Minggu, 08 Agustus 2010

Cacat Moral Calon Kepala Daerah

Oleh Lies Ariany


Pemilukada merupakan isu sentral yang terus bergulir seiring dengan era reformasi dewasa ini, proses ini ideal ditujukan sebagai salah satu upaya untuk melakukan demokratisasi politik di level lokal, yang merupakan muara kebijakan desentralisasi dan otonomi. Bergulirnya gagasan untuk melaksanakan pemilihan langsung terhadap kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) oleh rakyat adalah pertanda telah bergesernya paradigma ketatanegaraan dari demokrasi representasi kearah demokrasi langsung.
Pelaksanaan pemilukada merupakan hal yang urgentie bagi pemantapan pelaksanaan desentralisasi teritorial di Indonesia yang dihubungkan dengan kenyataan bahwa makin pesatnya pembangunan, makin mantapnya pemahaman dasar falsafah negara Pancasila, telah menimbulkan kebutuhan yang meningkat pula, ialah sistem pemerintahan di daerah yang lebih efektif dan efisien, yang lebih berorientasi kepada aspirasi demokrasi dan gairah kemandirian serta prakarsa yang inovatif dalam rangka mencukupi kebutuhannya daerah-daerah yang keadaannya tidak segala-galanya sama antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya meskipun ada hal-hal yang fundamental yang sama di setiap daerah itu.
Pemilukada itu sendiri di Indonesia ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi Pemilukada memberikan kesempatan kepada rakyat di daerah sebagai salah satu infrastruktur politik untuk memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Hal ini akan mendorong terjadinya keseimbangan antara infrastruktur politik dengan suprastruktur politik, karena melalui pemilihan kepala daerah langsung maka rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia. Namun disisi lain pemilukada juga memunculkan banyak persoalan didalamnya salah satunya terkait dengan calon kepala daerah.
Akhir-akhir di berbagai media massa memperlihatkan penyelenggaraan pemilukada di beberapa daerah mulai panas yang tidak hanya disebabkan karena persaingan antar partai politik setempat, namun juga sebabkan calon-calon yang maju dalam pemilukada kali ini akan diikuti oleh bintang-bintang “panas”. Di antaranya yang sekarang tengah jadi pemberitaan adalah Julia Peres (Jupe) yang akan maju sebagai calon wakil bupati Pacitan dan Maria Eva yang akan maju sebagai calon wakil bupati Sidoarjo.
Kalau kita menilik kehidupan pribadi mereka yang nota bene adalah artis yang selama ini di kenal sering berpenampilan seronok dan menjadi pemberitaan seputar kehidupan pribadi yang sudah biasa menjadi konsumsi media massa terutama infotainment kemudian juga kehidupan yang bombastis dengan skandal video mesum bersama anggota DPR, telah membangun opini publik dan telah memberi pandangan buruk bagi masyarakat tentang pribadi mereka, hingga memunculkan pertanyaan kenapa harus mereka apakah tidak ada calon yang lain lagi?.
Akhirnya majunya mereka sebagai calon kepala daerah mendapat respon dari masyarakat setempat dengan melakukan aksi turun kejalan menentang pencalonan tersebut. Pemerintah pun bereaksi dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang saat ini sedang membuat rancangan peraturan baru khususnya tentang kriteria calon kepala daerah, yang salah satunya memiliki pengalaman berorganisasi dan tidak boleh memiliki cacat moral seperti terlibat perzinahan.
Walaupun sebenarnya dalam alam keterbukaan seperti sekarang di mana sebagai negara yang demokratis sebenarnya baik Julia Peres maupun Maria Eva yang juga bagian dari bangsa ini sesungguhnya juga berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara. serta mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan terlepas dari siapa dia dan latar belakang kehidupannya .
Melalui pemilukada mencoba membangun demokrasi yang tujuan akhir menghendaki persamaan atau kesamaan hak-hak dalam menjalankan peran politik dalam konteks negara. Kesamaan hak-hak politik ini esensial dalam kuantitas kemanusiaannya (subjek otonom) sebagai seorang individu yang bebas. Inilah akhirnya dilema yang muncul karena kalau sampai ada calon kepala daerah dengan latar belakang kehidupan yang dianggap cacat moral apakah berarti orang tersebut selamanya tidak dapat maju dan akan kehilangan hak dipilih, Sebagai negara yang menempatkan hukum diatas segala-galanya maka sudah pasti hal ini jelas-jelas akan melanggar hak asasi manusia yang telah di atur dalam UUD 1945.
Namun hal yang lumrah pula apabila sebagai masyarakat awam tidak menginginkan kalau daerahnya di pimpin oleh orang-orang yang mempunyai citra buruk, karenya opini publik ikut menentukan pencitraan diri dan pandangan terhadap seorang dan juga daerah yang kelak akan dipimpinnya apabila terpilih dalam pemilukada. Sesungguhnya dengan citra buruk yang melekat pada seseoarang dan pernah melakukan kesalahan bukan berarti selamanya akan terus-terusan melakukan hal yang buruk karena seseorang pun dapat memperbaiki dirinya jika Tuhan saja bisa mengampuni kesalahan umatnya, mengapa kita manusia yang tak pernah luput dari salah dan khilaf tidak memberi kesempatan.
Untuk itu kita selaku masyarakat pemilih jangan hanya terjebak pada dikotomi cacat moral yang pernah dilakukan seseorang, karena untuk memilih seorang kepala daerah kita juga harus melihat seluruh aspek yang ada pada diri calon kepala daerah itu. Untuk itu hal yang terpenting adalah kehati-hatian dari masyarakat itu sendiri dalam memberikan suaranya. Karena sesungguhnya yang harusnya kita pilih dalam Pemilukada adalah pemimpin yang qualified, orang terbaik dengan memiliki kualitas kepemimpinan yang tidak diragukan, mampu membangun kemandirian daerah, mampu mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi karena melalui pemilukada ingin membangun pemerintahan daerah yang kuat. Bukan sekedar pemimpin yang hanya bisa mengandalkan kepopuleran dan penampilan semata.
Tokh, calon kepala daerah yang maju dalam pemilukada tidak serta merta dia kelak yang akan terpilih karena yang menentukan adalah masyarakat pemilih itu sendiri. Inilah alam demokrasi dimana siapapun berhak di pilih dan siapapun berhak memilih. kita juga harus bisa menerima perbedaan. Perbedaan latar belakang politik, bendera partai, berbeda memilih calon pemimpinya, perbedaan SARA dan sederet perbedaan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar