Paradigma
pembangunan yang selama ini berorientasi pada pertumbuhan ekonomi secara nyata
belum menampakkan hasil yang maksimal. Salah satu indikasinya adalah masih
tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Inilah tantangan pembangunan di
Indonesia saat ini yakni mengatasi masalah pengangguran dan kesempatan kerja.
Sulitnya mengatasi masalah tersebut karena jumlah pencari kerja relatif banyak,
sementara mutu pendidikan dan keterampilannya rendah atau tidak sesuai dengan
permintaan lapangan kerja karena persaingan dalam arena pasar kerja yang
melibatkan pencari kerja dengan kemampuan memadai yang dibutuhkan oleh sektor
formal sangat tinggi. Bertolak dari keadaan inilah, sektor informal menjadi
kantong penyangga bagi para pencari kerja yang kurang kompetitif tersebut. Dengan keterbatasan peluang kerja
sehingga masyarakat pun berupaya menciptakan peluang kerja di sektor informal
dan salah satunya adalah memilih bekerja sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL).
Kota Banjarmasin sebagai pusat perdagangan
bagi daerah kabupaten-kabupaten lain yang ada di Kalimantan Selatan saat ini
terus berkembang dari waktu ke waktu. Namun ironisnya perkembangan dDi kota
Banjarmasin dibarengi pula dengan masalah kependudukan dan masalah tenaga
kerja. Hal ini karena tingginya tingginya tingkat pertumbuhan penduduk akan
berpengaruh juga pada tingginya penyediaan tenaga kerja. Sehingga disaat yang
sama Kota Banjarmasin harus berhadapan dengan masalah keterbatasan biaya
pembangunan dan kemampuan kota untuk menyediakan lapangan pekerjaan.
Dengan penawaran tenaga kerja yang tinggi
tanpa di ikuti penyediaan kesempatan kerja yang cukup akan menimbulkan
pengangguran dan setengah pengangguran.
Untuk itulah perluasan kesempatan kerja merupakan kebutuhan yang makin
mendesak dan dalam rangka meratakan pembangunan di Kota Banjarmasin. Kenyataan
yang terjadi di kota ini jumlah pencari kerja yang semakin tinggi namun tidak
diimbangi dengan tingkat pertumbuhan lapangan pekerjaan. Dari sinilah awal adanya
kecenderungan bahwa mereka yang tidak
tertampung di sektor formal membuka lapangan kerja sendiri di sektor informal
yang salah satunya adalah PKL.
Masalah PKL semakin meningkat sejak terjadinya krisis
ekonomi di Indonesia pada tahun 1998, agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya maka banyak sekali kegiatan ekonomi yang akhirnya cenderung beralih
pada sektor informal ini. Terlebih selama krisis moneter menyebabkan banyak
industri gulung tikar, yang menyebabkan banyak terjadi pemutusan hubungan
kerja. Hal ini pada gilirannya menambah penggangguran baru, yang nantinya
muncul fenomena-fenomena baru pedagang kaki lima sebagai jalan keluar dari
pengangguran.
Banyaknya sektor informal dalam bentuk
penyedia barang yang dilakukan oleh PKL memunculkan kesemrawutan pada
ruang-ruang kota. Jika mereka ini menjajakan secara sembarangan dipinggir
jalan, maka yang terjadi adalah kemacetan. Lagi-lagi keadaan ini menyebabkan
pemborosan yang besar, baik dilihat dari segi energi dan waktu. Ketidak aturan
seperti itu tidak hanya menyebabkan kemacetan tetapi juga pemandangan yang
tidak baik dan seringkali sektor informal seperti ini menyebakan kerusakan
lingkungan dengan buangannya yang sembarangan.
Inilah persoalan yang tengah di hadapi kota
Banjarmasin sekalipun telah diakui terjadi berbagai kemajuan dalam hal pembangunan
fisik, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa disaat yang sama juga masih
menyisakan berbagai masalah sosial yang tak kalah pelik. Di berbagai sudut
kota, setiap hari dengan mudah disaksikan PKL yang menjajakan dagangannya tanpa
mengindahkan aturan yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar