan prinsip-prinsip good governance, sehingga tindakan administrasi negara tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat, pihak swasta dan administrasi negara itu sendiri.
Semestinya pemerintah menjadikan perizinan sebagai instrumen yang membantu melakukan monitoring dan kontrol dalam pembangunan yang dilaksanakan diwilayahnya.Karenanya cukup beralasan kalau dikehendaki agar dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan perizinan maka diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam kaitannya dengan pengurusan hutan maka pengelolaannya hanya akan berhasil menunjang pembangunan nasional jika administrasi negara menjalankan fungsinya secara efektif dan terpadu. Untuk itu dalam usaha menjamin, melindungi dan mengamankan fungsi hutan maka di bidang kehutanan secara teoritis telah dimasukkan prinsip-prinsip good governance seperti prinsip participation, Rule of Law, Transparancy Consensus Orientation ke dalam asas penyelenggaraan kehutanan sebagaimana Pasal 2 UU Kehutanan:
”penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan”.

Ketentuan di atas menegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus memberi manfaat bagi kemakmuran rakyat yang sejalan dengan negara kesejahteraan (welfare state), dan pemanfaatan hutan tersebut harus memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan, serta memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat oleh karena itu dalam pemberian izin pemanfaatan hutan harus di cegah terjadinya praktek-praktek monopoli, monopsoni, oligopoli dan oligopsoni.Terkait pula dengan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat serta asas keterpaduan dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain dan masyarakat setempat.
Pada masa Orde Baru sistem perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang sekarang dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), hanya dapat diberikan melalui pengajuan permohonan kepada Menteri yang mengurusi bidang kehutanan, dan dalam praktiknya pemerintah memberikan prioritas kepada sekelompok tertentu yang pada akhirnya seluruh kegiatan usaha sehingga mekanisme perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu sangat berbasis pada kekuasaan birokrasi dan kekuatan bisnis. Bahkan pemohon izin cukup hanya mengajukan permohonan dengan dengan mengisi surat permohonan yang telah disiapkan formatnya oleh pemerintah, serta dapat menunjuk sendiri areal hutan yang diminati.
Hal ini dikarenakan lambat dan buruknya kualitas pelayanan khususnya di bidang perizinan sehingga muncul istilah ”adul (ada duit urusan lancar)”, persepsi ganda dari Pemerintah pada masa Orde Baru tersebut yang menjadikan instrumen perizinan sebagai ”pengumpun dana” dan keberhasilan pembangunan di ukur dari jumlah izin yang dikeluarkan yang sebenarnya berdampak buruk bagi pembangunan di Indonesia.
Berkaca dari pengalaman di zaman Orde Baru maka prinsip good governance khususnya prinsip keterbukaan belum dapat diterapkan oleh Pemerintah sepenuhnya begitu pula halnya dengan prinsip Equity atau kesetaraan, hal ini terlihat dari pemberian prioritas kepada pihak-pihak tertentu.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam bidang kehutanan telah terjadi onrechtmatige overheidsdaad karena Pemerintah telah menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dengan menguntungkan sekelompok orang saja, padahal sebagai penyelenggara negara maka Pemerintah mengemban kewajiban yang lebih besar lagi yakni mensejahterakan rakyat Indonesia pada umumnya.
Prinsip selanjutnya dari good governance adalah akuntabilitas, yang berarti pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Jika dikaitkan dengan perizinan di bidang kehutanan maka prinsip ini terkandung dalam pasal 49 dan 50 UU Kehutanan yang dengan jelas mengatur tanggung jawab izin konsesi atas terjadinya kebakaran hutan dan larangan melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan di dalam areal kerjanya.
Namun dalam kenyataan yang terjadi di lapangan prinsip-prinsip dari good governace belum dapat diimplementasikan sepenuhnya karena hutan di Indonesia adalah sektor yang paling sering mendapat eksploitasi berlebihan.Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,6 juta hektar hingga 2 juta hektar pertahun dan Walhi mencatat 96,5 juta hektar atau 72 persen dari 134 juta hektar hutan tropis Indonesia telah hilang, sehingga hutan yang tersisa tinggal 37,5 juta hektar.
Kerugian yang di derita akibat kerusakan hutan 1,6 juta hektar pertahun menurut Menteri Kehutanan yang pada waktu itu di jabat oleh Muhammad Prakoso adalah sangat fantastis mencapai Rp 30,42 triliun pertahun.
Terkait pula dengan prinsip rule of law maka data dan informasi yang juga dikoleksi oleh Walhi melalui media massa terkait penegakkan hukum lingkungan untuk kasus kebakaran hutan/lahan yang pelakunya oleh pemegang HPH selama kurun 2001-2006 menyebutkan sekitar 10 kasus pembakaran hutan/lahan yang diproses hukum dan dibawa kepengadilan. Artinya hanya 0,1 persen saja penegakkan hukum terhadap 178 nama perusahaan yang di duga/terindikasi melakukan pembakaran hutan/lahan. Sehingga terlihat masih rendahnya keseriusan penegakkan hukum. Hal ini terjadi pula pada kasus pencurian kayu dimana pemerintah belum berhasil menangani kasus illegal logging yang semakin ”merajalela”.
III. Kesimpulan
Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, sehingga dapat dipahami bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Dalam kaitannya dengan pengurusan hutan maka pengelolaannya hanya akan berhasil menunjang pembangunan nasional jika administrasi negara menjalankan fungsinya secara efektif dan terpadu. Untuk itu dalam usaha menjamin, melindungi dan mengamankan fungsi hutan maka di bidang kehutanan secara teoritis telah dimasukkan prinsip-prinsip good governance seperti prinsip participation, Rule of Law, Transparancy Consensus Orientation ke dalam asas penyelenggaraan kehutanan. Dalam tataran normatif telah diterapkan prinsip-prinsip good governance dalam perizinan di bidang kehutanan namun pada kenyataannya belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.

Daftar Pustaka
Buku

Abrar Saleng.2001.Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara: Kuasa Pertambangan Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara.UII Press. Yogyakarta.

Ateng Syafrudin.Perizinan Untuk Berbagai Kegiatan.Makalah tidak dipublikasikan.

Bintoro Tjokroamidjojo.2000.Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan.UI Press. Jakarta.

Nico Andrianto.2007.Good e-Government: Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui e-Government.Bayu Media Publishing.

Ridwan HR.2006.Hukum Administrasi Negara.Raja Grafindo Persada.Jakarta.

Salim.2004.Dasar-Dasar Hukum Kehutanan.Sinar Grafika.Jakarta.

Sedarmayanti.2003.Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah: Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Restrukturisasi dan Pemberdayaan. Mandar Maju.Bandung.

Soehino.1884.Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan.Yogyakarta: Liberty.

Makalah, Akses Internet dan Koran

----,Potret Advokasi Ekologis Vis a Vis Kejahatan Korporasi. http: // www . dephut .go .id / intranet/inprof/ev.daerah.htm.diakses 24 Juni 2006.

Indonesia Corruption Watch.2004. Mekanisme Pemberian IUPHHK Melalui Penawaran Dalam Pelelangan. Makalah.


Media Indonesia.18 Maret 2006.Indonesia Alami Kerusakan Hutan Tercepat Di Dunia.

Sjachran Basah.1995.Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi.Makalah pada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan di Fakultas Hukum Unair. Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar